SOLOPOS.COM - (Achmad Syukri Prihanto, Trainer HRD, marketing dan kebijakan publik)

(Achmad Syukri Prihanto, Trainer HRD, marketing dan kebijakan publik)

Warga Solo tentu sangat bangga dengan kepemimpinan dan pembangunan kota di era pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Gaya kepemimpinannya yang nguwongke wong sangat menyentuh. Sisi humanismenya sangat jarang terlihat dari seorang pemimpin daerah. Jokowi melakukannya sebagai bagian cara melayani dan menghargai warganya, bukan sebagai pencitraan.

Bagi Jokowi, tugas pemerintah adalah memberi ruang kepada pedagang kecil untuk maju, bukan menggusur mereka. Pemimpin yang baik adalah yang mengikuti keinginan orang yang dipimpin.

Tiap orang boleh beda, tapi leader dan leadership merupakan dua hal yang menentukan lemah kuatnya seorang pemimpin daerah, bahkan negara. Pada tataran kepemimpinan inilah, Jokowi menarik perhatian publik.

Namanya diharapkan masuk dalam bursa pemilihan gubernur DKI Jakarta atau maju memimpin Jateng. Kalau mau menelusuri lebih jauh, di beberapa mailing list, situs dan portal berita di internet, Jokowi malah diharapkan maju untuk ikut mengurus negara ini sebagai menteri, Wapres atau presiden. Dengan slogan Berseri Tanpa Korupsi, Jokowi bekerja tanpa banyak retorika, namun dengan memberi teladan.

Transparency International Indonesia memersepsikan Solo sebagai kota yang memiliki indeks persepsi korupsi (IPK) baik. Sementara Jokowi meraih Bung Hatta Anti Corruption Award 2010 atas integritas, tindakan nyata dan membangun sistem layanan publik yang terbuka.

Tulisan ini tidak bermaksud menambah daftar panjang prestasi Jokowi, namun mencoba menanggapi keinginan Jokowi yang rindu akan saran dan masukan bagi kepemimpinannya yang otomatis menjadi saran dan masukan bagi perkembangan Solo masa yang akan datang, apalagi jika kelak Jokowi benar–benar maju ke pentas politik nasional atau jika tiba waktunya meletakkan jabatan walikota.

Humanisme dan sejumlah prestasinya membuat Jokowi mudah diterima berbagai kalangan. Kini, dari elite politik, wartawan, pedagang pasar, pedagang kaki lima (PKL), bloger hingga rocker dekat dengan Jokowi.

Apalagi di kalangan pengusaha, kalangan di mana Jokowi mulai berkiprah. Sarat prestasi dan humanis serta memiliki kedekatan dengan berbagai kalangan masyarakat membuat orang jadi sungkan memberi saran dan masukan kepada Jokowi. Jokowi seolah miskin kritik. Semua orang memuji.

Tak terkecuali pujian di berbagai media massa, catatan para bloger dan komentar para facebookers di akun Jokowi. Apa jadinya jika Jokowi kelak menjadi pemimpin di pentas nasional? Ini tentu tidak sehat dan bisa saja kurang menguntungkan bagi Jokowi.

Empat sisi
Sebagai pemimpin besar dan profesional, saya meyakini Jokowi membutuhkan masukan. Layaknya sebuah masukan kepada orang yang kita hormati, tentu masukannya adalah masukan yang membangun.

Jokowi sangat berhasil dalam membangun, itu sudah jelas. Kalau sudah bagus dan berhasil begini, lalu apa yang mau dikritik? Secara sederhana, saya ingin mulai memberi masukan bagi Jokowi justru dari kelebihan–kelebihan yang selama ini kita nikmati.

Ada empat hal yang menurut saya menjadi kelebihan kepemimpinannya, yaitu city branding, leadership, kaderisasi dan reformasi birokrasi. Melalu empat hal ini, Jokowi layak untuk dipuji dan mendapat kritikan.

Pertama, Jokowi sangat berhasil dalam city branding Solo. Jokowi berhasil dalam pencitraan The Spirit Of Java, dengan menghelat berbagai acara berskala nasional dan internasional. Menyusul kemudian slogan Solo Past is Solo Future dengan menaikkan gengsi Kampoeng Batik Laweyan, Kampung Batik Kauman, Galabo, Sepur Kluthuk Jaladara, Balekambang dan Ngarsopuro.

Walau sudah dibenahi oleh Jokowi, ternyata ikon–ikon itu masih belum optimal, contohnya Galabo dan Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ). Apakah karena birokrat di bawahnya gagal mengimplementasikan konsep Jokowi?

Sementara program–program populer dan menghibur itu terus bergulir, apakah Jokowi melupakan program utama meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jangan sampai kemeriahan acara-acara di Solo hanya bisa menempatkan warganya sebagai penonton. Harapan kita perhelatan–perhelatan itu berdampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat. Jika belum, selayaknya dapat menjadi pertimbangan.

Kedua, seperti yang telah dikemukakan di awal, Jokowi sering menyinggung leadership. Baik buruknya sebuah organisasi atau daerah tergantung bagaimana pemimpinnya. Kepemimpinan Jokowi sangat kuat. Masih ingat ketika pemilihan walikota periode kedua? Jokowi meraih dukungan lebih dari 90% suara. Kehebatan Jokowi inilah yang dikhawatirkan memengaruhi mindset pola pengambilan kebijakan di pemerintahan.

Jika pengambilan kebijakan hanya mutlak di tangan walikota, apakah kemudian aparat di bawahnya juga bisa dipercayai untuk mendistribusikan berbagai kebijakannya sehingga membentuk sistem kuat? Jangan sampai setiap bentuk kebijakan Pemkot bergantung pada arahan walikota, sehingga para kepala dinas seolah tak percaya diri.

Padahal, untuk hal-hal tertentu sudah ada aturan yang jelas tanpa harus menunggu ”titah” dari walikota. Begitu membaca berita SOLOPOS (4/12/2011) tentang cara pembongkaran kios PKL Manahan menjelang ASEAN Para Games, agaknya sangat kontras dengan kebijakan Jokowi tentang PKL selama ini.

Ketiga, kelanjutan reformasi birokrasi. Agenda besar setiap pemimpin di negeri ini selain kesejahteraan rakyat adalah reformasi birokrasi. Walikota adalah jabatan politis.

Pemilihan walikota menggunakan sistem demokrasi. Kepemimpinan diputuskan melalui pemilihan umum kepala daerah. Bisa jadi Jokowi lebih dekat dengan rakyat. Dia belum tentu dekat dengan pegawai di dalam sistem pemerintahannya.

Jokowi pernah menyampaikan baru 40% permasalahan pemerintahan yang tersentuh, bahkan tidak sedikit birokrat yang menawar kebijakannya atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang dilakukannya. Agenda reformasi birokrasi menyangkut pemberantasan korupsi.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Forum Mata Air Kartopuran, peserta diskusi mengungkap masih banyak dugaan korupsi berupa pungli di instansi Pemkot Solo. Ini termasuk kasus korupsi di Terminal Bus Tirtonadi yang mencoreng pemerintahan Jokowi. Ini artinya, reformasi birokrasi tidak boleh berakhir begitu kepemimpinan Jokowi berakhir.



Dalam pemerintahan saat ini rapor pemberantasan korupsi bagus, perizinan tidak berbelit–belit, pengurusan dokumen hanya butuh waktu singkat dan kesehatan masyarakat terpelihara. Jangan sampai Jokowi sibuk mengurusi urusan eksternal Kota Solo, namun pembenahan internalnya belum selesai dan telanjur ditinggal. Jangan sampai birokrat penerus Jokowi kelak menjadi ragu–ragu, takut berbuat salah atau kurang percaya diri mengambil kebijakan.

Faktanya, Jokowi adalah seorang entrepreneur, bekerja dengan perhitungan–perhitungan matang dan orientasi pada proses dan hasil, sedangkan birokrat bekerja dengan orientasi prosedur.

Pertanyaannya, sudahkan internalisasi nilai–nilai kepemimpinan Jokowi menguat pada birokratnya? Padahal, Jokowi juga masih banyak pekerjaan rumah seperti penyelesaian masalah warga bantaran sungai, masalah bekas Pabrik Es Sari Petojo, optimalisasi Bus Solo Batik Trans, sengketa Taman Sriwedari, pembenahan TSTJ sampai problem klasik perkotaan seperti banjir dan kemacetan lalu lintas.

Keempat, kaderisasi. Walaupun kepemimpinan Jokowi adalah produk politik, namun saat ini Jokowi bukan semata milik partai pengusungnya. Jokowi seolah telah menjadi milik bersama.

Jokowi jelas tidak akan memimpin Solo lagi pada periode berikutnya. Lantas, siapa yang akan meneruskan kiprahnya?  Kemenangan telak Jokowi, seperti berlaga tanpa musuh pada pemilihan walikota lalu, bisa menjadi indikasi sulitnya mencari bandingan sosok seperti Jokowi.

Jika kita sampai belum bisa membayangkan sosok yang lebih hebat dan mampu meneruskan kepemimpinan Jokowi, ini merupakan suatu sinyal yang tidak baik bagi masa depan Kota Solo.

Jangan sampai, ganti pemimpin, ganti pula kebijakan. Seperti halnya setiap ganti menteri, ganti pula aturannya. Ingat, banyak pemimpin daerah di Indonesia yang selalu mengakhiri kepemimpinannya tidak semanis saat mulai menjabat.

Ada yang berakhir di bui. Ada yang masih nggondheli jabatan dengan mengajukan kerabatnya. Ada pula yang tinggal glanggang colong playu.

Namun, saya kira sebagai pemimpin yang visioner yang mencintai dan dicintai rakyatnya, Jokowi pasti telah menyiapkan dan menyusun langkah strategis agar kebijakannya yang baik ini bisa diteruskan.

Dengan demikian, sebenarnya sosok seperti Jokowi masih dibutuhkan di Kota Solo. Bila saat ini banyak pihak yang meminangnya untuk memimpin daerah lain atau maju dalam percaturan politik nasional, semoga tulisan ini menjadi sebuah pertimbangan demi kemajuan Jokowi dan Kota Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya