SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Entah mengapa Lebaran tahun ini terasa berbeda. Setelah dua tahun lebih pandemi, memang baru kali ini pemerintah membolehkan masyarakat melaksanakan ritual mudik Lebaran. Akibatnya, kita seperti melihat “mudik balas dendam”.

Data dari Badan Litbang Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik tahun ini mencapai 85 juta orang. Episentrum mudik tentu saja berpusat di Jawa dan Sumatra. Jumlah signifikan berasal dari Jabodetabek ke Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Sumatra.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menurut catatan Kemenhub, 11,2 juta pemudik menggunakan moda angkutan umum. Jumlah itu berlipat ganda, bila memperhitungkan pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi. Dengan keberadaan tol trans-Jawa, penggunaan kendaraan pribadi pun membeludak.

Bahkan, pemerintah menerapkan pengaturan one-way traffic di tol trans Jawa hingga Semarang untuk antisipasi kemacetan. Trauma “horor Brexit” saat terjadi macet parah akibat euforia tol baru “Brebes Exit” beberapa tahun silam, tak boleh terulang.

Strategi one-way ini terbukti manjur. Arus mudik dan arus balik tahun ini relatif lancar. Teman saya, salah satu founder media digital ternama di Jakarta, hanya butuh waktu 6 jam dari Kudus ke Jakarta saat arus balik. Begitu pula pengalaman pemudik dari Jakarta ke Jawa Tengah. Semuanya relatif lancar.

Maka, dampaknya begitu nyata di Soloraya. Mobilitas manusia “tumplek blek” di kawasan yang kental dengan tradisi mudik Lebaran ini. Realitanya tampak di desa kelahiran saya, di wilayah kecamatan Baturetno, Wonogiri, sekira 70 km dari Solo. Tiba-tiba saja banyak mobil bagus berpelat nomor B hilir-mudik, lalu-lalang di jalanan desa.

Sebelum malam takbiran 1 Syawal 1443 H, banyak rumah makan di jalur Solo-Wonogiri, hingga ke arah Ponorogo dan Pacitan, dipenuhi manusia yang berbuka puasa. Bahkan saya bersama keluarga sampai kesulitan mencari tempat makan. Di sepanjang perjalanan, kami selalu menemui rumah makan yang penuh sesak bahkan kesulitan parkir saat mau berhenti.

Mulai dari warung bakso hingga restoran ayam goreng dan “makanan rumahan” khas Jawa lainnya, seolah tiba-tiba dijejali pembeli. Entah akibat dari banyaknya “pemudik balas dendam”, atau memang banyak warga yang lagi pengin makan di luar. Rumah makan tradisional di seputar jalur wisata memang tumbuh makin banyak.

Memang, beberapa tahun terakhir ini, kebiasaan makan di luar semakin marak. Perilaku “mamas“, alias malas masak, telah menjadi semacam budaya baru di banyak keluarga. Tak hanya warga kota, juga di pedesaan.

Ibu saya yang jago masak, dan masakannya serba enak, belakangan juga sering pesan makanan ke katering langganan. Entah oseng-oseng tempe, sambel goreng kentang, atau serundeng (srondeng) daging. Mau yang praktis saja. Banyak keluarga lain pun seperti itu. Berpikir praktis. Enggan repot. Apalagi kalau jumlah keluarganya tak banyak.

Namun bukan cuma itu saja penyebab maraknya restoran di jalur wisata kawasan Soloraya. Destinasi wisata, utamanya di Jawa Tengah bagian selatan, belakangan ini memang marak. Mulai dari perbatasan Pacitan, hingga Yogyakarta dan ke barat lagi hingga perbatasan dengan Jawa Barat. Ini membuat mobilitas manusia kian mengalir ke wilayah selatan. Untuk berwisata.

Apalagi jalur pantai selatan Jawa alias Pansela kini sebagian besar sudah mulus dan lebar. Destinasi baru, terutama wisata pantai, gunung dan heritage juga terus berkembang. Pun atraksi wisata.

Itu semua menghasilkan sebuah kombinasi yang sempurna untuk menghasilkan geliat ekonomi pariwisata. Maka tak heran, bila jalur wisata dari Solo menuju ke Jateng bagian selatan kian bergeliat.

Jelas ini memberi manfaat ekonomi pula bagi Solo, sebagai hub ekonomi di Jawa Tengah, setelah keberadaan tol trans-Jawa yang melewati kota ini. Kondisi ini pula yang ingin dimaksimalkan oleh Wali Kota Solo, Mas Gibran Rakabuming Raka.

Dan bagi kawasan Soloraya, dampaknya nyata sekali. Bukan cuma warung makan dan restoran saja yang tumbuh pesat, tetapi juga penginapan. Maka, kalau bicara pariwisata, prinsip penguatan Akses (jalan dan infrastruktur), Amenity (penginapan) dan Atraksi (tontonan), menjadi keharusan dan realita yang tak bisa dihindarkan.

Efek ekonominya berganda. Dan Lebaran tahun ini menjadi evidence alias bukti yang nyata. Mudik bukan sekadar perjalanan spiritual menengok kampung leluhur atau sungkem kepada orang tua, melainkan juga menjadi manifestasi geliat ekonomi wisata yang nyata.

Dan dampaknya sungguh kentara. Setelah hari pertama dan kedua Lebaran, jalur-jalur wisata macet luar biasa. Di mana-mana. Baik wisata pantai selatan Jawa, kawasan dingin seperti Tawangmangu dan Selo, maupun Dieng di tengah Jawa Tengah.

Di Jogja dan Solo, kota yang memang dikenal sebagai destinasi wisata, macet di mana-mana. Banyak cerita, jalur Jogja-Solo menjadi seperti “jalur neraka”. Mustafa, pengguna jalan di jalur Klaten-Jogja, terpaksa lepas dari “jalur neraka” itu sekitar dua jam. Teman yang lain, dari Jogja ke Solo makan waktu empat jam. Padahal dalam kondisi normal maksimal hanya dua jam, bahkan bisa 1,5 jam.

Ini terjadi karena kepadatan lalu lintas akibat volume kendaraan yang melonjak drastis dipenuhi pemudik yang berwisata. Kemacetan lalu lintas adalah tanda nyata pergerakan ekonomi. Andaikan jalur Solo-Jogja saat ini sudah ada jalan tol, barangkali akan jauh memperbaiki kondisi kepadatan lalu lintas dua kota destinasi utama ini. Dan mobilitas ekonomi akan lebih leluasa.

***

Tak dipungkiri, Lebaran menjadi penggerak ekonomi yang luar biasa. Untungnya, pemerintah mengizinkan mudik Lebaran tahun ini, meski dengan sejumlah persyaratan berkaitan dengan protokol kesehatan.

Harap maklum. Persyaratan maupun imbauan memang sudah sewajarnya, mengingat kita berkepentingan agar pandemi Covid-19 yang sudah relatif terkendali ini terus terjaga. Jangan sampai pasca-Lebaran ini terjadi lagi ledakan kasus Covid-19, yang akan menimbulkan risiko baru bagi pemulihan ekonomi.

Saya kira kita semua memiliki keinginan dan harapan yang sama. Pandemi ini segeralah berlalu. Status pandemi segera dapat berubah menjadi endemi. Ekonomi bisa bergerak lagi lebih kencang dan merata. Pulih lebih cepat, pulih bersama-sama. Seperti tema dari keketuaan Indonesia di forum G-20, kumpulan negara-negara kaya di mana Indonesia adalah satu di antaranya.

Karenanya, disiplin terhadap prokes alias protokol kesehatan hari ini tetap penting. Kita bersyukur karena Indonesia sudah berada pada zona relatif aman. Jumlah kasus baru maupun kasus aktif sudah sangat minimal. Bahkan beberapa hari belakangan, hanya ada 200-an kasus baru harian.

Survei serologi juga menyebutkan bahwa lebih dari 99% masyarakat Indonesia sudah memiliki antibodi virus Covid-19. Dalam bahasa awam, itu berarti bahwa nyaris seluruh masyarakat Indonesia sudah memiliki kekebalan terhadap virus Covid-19. Entah karena vaksinasi, pernah terpapar Covid-19 baik bergejala maupun tanpa gejala (OTG), atau kombinasi dari dua-duanya.



Itu berarti risiko ledakan kasus Covid-19 di masa yang akan datang relatif lebih rendah dibandingkan situasi pasca-Lebaran pertengahan tahun lalu. Mudah-mudahan kabar baik itu terus terjadi hingga sebulan mendatang. Moga-moga tiada ledakan kasus Covid pasca Lebaran tahun ini.

Bila ini terjadi, maka dapat dipastikan pemulihan ekonomi akan berjalan lebih kencang. Tanda-tanda ini sudah tampak di musim mudik Lebaran kali ini. Statistik, meski para ekonom suka bercanda lying with statistic, kali ini tidak bohong.

Mudik balas dendam telah mengirimkan jutaan warga berlalu-lalang di seantero Indonesia. Indikator proxy-nya boleh tengok konsumsi bahan bakar minyak, yang melonjak hingga 41% selama periode mudik. Itu kata Nicke Widyastuti, Dirut Pertamina. Dan kawasan Soloraya menerima berkahnya. Ekonomi Lebaran terlihat nyata. Bukan cuma rumah makan dan tempat wisata –dan multiplier effect-nya– saja yang ramai manusia.

Lalu lintas uang juga terlihat nyata. Secara nasional, menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, nilai ekonomi Lebaran tahun ini mencapai Rp175 triliun. Menteri Pariwisata Sandiaga Uno menyebutkan nilai ekonomi pariwisata selama Lebaran mencapai Rp72 triliun. Bank Indonesia malah menyediakan cash Rp202 triliun untuk kebutuhan masyarakat di seputar Lebaran.

Ini tanda-tanda baik. Ekonomi Lebaran, sebagai bagian penting dari mobilitas manusia terbesar setelah Liburan Tahun Baru Imlek dan Pekan Hari Buruh di China, menjadi saksi bahwa kekuatan konsumen menjadi andalan bagi perekonomian Indonesia.

Kekuatan konsumen ini adalah modal kuat bagi ketangguhan ekonomi Indonesia, yang ternyata begitu cepat terungkit bangkit meski sempat nyaris sekarat dihantam pandemi. Di tengah krisis pangan dan energi dunia, ternyata kita masih baik-baik saja.

Bahkan, hari ini kita seakan lupa pernah mengalami krisis minyak goreng. Padahal itu terjadi baru saja. Jangan-jangan, bila ada yang teriak bahwa Indonesia dan banyak “rakyat” mengalami kesulitan ekonomi, itu hanya gaduh di sosial media semata. Bukan realita yang sebenarnya.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Esai ini telah terbit di Koran Solopos edisi Rabu (11/5/2022), ditulis oleh jurnalis Solopos dan Bisnis Indonesia Arif Budisusilo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya