SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Pelanggan katering itu fanatik. Restoran baru cepat ramai karena orang akan datang mencoba tempat baru. Tapi kalau katering tidak akan bisa begitu,” ujar pemilik katering Chili Pari, Gibran.

Pada awalnya Chili Pari sering ditolak oleh para konsumen yang saat itu belum mengenalnya. Gibran pun memakluminya karena waktu itu usahanya sama sekali belum punya nama besar. Di sinilah dia menemukan tantangannya.

Promosi Siap Layani Arus Balik, Posko Mudik BRImo Hadir di Rute Strategis Ini

Pernah suatu ketika seorang ibu memesan makanan dari Chilli Pari untuk keperluan pernikahan anaknya. Namun, beberapa hari sebelum pernikahan, dia tiba-tiba membatalkan pesanannya. Usut punya usut, alasan pembatalan itu karena saran dari berbagai kerabatnya yang tidak percaya kepada Chilli Pari yang waktu itu berstatus katering baru.

“DP-nya saya kembalikan semua. Tapi saya minta izin untuk sowan ke rumahnya, beberapa hari kemudian.”

Ekspedisi Mudik 2024

Di sana, Gibran datang sendiri untuk kembali meyakinkan orang itu. Dia tidak hanya membawa katalog tapi juga membawa sampel makanan yang akan ditawarkannya. Orang itu sudah yakin dengan layanan makanannya tapi masih meragukan kemampuannya menangani jamuan untuk ribuan orang. Maklum, orang ini masih ketakutan acaranya berantakan gara-gara keterlambatan atau ketidakmampuan katering dalam melayani tamu.

Gibran pun tak mau kalah dalam meyakinkan. Kepada orang itu dia menjamin bahwa sinoman-nya akan lebih dari cukup untuk mendukung acara itu. “Khusus buat Ibu, sinoman-nya saya kasih 1:4,” ujarnya menirukan negosiasinya waktu itu.

Tantangan itulah yang selama ini dicarinya saat mulai bermain di bisnis kuliner. Pendekatan yang sama juga masih tetap dilakukan meskipun usahanya sudah makin dikenal. Apalagi banyaknya pemain membuat persaingan di dunia usaha kuliner, khususnya katering, sangat besar.

Namun, Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Boga Indonesia (APJI) Solo yang baru saja dilantik ini yakin bisnis katering masih punya kans besar untuk bermain di Solo. Untuk itulah, dia berusaha tampil beda, misalnya dengan layanan test food dan one stop wedding untuk memudahkan konsumen menyiapkan acara. “Kalau tidak ingin tantangan dan cuma cari duit, saya bikin aja nama Jokowi Katering,” katanya.

 

Masih Muda

Tantangan serupa sebenarnya dihadapi oleh pebisnis kuliner muda lainnya. Nanang yang juga terbilang masih belum lama mengelola usaha kateringnya mengakui persaingan bisnis katering di Solo sangat ketat. Hal ini karena banyak katering yang sudah punya pengalaman panjang, nama besar dan modal yang besar.

Meskipun sudah dimulai oleh ibunya dulu, Kino Catering belum jadi apa-apa saat Nanang mulai mengambil alih. Waktu itu, Kino hanya sebuah katering rumahan biasa yang dikelola sendiri oleh sang ibu. Katering itu sudah berjalan namun hanya mampu menjangkau kawasan-kawasan di dekat rumahnya, Danukusuman, Pasar Kliwon.

“Dulu kami belum punya apa-apa, belum ada perkakas, bala pecah dan sebagainya. Semuanya masih nyewa kalau ada pesanan,” kenang Nanang.

Itulah yang membuat Nanang merasa belum apa-apa saat ingin melanjutkan usaha katering milik orangtuanya itu. Boleh jadi Kino Catering saat itu belum memiliki modal materi sama sekali. Hanya ada modal nama Kino, itupun hanya dikenal oleh masyarakat di sekitar kampungnya.

Di mata Nanang, ketiadaan perkakas inilah yang membuat usaha ibunya tak pernah berkembang sejak dulu dan dia berniat merombak semuanya. Pelan-pelan, keuntungan katering disisihkan untuk membeli barang pecah belah seperti piring dan gelas. Pembelian pertama sekitar 50 piring dan pelan-pelan menjadi ribuan buah seperti saat ini.

Ketiadaan perkakas hanya salah satu dari berbagai PR besar yang harus digarap Nanang saat itu. Kekurangan besar lainnya adalah belum adanya armada untuk mengangkut pesanan dan perkakas untuk melayani pesanan. Bagi katering-katering besar, armada adalah barang wajib dan sudah menjadi nyawa dalam pelayanan konsumen.

Sebelum punya armada, Kino dulu hanya melayani paket makanan dalam kardus karena tidak memungkinkan untuk melayani prasmanan atau pesta. Biasanya paket makanan itu pun digarap sendiri di rumah dan dikirim dengan menyewa armada becak. “Saya anggap ini kelemahan kami dulu, karena itu bagaimana caranya saya mulai mengusahakan armada sendiri,” katanya.

Diakuinya membeli kendaraan sendiri adalah pilihan yang sulit karena membutuhkan modal minimal puluhan juta rupiah namun sangat efektif untuk mengembangkan pasar. Terbukti setelah membeli armada pertamanya, Nanang langsung menerima pesanan katering untuk wilayah yang cukup jauh, yaitu di Gondang, Sragen. Setelah itu, Nanang berani melayani order dari luar kota seperti Jenawi (Sragen), Sragen, Karanganyar, Klaten, bahkan sampai Blora yang sangat jauh. Hal ini sangat mungkin karena Kino kini memiliki enam mobil. Meskipun begitu, Nanang juga masih merendah.

“Kalau dalam soal umur kami memang masih junior. Tapi kalau soal bisnis ya enggak mau kalah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya