SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Pada 18 Juni 1920 malam, pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, mengumpulkan santri dan murid-muridnya. Pukul 21.00 WIB, Ahmad Dahlan memimpin rapat istimewa di Jogja.

Saat itu sudah delapan tahun Muhammadiyah berdiri. Ahmad Dahlan semakin renta. Pada masa-masa akhir hidupnya, dia dan santri-santrinya menyusun road map Muhammadiyah menjadi organisasi dengan kegiatan di berbagai bidang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ada yang mengurusi Bahagian Sekolahan yang diketuai H.M. Hisyam; Bahagian Tabligh diketuai H.M. Fakhrudin, Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dipimpin H.M. Syoedja’; dan Bahagian Taman Pustaka dengan ketua H.M. Mokhtar.

Mereka diminta mempresentasikan apa yang akan dikerjakan. Hisyam dari Bahagian Sekolahan berencana membangun sekolahan sampai universitas. Fakhrudin yang memimpin Bahagian Tabligh menyatakan akan mengembangkan agama Islam dengan jalan bertablig, membangun madrasah hingga pondok luhur modern.

Mokhtar sebagai Ketua Bahagian Taman Pustaka memiliki obsesi mencetak selebaran, majalah bulanan, hingga buku-buku dengan harga murah maupun gratis, lalu membangun perpustakaan. Rencana itu rata-rata disambut dengan ucapan syukur dan tepuk tangan hadirin.

Saat Syoedja' sebagai Ketua Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem menyampaikan rencana, respons peserta rapat itu berbeda. Mereka malah tertawa sembari meremehkan. Apa yang disampaikan Syoedja’?

Dia menyatakan akan  membangun hospital (rumah sakit) untuk menolong warga yang sakit. Ahmad Dahlan meminta hadirin tenang dan tetap mendengarkan. Rencana Syoedja’ lainnya adalah membangun armhuis, sebuah istilah asing.

”Apa itu armhuis?” Ahmad Dahlan bertanya.

”Menurut kata orang, armhuis artinya adalah rumah miskin,” ujar Syoedja’.

Pernyataan itu kembali direspons peserta rapat dengan tertawa.

”Membangun apa lagi?” Ahmad Dahlan bertanya lagi.

Syoedja’ menyebut akan membangun weeshuis. Dia menjelaskan weeshuis artinya rumah yatim. Lagi-lagi, orang-orang menertawakan karena menganggap program-program itu seharusnya dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh Muhammadiyah.

Ahmad Dahlan meminta peserta sidang tenang. Ahmad Dahlan mendukung rencana-rencana santrinya, termasuk yang dianggap muluk-muluk. Itulah cerita yang disampaikan Syoedja’ dalam buku berjudul Cerita tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan, Catatan Haji Muhammad Syoedja’.

Syoedja’ adalah santri Ahmad Dahlan. Selain berlatar belakang agama, Syoedja’ juga penulis. Dia termasuk redaktur Islam Bergerak, media yang diterbitkan oleh Haji Misbach di Kota Solo.

Selain Syoedja’, murid Ahmad Dahlan yang juga menjadi redaktur Islam Bergerak di Kota Solo adalah H.M. Fakhrudin yang menjadi Ketua Bahagian Tablig Muhammadiyah.

Hal yang disampaikan Syoedja’ dalam sidang istimewa Muhammadiyah itu adalah gagasan besar yang dilakukan oleh rakyat. Murni oleh bumiputra, bukan oleh pemerintah kolonial. Program-program seperti membangun rumah sakit saat itu hanya bisa dilakukan penguasa atau oleh zending.

Kini kita melihat rumah sakit PKO (sekarang menjadi PKU), rumah yatim atau panti asuhan, dan rumah miskin (panti jompo dan sejenisnya)  bertebaran di Nusantara berdampingan dengan sekolah maupun amal usaha lain.

Sejak dulu inisiatif rakyat tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena itulah, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengabaikan faktor sejarah dalam Program Penggerak Pendidikan, pengamat sosial politik Fachry Ali melalui status di akun Facebook pada 22 Juli 2020 meminta Nadiem belajar sejarah karena mengabaikan Muhammadiyah (berdiri 1912) dan Nahdlatul Ulama (berdiri 1926).

Dua organisasi itu bersama Al Irsyad (berdiri 1914), Taman Siswa (berdiri 1922), dan berbagai organisasi lainnya telah berkiprah di bidang pendidikan sebelum Indonesia merdeka.

Sebagai gambaran sederhana begini, jika tidak ada inisiatif rakyat untuk menyelenggarakan pendidikan, apakah sekolah negeri mampu menampung seluruh siswa? Mereka bergerak karena peduli pada pendidikan rakyat.

Mereka bergerak karena pemerintah tak mampu menangani semua itu. Jika tidak ada elemen rakyat yang membangun rumah sakit, apakah rumah sakit yang dikelola negara mampu menampung semua orang sakit? Tentu tidak.

Inisiatif Sama

Pemerintah memang memiliki kewajiban, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pemerintah tak bisa melakukan itu sendiri. Rakyat memiliki kuasa, daya, dan inisiatif. Lihat saja yang dilakukan saat pandemic Covid-19. Ketika pemerintah mengeluarkan banyak program, rakyat sudah memiliki inisiatif yang sama.



Ketika pemerintah membagi-bagi bantuan sosial bagi warga terdampak, di masyarakat hal itu sudah dilakukan oleh individu, komunitas, maupun organisasi kemasyarakatan. Ada keluarga yang menyantuni tetangganya yang kena pemutusan hubungan kerja atau membagi-bagikan nasi kotak maupun bahan pokok.

Ketika pemerintah punya program Kartu Prakerja, banyak organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga filantropi, amil zakat, komunitas, dan pribadi yang juga memiliki inisiatif serupa.

Yang paling sederhana, ada keluarga yang memberi pekerjaan kepada tetangganya yang kena pemutusan hubungan kerja. Pekerjaan sederhana seperti membersihkan kebun, memperbaiki genting rumah yang bocor, dan lainnya.

Sedangkan orgnaisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga filantropi menyelenggarakan kursus bagi masyarakat. Kursus cukur rambut, servis telepon seluer, desain, dan sebagainya.

Tidak ada pelatihan memancing sebagaimana program di Kartu Prakerja (yang kemudian direvisi menjadi pelatihan bisnis perikanan). Ketika pemerintah mengalokasikan sekian triliun rupiah untuk penanganan Covid-19, warga melakukan hal serupa, menyisihkan sebagian pendapatan untuk iuran, beramal, untuk penanganan pandemi ini.

Ada yang bergerak secara pribadi, ada yang lewat komunitas, organisasi, dan sebagainya. Dana digunakan untuk menyemprot  perkampungan, rumah ibadah, dan sekolahan dengan disinfektan. Ada juga yang dananya untuk pengadaan bahan pokok yang dibagikan kepada warga terdampak.

Muhammadiyah mengumpulkan dari anggota dan simpatisan Rp123,5 miliar untuk penanganan Covid-19 di luar rumah sakit. Anggota Korpri di Kota Solo mengumpulkan Rp1,4 miliar diwujudkan dalam 10.000 paket bantuan. Ada juga siswa SMP dan SMA/SMK/MA merayakan kelulusan dengan membagi-bagikan bahan pokok.

Banyak pula seniman lokal sampai internasional yang menggelar konser amal yang hasilnya digunakan untuk penanganan dampak pandemi Covid-19. Didi Kempot menggelar konser amal yang menghasilkan Rp7,6 miliar. Dana itu disalurkan melalui organisasi filantropi untuk rakyat terdampak Covid-19.

Itu semua tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Semua itu tidak tercatat oleh negara, jumlahnya tentu sangat besar.

Walau inisiatif warga sangat besar dan signifikan, kewajiban utama tetap di pundak pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki uang. Uang itu berasal dari pajak yang dibayarkan rakyat dan disalurkan kembali kepada rakyat.

Dalam penanganan Covid-19, ujung tombaknya adalah pemerintah. Rakyat hanyalah pendukung. Rakyat jangan malah disalah-salahkan gara-gara Covid-19 makin merebak.

Jangan-jangan kebijakan pemerintah belum pas sehingga pagebluk Covid-19 tak kunjung mereda. Jadi, sembari tak bosan menuntut penguasa bekerja dengan baik, rakyat perlu berinisiatif melakukan sendiri apa yang bisa dilakukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya