SOLOPOS.COM - Ilustrasi thrifting (Freepik)

Solopos.com Stories

Solopos.com, SOLO — Tumbuh dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir, tren thrifting ternyata sudah terjadi sejak puluhan tahu lalu. Bedanya, pada era 1990-an, pelaku usaha thrifting khususnya produk impor bergerak dengan sembunyi-sembunyi. Sementara sekarang gerai yang menjual produk thrifting impor bisa ditemukan dengan mudah.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Mantan pelaku usaha thrift, Iman Santoso, 51, menceritakan dirinya pada 1990-an merupakan pedagang barang thrift produk impor karena ikut-ikutan temannya. “Saya mengerti kulakan-nya di mana dulu, itu satu karung harganya Rp400.000, dengan asumsi per kaos itu Rp3.000, paling mahal Rp5.000. Tapi kenapa sekarang kok bisa mahal, padahal kualitasnya sama, bekas juga, nah itu [dipertanyakan],” terang Iman kepada Solopos.com pada Minggu (19/3/2023).

Iman mengaku heran saat ini barang-barang thrift bisa dijual dengan bebas, dan berani masuk ke mal. Iman menuturkan dulunya pedagang thrift impor tidak berani berjualan secara terbuka, hanya di pinggir jalan dan tetap harus waspada. “Kok sekarang terang-terangan dan bebas, saya juga bingung,” ujar Iman.

Ketika ia berjualan, dulunya barang thrift masuk Indonesia melalui pelabuhan di Jawa Timur. Saat itu, ia juga berjualan di Jawa Timur. Dulunya istilah jual beli baju impor bekas dikenal dengan istilah babebos, akronim dari barang bekas bos. “Saya enggak jualan offline, jadi saya melempar karung, dulu ambil di truk, barang dari truk itu dilempar satu ball, dua karung itu,” papar Iman.

Iman mengaku hanya kurang dari setahun berbisnis thrifting ini. Ia menyadari bahaya selalu mengintai jika terus menggeluti bisnis ini. Pasalnya, ia harus kejar-kejaran atau main kucing-kucingan dengan Bea Cukai. “Tapi saat ini seperti dikasih lahan,” kata dia.

Iman mengaku bahwa barang tersebut ia ambil dari Pasar Turi, Surabaya. Setelah membeli barang-barang tersebut, ia tidak bisa sembarangan menggelar lapak untuk berjualan. Ia harus masuk gang-gang kecil agar tidak ketahuan petugas Bea Cukai. Oleh sebab itu, ia mengaku heran karena saat ini produk thrift bisa dijual bebas, bahkan di media sosial.

Kini banyak bursa pakaian bekas yang menawarkan paket usaha thrift. Anda juga bisa mencarinya di Google dengan mengetik kata kunci paket usaha thrift.

Muncul paling atas dalam hasil pencarian adalah gudang ball import yang menyediakan paket usaha. Kemudian banyak dari e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada yang menyediakan paket usaha thrift.

Solopos.com pada Kamis (16/3/2023) mencoba melakukan pencarian di Shopeee dengan kata kunci yang sama. Di toko @twelve.garage, menyediakan paket usaha seharga Rp432.000 dan mendapatkan 19 buah baju. Paket usaha thrift tersebut dijual mulai Rp200.000.

Dengan harga Rp350.000 bisa mendapatkan delapan kilogram yang berisi 30 hingga 45 buah baju. Kemudian di toko, @adindasecondstore, dengan Rp350.000 bisa mendapatkan sepuluh buah crewneck yang siap dijual kembali.

Maraknya bisnis thrifting ini ternyata dimulai dari tren ngawul hingga menjamurkan thrift shop. Hal ini diulas Faiz Salman Ar-rosyiid dalam skripsinya berjudul Thrifting as a Cultural Studies: Representasi Budaya Thrifting sebagai Identitas Sosial yang ditulis pada 2022. Solopos.com mengakses skripsi tersebut di laman digilab.uns.ac.id. pada Senin (20/3/2023).

Sejarah munculnya budaya thrifting di Indonesia awalnya berkembang di wilayah pesisir laut Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, seperti Sumatra, Batam, Kalimantan, hingga Sulawesi jadi pintu masuk impor pakaian bekas.

Semakin lama, bisnis pakaian impor bekas ekspansi ke Pulau Jawa. Semua menjual dengan embel-embel barang impor ketimbang memberikan label pada barang dagangan mereka dengan barang bekas.

Masuknya bisnis barang bekas berawal dari pengiriman berupa ball yang masuk melalui pesisir Indonesia dan kemudian tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Istilah awul ini tidak digunakan di seluruh wilayah Indonesia, melainkan hanya di daerah tertentu seperti Yogyakarta, Magelang, Temanggung, dan sekitarnya.

Sementara itu, di daerah lain memiliki istilah sendiri seperti di Solo khususnnya bagi pedagang Pasar Notoharjo memiliki sebutan Bataman karena barang yang dijual sebagian besar berasal dari daerah Batam. Kemudian di daerah Jawa Timur memiliki sebutan Babebos sebuah singkatan dari barang bekas bos.

Di daerah Makassar sebutannya yaitu Cakar sebuah singkatan juga dari cap karung karena barang bekas tersebut diimpor dalam bentuk karung yang memiliki cap berbeda tiap perusahaan di luar negeri. Kemudian untuk daerah Jawa Barat sesuai dengan bahasanya yaitu Bahasa Sunda, memiliki sebutan yaitu Tilas yang artinya bekas.  Untuk daerah Bandung memiliki sebutan sendiri yaitu Cimol dan sebutan terakhir yang peneliti temukan yaitu Monza yang dipakai di daerah Sumatra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya