SOLOPOS.COM - KETRING--Chilli Pari melayani jasa ketring di sebuah kantor bamk di Solo, beberapa waktu alau (FOTO/Istimewa)

NYARIS DARI NOL-Nanang Budiyanto (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Muda, lulusan dari kampus ternama dan punya ayah seorang pengusaha ternama dan pejabat publik. Jika bicara soal masa depan, tak perlu dipertanyakan lagi mau jadi apa nanti.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tapi bagi Gibran Rakabuming, semua itu benar-benar ditolaknya. Digadang-gadang sebagai penerus usaha ayahnya di bidang mebel, putra sulung Joko Widodo (Jokowi) ini justru lebih memilih untuk merintis usaha sendiri di bidang katering. Alasannya sederhana namun menggambarkan idealisme anak muda yang enggan menikmati sukses warisan orangtuanya.

“Saya enggak mau karena enggak tertarik di bidang itu. Saya memang enggak mau sekadar melanjutkan karena gitu-gitu aja,” kata Gibran saat ditemui Espos, pekan lalu. Lulus dari Management Development Institute of Singapore, 2007 lalu, dia tidak langsung bisa membangun usahanya karena sulitnya mencari modal. Selain tidak ingin cuma mewarisi usaha, Gibran juga tidak ingin memanfaatkan kekuatan modal orangtuanya. Apalagi, orangtuanya tak pernah 100% setuju dengan tekadnya ini.

TANPA JOKOWI-Gibran Rakabuming (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

Tak ada modal dari orangtua. Satu-satunya pihak yang bisa diharapkan untuk memberinya modal adalah bank. Mulailah Gibran menyusun proposal dan mengajukannya ke berbagai bank. Karena tak ada pengalaman usaha dan usianya yang saat itu masih 22 tahun, proposalnya nyaris ditolak semua bank. Beruntung masih ada satu bank yang masih mau memberinya kesempatan. Dia tak menyebut nominalnya, namun katanya hanya sedikit dari yang diajukannya. “Saya mengajukan sekian tapi yang turun hanya sebagian kecil.”

Dari modal pinjaman itulah Gibran memulai petualangan perdananya di bidang kuliner dengan nama Chilli Pari. Keterbatasan modal membuatnya harus membuat prioritas. Tapi bukan untuk membeli bahan makanan seperti halnya katering pada umumnya tapi untuk membangun kantor. Dia memang sengaja memprioritaskan penampilan kantor depannya yang mirip restoran mini.

“Pertama kali yang penting kantor depan dulu harus bagus. Di belakang dulu belum ada apa-apa, cuma ada satu kompor.” Dengan kantor yang bagus itulah dia berupaya menarik konsumen. “Kantor ini sebenarnya digunakan sebagai test food. Sebelum pelanggan pesan, mereka bisa mencoba dulu makanannya.”

MENU--Salah satu contoh menu yang disajikan oleh Chili Pari Cetring (FOTO/Istimewa)

Konsep baru ini pun tidak bisa langsung menarik konsumen secara instan. Umumnya pelanggan lebih percaya dengan katering atau restoran yang sudah punya nama. Gibran pun menerjunkan tim pemasaran untuk menjemput pasar. Upayanya tak langsung membuahkan hasil dan harus menerima penolakan sampai pembatalan pesanan gara-gara namanya belum dikenal.

Pelan-pelan tim marketingpun mulai menjaring para konsumen yang kebanyakan kalangan menengah ke atas. Gibran pun ikut turun tangan sendiri meyakinkan calon konsumen di kantor maupun di rumah-rumah. Kini menjadi salah satu katering yang diperhitungkan di Kota Solo. Meski demikian dia tetap menolak memanfaatkan nama ayahnya sebagai orang nomor satu di Solo untuk mendongkrak usahanya.

KETRING--Chilli Pari melayani jasa ketring di sebuah kantor bamk di Solo, beberapa waktu alau (FOTO/Istimewa)

“Saya sudah tekankan pada tim marketing untuk menolak pesanan dari Pemkot.”

 

Tak Sengaja

Lain lagi dengan kisah Nanang Budianto, pemain muda lainnya yang kini terjun di usaha kuliner. Sama-sama mengelola bisnis katering, Nanang punya latar belakang berbeda saat memulai usahanya. Pemilik Kino Katering ini malah mengakui keterlibatannya dengan dunia kuliner dimulai dari ketidaksengajaan.

Lulus dari Program D3 Akuntansi UNS 2001, Nanang belum yakin untuk menggeluti usaha kuliner. Dia malah lebih memilih untuk bekerja selama beberapa bulan sebagai petugas sales. Namun selama bekerja, Nanang memang sudah sering membantu ibunya mengelola katering jika sedang ada order besar.

“Waktu itu saya sampai sering bolos kerja, soalnya kalau ada job di Kino saya pasti pilih tidak masuk,” kata Nanang.

Kondisi itulah yang akhirnya membuat Nanang harus memilih salah satu, tetap bekerja sebagai pegawai atau jadi wiraswasta. Pilihan kedualah yang diambil karena dia punya banyak angan-angan untuk kateringnya itu. Apalagi sebagai anak bungsu, hanya dialah satu-satunya anggota keluarga yang bisa meneruskannya. Maka, pada 5 Februari 2002, Nanang memutuskan untuk keluar dari pekerjaan. “Dulu kakak saya yang pertama tidak mau, kakak saya yang lain juga tidak. Akhirnya cuma saya yang harus bantu ibu.”

Dari upaya membantu sang ibu inilah Nanang menjadi seorang pengusaha kuliner baru. Namanya dulu memang belum bayak dikenal sebagai pemilik usaha kuliner. Namun setelah sepuluh tahun berjalan, Kino Katering ini menjadi salah satu katering yang populer di Solo.

Sebelum dikelola oleh Nanang, Kino hanya sebuah usaha kecil-kecilan yang melayani pesanan makanan dalam jumlah yang tidak besar. Setelah Nanang serius menggarapnya sejak 2002, Kino baru berganti wajah. Kini Kino bukan lagi sebuah usaha kelas rumahan namun dianggap sebagai salah satu usaha kuliner yang cukup besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya