SOLOPOS.COM - Demo tolak pembunuhan etnis Rohingnya (Dok/JIBI/Harian Jogja)

Muhammadiyah mengungkapkan krisis Rohingnya bukan semata konflik antarpemeluk agama, tapi masalah politik dan sentimen rasial.

Solopos.com, JAKARTA — PP Muhammadiyah menilai konflik berdarah di Rokhane, Myanmar, yang memaksa warga muslim Rohingnya melakukan eksodus bukan semata masalah sentiman antaragama. Karena itu, pendekatan yang dilakukan bukan hanya dengan menunjuk Pemerintah Myanmar bertanggung jawab.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, dalam dialog dengan Kompas TV di Jakarta, Rabu (23/11/2016). Menurutnya, ada banyak faktor dalam konflik tersebut, mulai dari persoalan politik hingga masalah sentimen rasial.

“Kami mendapatkan banyak penjelasan [dari Kemenlu] yang dalam banyak hal hampir sama dengan yang diungkap di media. Masalah ini sangat kompleks, ada persoalan rasial. Lalu keberadaan masyarakat Rohingnya, mereka ini kan stateless, mereka bukan warga Bangladesh, mereka bukan orang Myanmar,” kata Mu’ti.

Mu’ti mencontohkan ada kebencian yang mendarah daging dari kelompok tertentu di Rokhane terhadap orang Rohingnya. Bahkan, saat mendengar kata Rohingnya disebut, mereka sudah merasa tidak suka karena telanjur antipati.

Situasi itu kemudian diperparah oleh politik Myanmar yang belum stabil dalam masa transisi dari junta militer yang puluhan tahun berkuasa ke pemerintah demokratis pimpinan Aung San Suu Kyi. Masa transisi di awal pemerintah Aung tidak berjalan mulus karena ada pihak-pihak yang ingin membuat ketidakstabilan politik, termasuk dengan konflik di Rokhane.

Selain itu, di antara komunitas Rohingnya, ada kelompok bernama Rohingya Solidarity Organisation (RSO) yang dikenal sebagai organisasi militan yang dibentuk sejak awal 1980-an. RSO pula yang kini diburu oleh polisi dan tentara Myanmar.

“RSO ini yang menyerang polisi, mereka yang terus diburu. Mereka merampas senjata tentara, baru delapan yang berhasil di ambil, mereka jadi kelompok bersenjata yang menyerang militer. Tapi penanganannya menimbukan banyak kekerasan dan banyak masyarakat ketakutan,” jelas Mu’ti.

Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah ini meminta agar masyarakat tidak semata melihat konflik Rohingnya sebagai konflik antaragama. “Masalahnya bukan [semata] soal agama, antara Muslim-Buddha, Muslim-Hindu, karena mereka sekian tahun hidup dengan damai. Tapi persoalannya terkait politik, rasial, dan masalah-masalah tadi.”

Adanya berbagai kekerasan dan kasus pemerkosaan terhadap perempuan Rohingnya menunjukkan konflik ini sudah sampai pada level harus segera diselesaikan. Muhammadiyah mendukung agar keterlibatan Indonesia bukan sekadar menunjuk tangan ke pemerintah Myanmar melainkan dengan diplomasi lain.

“Langkah diplomasi yang sudah dilakukan Indonesia, misalnya bangun sejumlah sekolah dan masjid di kawasan itu. Melakukan negosisasi termasuk melakukan pembicaraan dengan PBB, Aung San Suu Kyi, dan Turki.”

Menurutnya, Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang bisa diterima oleh Myanmar dalam diplomasi konflik Rohingnya. Karena itu, Muhammadiyah mempertanyakan tuntutan masyarakat yang mendesak Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar.

“Jadi bukan megaphone diplomacy tapi tidak melakukan aksi. Terlalu jauh memutuskan diplomatik, kami pernah bersurat dengan Myanmar. Dalam konteks ini kami melakukan komunikasi melihat masalah ini dari banyak sudut pandang.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya