SOLOPOS.COM - Seorang warga melihat-lihat embung yang berada di RT 004, Dukuh Plosorejo, Desa Sepat, Masaran, Sragen, Minggu (5/5/2013). Embung yang sengaja disebari bibit ikan dan udang itu berukuran sekitar 70 meter X 100 meter dengan ketinggian air sekitar 1,5 meter. Kawasan embung yang menewaskan Afrisa Adi Darmawan, 7, ini biasa didatangi sejumlah warga termasuk anak-anak untuk mencari ikan dan udang. (JIBI/SOLOPOS/Ika Yuniati)

Solopos.com, SRAGEN — Tanah hasil pengerukan dalam normalisasi embung di Desa Sepat, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah membuat Kepala Desa Mulyono dituduh korupsi oleh Pemprov Jateng. Padahal normalisasi yang berubah jadi kriminalisasi kades Sepat itu diklaim hasil musyawarah warga dan kelompok tani.

Menanggapi kriminalisasi kades Sepat oleh aparatur pemerintah provinsi pimpinan Gubernur Ganjar Pranowo itu, Sekretaris Daerah Sragen, Tatag Prabawanto, angkat bicara. Sekda Tatag Prabawanto cawe-cawe berbicara setelah Kades Sepat, Mulyono, ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Satreskrim Polres Sragen.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ditegaskan Tatag, sebelum menormalisasi embung di Desa Sepat, Mulyono sudah meminta petunjuk atau arahan dari Pemerintah Kabupaten Sragen. Pemkab Sragen juga telah menerbitkan disposisi kepada Pemdes Sepat dengan membolehkan kegiatan normalisasi embung tersebut.

Secret Number Comeback 4 November, Apa Persiapan Vine?

“Ya [ada disposisi] karena embung itu berada di tanah kas desa. Sesuai dengan otonomi desa seperti di atur dalam UU No. 6/2014 [tentang Desa] dan Permendagri No. 1/2016 [tentang pengelolaan aset desa], kami kembalikan ke desa. Pemkab tidak punya kewenangan menerbitkan izin karena itu tanah kas desa dan digunakan desa,” ujar Tatag Prabawanto kepada Solopos.com, Jumat (30/10/2020).

Tatag menjelaskan pelaksanaan otonomi desa harus sesuai dengan prosedur. Otonomi desa bisa diawali dengan adanya musyawarah yang melibatkan tokoh masyarakat setempat.  “Otonomi desa harus sesuai prosedur, mulai dari rembuk warga hingga proses-proses yang harus dilalui,” ucapnya.

Jual Tanah Kerukan

Mulyono dilaporkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah (Jateng). Ia dijerat Pasal 158 UU No. 3/2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Setelah memeriksa sejumlah saksi dan terlapor, Mulyono akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Satreskrim Polres Sragen pada Kamis (22/10/2020).

Sebelumnya, Kasat Reskrim Polres Sragen, AKP Guruh Bagus Eddy Suryana, menuduh Mulyono berperan sebagai penanggung jawab kegiatan normalisasi embung di desa setempat yang dimulai beberapa bulan terakhir. Menurutnya, pengerukan embung yang tanahnya dijual kepada masyarakat itu tidak memiliki izin dari Dinas ESDM Jateng.

Peluang Bisnis Coffee Bun Menggiurkan, Begini Kalkulasinya...

“Yang bersangkutan tidak memiliki izin resmi sehingga pajak pertambangan tidak masuk kas negara,” papar Guruh meneguhkan kriminalisasi jajarannya kepada Mulyono di hadapan Solopos.com, Selasa (27/10/2020).

Menanggapi kriminalisasi itu, Kades Sepat Mulyono mengaku tidak habis pikir dengan penetapan dirinya sebagai tersangka. Dia menjelaskan kegiatan normalisasi embung seluas 5.000 m2 itu merupakan hasil musyawarah warga dan kelompok tani.

Menurutnya, para petani menyesalkan keberadaan embung yang tidak bisa dimanfaatkan maksimal untuk menyimpan cadangan air karena terjadi pendangkalan. “Lahan pertanian di Desa Sepat itu tadah hujan. Supaya petani bisa panen padi dua kali dalam setahun, pasokan air harus tercukupi. Mereka lalu bermusyawarah sehingga munculah keputusan untuk menormalisasi embung itu,” kata Mulyono kepada Solopos.com.

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya