SOLOPOS.COM - Subariyah, 58, menjajakan Gudeg Bu Slamet di Jl. Wijilan, Jogja, Rabu (8/7/2015).(JIBI/Harian Jogja/Switzy Sabandar)

Kuliner Jogja berupa gudeg dicari pemudik selama libur lebaran.

Harianjogja.com, JOGJA-Penjual gudeg di Jl. Wijilan bekerja lebih keras dan menyiapkan bahan baku lebih banyak menghadapi libur Lebaran.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Bu Slamet menunggu pelanggan masuk ke warungnya yang berada di salah satu petak di Jl. Wijilan, Jogja. Berbeda dengan 69 tahun silam, perempuan berusia 92 tahun ini tidak lagi melayani pembeli yang ingin menikmati masakannya.

Bu Slamet menjadi simbol kemunculan pusat kuliner gudeg di area Kraton Jogja. Dia duduk di salah satu sudut rumah makannya, mengamati pengunjung datang dan pergi, memperhatikan cara anak perempuannya melayani pembeli. Jika rumah makan tak terlalu ramai, Bu Slamet meminta sepiring nasi gudeg kepada anaknya untuk disantap seorang diri.

“Bu Slamet ini yang pertama kali berjualan di sini, sebelum ada Yu Djum, dan gudeg-gudeg lainnya,” kenang Subariyah, putri bu Slamet, kepada Harianjogja.com, Selasa (7/7/2015).

Papan nama rumah makan Gudeg Bu Slamet yang terpasang di tepi jalan bertuliskan sejak 1946.
Subariyah menunjuk ke arah trotoar yang berada di luar rumah makannya sembari bercerita di tempat itulah sang ibu pertama kali menjual gudeg. Ide berjualan makanan dari gori dengan cita rasa manis ini bermula dari salah seorang tetangganya yang masih kerabat Kraton.

“Ndoro [sebutan untuk tetangganya] menyuruh ibu saya berjualan gudeg yang bisa dinikmati masyarakat menengah ke bawah, tentu saja dengan harga terjangkau,” ujar ibu dari tiga anak ini.

Gudeg Bu Slamet yang melegenda tak surut dimakan waktu sekalipun bermunculan penjual gudeg lainnya di wilayah itu. Setelah 10 tahun Bu Slamet berjualan, ungkap Subariyah, muncul Gudeg Yu Djum, yang akhirnya disusul gudeg lainnya di wilayah yang sama pada masa berikutnya.

Langgengnya Gudeg Bu Slamet semakin terbukti saat musim libur Lebaran tiba. Penjualan meningkat empat kali lipat ketimbang hari biasa. Sayangnya, ia tidak dapat menyebutkan secara pasti berapa banyak bahan baku yang dibutuhkan setiap hari. Dia beralasan, pembelian bahan baku tidak pernah sekaligus, setiap hari pasti ada yang dibeli dan jenisnya bervariasi.

“Untungnya mencari gori tidak sesusah dulu, sewaktu-waktu ditelepon bisa diantar, kecuali saat hari Lebaran, bisa diantar sehari atau dua hari sebelumnya dan kami pun harus mengumpulkannya,” kata perempuan kelahiran 58 tahun lalu ini.

Persiapan menjelang liburan Lebaran tidak main-main. Dapur ditata rapi sehingga banyak ruang untuk menyimpan stok bahan baku. Karyawan pengganti pun mulai dicari. Biasanya ia meminta bantuan tiga orang yang dipekerjakannya selama 10 hari. Tidak tanggung-tanggung, Subariyah rela mengupah pekerja-pekerjanya dua kali lipat. Stok makanan yang disediakan setiap hari dikeluarkan dalam tiga sif.
“Biasanya hanya menyetok dua kali, kalau libur Lebaran jadi tiga kali,” kata perempuan yang sudah menyandang hajah ini.

Jam buka Gudeg Bu Slamet pun menjadi lebih fleksibel. Jika pada hari biasa mulai berjualan dari pukul 05.00 sampai 22.00 WIB, pada libur Lebaran bisa sampai tengah malam. Alasannya, banyak wisatawan domestik dari Malioboro yang memilih untuk makan malam di Wijilan karena harganya masih dianggap lebih miring.

Biasanya sepiring nasi gudeg dengan telur bebek dapat dinikmati dengan uang tak sampai Rp10.000. Namun, untuk liburan Lebaran harga menyesuaikan. “Sudah jadi tradisi dari tahun ke tahun kalau Lebaran susah bahan baku dan harga menyesuaikan, ya tidak terlalu banyak, misal satu besek gudeg seharga Rp80.000 bisa mendapat lima butir telur, saat Lebaran hanya empat butir,” Bariyah memberi contoh.

Peningkatan kebutuhan bahan baku hingga empat kali lipat juga dirasakan Gudeg Bu Lies yang sederet dengan Gudeg Bu Slamet. Sekalipun baru berdiri pada 1993, keberadaannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Di usianya yang ke-22 tahun, Gudeg Lies sudah memiliki empat cabang, yakni dua di Jl. Wijilan, satu di Jl. Gamelan, dan satu di food court Malioboro Mall.

Feri Harwanto, pengelola Gudeg Bu Lies di Jl. Wijilan, mengaku persiapan bahan baku untuk liburan Lebaran tidak boleh dianggap remeh walaupun sudah menjadi kebiasaan setiap tahun. Setidaknya 3.000 telur bebek dan 200 ekor ayam ludes setiap hari. “Bahan utama pembuatan gudeg, nangka muda, bisa habis dua kuintal per hari,” ujar laki-laki yang merupakan putra dari Bu Lies ini.

Gudeg Bu Lies, ungkap Feri, juga memiliki inovasi dalam penjualan gudeg. Tidak hanya gudeg dalam besek atau kendil seperti yang sudah umum dilihat banyak orang. “Kami punya gudeg kaleng yang bisa tahan sampai satu tahun sekalipun tidak dilengkapi pengawet,” kata dia sembari menunjukkan tumpukan gudeg kaleng yang dipajang.

Gudeg kaleng yang berukuran 300 gram ini memiliki tiga varian isi, yakni krecek, telur tahu, dan ayam. Harga yang dipatok per kalengnya relatif terjangkau yakni Rp30.000. “Pas untuk oleh-oleh karena kemasannya tidak mudah rusak,” jelas laki-laki berusia 38 tahun ini mempromosikan dagangannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya