SOLOPOS.COM - Slamet Riyadi, menantu Tumirah atau Yu Tum, yang kini menjadi pengelola usaha gatot tiwul Yu Tum memamerkan tiwul olahannya di Wonosari, Gunungkidul, Selasa (7/7/2015).(JIBI/Harian Jogja/Uli Febriarni)

Kuliner Jogja yang khas dan tak boleh dilupakan adalah tiwul Yu Tum dari Gunungkidul dan peyek tumpuk Yu Tum dari Bantul.

Harianjogja.com, JOGJA-Dikenal sejak 1960-an, peyek Mbok Tumpuk hingga kini tetap eksis sebagai oleh-oleh khas Bantul. Sementara, oleh-oleh khas Gunungkidul, yakni gatot tiwul, terus dikembangkan dengan berbagai varian.

Promosi BRI Group Buka Pendaftaran Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 untuk 6.441 Orang

Bentuknya tak seperti peyek kebanyakan yang cenderung tipis. Camilan berbahan kacang dan tepung beras ini mirip kacang tanah yang ditumpuk hingga sebesar genggaman tangan orang dewasa. Oleh karena rupanya yang tak lazim itu, makanan ini dinamai peyek tumpuk.

“Kebetulan yang pertama kali membuat makanan ini namanya juga Mbok Tumpuk, sehingga disebut peyek tumpuk,” ungkap Zamzani pembuat peyek tumpuk saat disambangi di rumah produksi peyek tumpuk di Jl. Wahid Hasyim Bantul, Kamis (9/7/2015).

Peyek tumpuk terus melegenda. Selain dikenal sebagai camilan khas asal Bantul, makanan ringan itu kerap menjadi oleh-oleh warga saat pulang mudik Lebaran atau sehabis berwisata di Bantul. Tidak hanya wisatawan lokal, turis dari berbagai belahan dunia seperti Belanda, Jepang dan Afrika sudah pernah menyicipi renyahnya peyek tumpuk.

Peyek tumpuk bahkan pernah memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) lantaran beratnya melebihi peyek kebanyakan untuk satu tumpuk camilan. Oleh karena dikenal luas, sejumlah chef kondang Indonesia seperti Farah Quin pernah menyambangi rumah produksi camilan peyek tumpuk.

Kini menjelang Lebaran, produksi peyek tumpuk terus digenjot. Zamzani bersama dua rekannya sesama pembuat peyek tumpuk kewalahan menyiapkan pasokan peyek untuk oleh-oleh. “Dari jam lima pagi sampai delapan malam kami kebut membuat peyek. Biasanya baru mulai jam delapan hingga jam empat sore,” ungkap lelaki 47 tahun itu.

Kapasitas produksi ditingkatkan. Bila biasanya mereka hanya mengolah 40 kilogram tepung beras dan 80 kilogram kacang tanah, kini Zamzani dan dua rekannya harus mengolah 60 kilogram tepung dan 120 kilogram kacang tanah. Dalam sehari, pembuat peyek tumpuk mampu memproduksi 200 bungkus, masing-masing seberat setengah kilogram. Peyek dibanderol seharga Rp20.000 per bungkus.

Makanan ini dapat bertahan hingga satu bulan. Proses mengolah peyek tumpuk membuat makanan ini tahan lama. Menurut Zamzani, cara mengolah peyek tumpuk tak semudah peyek lainnya. Butuh tiga kali penggorengan. “Hari pertama digoreng dua kali, lalu didiamkan semalam. Esok harinya digoreng lagi sekali,” tutur dia.

Lantaran proses penggorengan yang lama, adonan tepung akan berbentuk mirip ayam kremes, tentu dengan rasa yang renyah sehingga peyek satu ini digemari banyak konsumen.
Petugas parkir peyek Mbok Tumpuk, Toro, menuturkan, permintaan peyek tumpuk akan meningkat pada H-3 dan H-2 Lebaran. Di hari-hari padat seperti ini, jumlah pengunjung dapat menembus ribuan orang dalam sehari. “Kalau mau Lebaran, 1.000-an pengunjung ada dalam sehari. Hari biasanya saja 100-an orang yang beli lebih,” ungkap Toro.

Inovasi
Sementara, tiwul yang merupakan makanan khas Gunungkidul dibuat lebih variatif. Tiwul berbahan utama singkong dan biasanya hanya diolah dengan campuran gula. Namun, Slamet Riyadi dan Suratmi, istrinya, mencampur tiwul dengan beragam bahan makanan unik lainnya. Keju,coklat, misis hingga nangka menjadi campuran dalam olahan tiwul.

Suratmi adalah anak Tumirah atau Yu Tum, yang kini menjadi pengelola usaha gatot tiwul Yu Tum di Wonosari. Slamet juga telah menambahkan tiwul keju dalam menu tiwul yang bisa dibeli pengunjung toko oleh-oleh yang mulai buka pada 2004 itu. Ayah tiga anak itu bersama karyawannya kemudian menambahkan keju dalam daftar komposisi tiwul, serta menaburkan pula bahan makanan dengan cita rasa asin gurih itu ke atas tiwul. Nyatanya, tak sedikit yang kemudian memesan dan membawa pulang tiwul olahan mereka ke rumah.

Pada hari biasa, Slamet menyiapkan 50 kilogram hingga 60 kilogram tepung gaplek untuk bahan olahan tiwul per harinya. Pada Sabtu atau Minggu, bahan yang disiapkan sampai satu kuintal atau 1,5 kuintal. Sementara, singkong yang disiapkan untuk bahan gatot adalah 1,5 kuintal per hari.

Namun, menjelang libur Lebaran 2015, Slamet kemudian menambah bahan baku tiwul dan gatot, masing-masing hingga tiga ton. “Liburan sekolah sepertinya akan berlangsung lebih panjang, mudah-mudahan permintaan pasar positif. Kami selalu menambah stok ketika libur Lebaran, karena kami tidak ingin pelanggan kecewa, ketika datang ke toko, justru kehabisan,” ungkap dia, Selasa (7/7/2015).

Ia sempat mengamati lesunya permintaan pasar pada empat bulan terakhir, daya beli masyarakat menurun dan berimbas pada angka penjualan. Namun, pada Lebaran kali ini ia optimistis akan terjadi peningkatan pembelian. Slamet juga menambah stok gatot dan tiwul instan hingga 1.000 bungkus untuk masing-masing produk, dan belalang bacem hingga 1.200 toples.

“Untuk sejumlah makanan olahan singkong lainnya, atau beragam cemilan saya juga tambah stoknya. Kalau untuk belalang gurih belum datang, kemungkinan stok datang mendekati hari Lebaran,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya