SOLOPOS.COM - Harian Jogja/ Gigih M. Hanafi Ribuan warga menyaksikan abdi dalem mengarak gunungan hasil bumi saat prosesi adat Grebeg Besar di Keraton Yogyakarta, Jogja, Selasa (13/9). Kegiatan yang dihadiri ribuan warga itu guna memperingati Iduladha 1437 H serta menjadi simbol sedekah raja Keraton Yogyakarta kepada rakyatnya dan wujud rasa syukur raja kepada Tuhan.

Kraton Jogja melepas tujuh gunungan dalam grebeg besar, Selasa (13/9/2016) pagi.

Harianjogja.com, JOGJA– Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melepas tujuh gunungan dalam grebeg besar, Selasa (13/9/2016) pagi. Gunungan tersebut dibagi untuk Masjid Gede Kauman Keraton Jogja, kemudian Masjid Puro Pakualaman dan Masjid Kompleks Kepatihan kantor Gubernur DIY.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Upacara adat rutin tahunan itu dihadiri ribuan warga yang ingin memperebutkan gunungan.

Jarum jam menunjuk ke pukul 10.05 WIB, suara seruling, tambur dipadu derap langkah kaki prajurit keraton mulai terdengar dari dalam area bangsal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ekspedisi Mudik 2024

Prajurit Wirobrojo yang mengenakan khas warna merah menyapa warga lebih dahulu dengan langkah kaki ekstra pelan, keluar melewati pintu keraton sisi utara memasuki area Alun-Alun Utara Jogja.

Sepuluh kelompok prajurit Keraton Jogja berjumlah hingga ratusan orang, dengan posisi terakhir deretan Surokarso lebih dahulu keluar dari bangsal. Mereka lalu berjajar di sisi kiri dan kanan jalan untuk menyambut pimpinannya dalam memberangkatkan tujuh gunungan dalam perayaan Iduladha 2016.

Disusul kemudian sang Manggalayuda alias Panglima Perang, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat bersiap keluar dari bangsal dikawal sejumlah abdi dalem. Setelah keluar dari area keraton, Gusti Yudho mendapatkan penghormatan umum dari para prajurit keraton.

Selanjutnya, dari dalam keraton tiga gunungan dan sebuah gepak berisi buah-buahan mulai melaju pelan. Ketiga gunungan paling depan dengan diawali kirab prajurit keraton berpangkat setara Bupati yang sebagian besar didominasi mantan lurah dan camat. Kemudian disusul Bregodo Plangkir yang juga prajurit Puro Pakualaman mengawal gunungan yang diarak menuju Puro.

Pertama kali gunungan melintas tepat di depan keraton, diikuti dengan letusan senjata api laras panjang jadul buatan Pindad. Terhitung ada tiga kali letusan senjata api secara bersamaan.

Dari 10 kelompok prajurit, masing-masing kelompok, ada lima personel yang secara khusus diberi amanat untuk meletuskan senjata api berkaliber mematikan itu ke arah langit. Sedangkan ratusan prajurit lainnya memakai senjata peninggalan Belanda namun tidak dioperasikan.

Peristiwa itu membuat seluruh pengunjung harus menutup telinga. Setelah letusan berbunyi, belasan anak yang masih berpakaian sekolah dasar berlarian menuju prajurit tersebut untuk mencari selongsong peluru yang jatuh.

“Mau saya pakai mainan,” ucap Alfan, siswa SD Keputran sembari menunjukkan selongsong peluru yang ia dapatkan bekas dari prajurit keraton.

“Kalau ini [senjatanya] agak muda jadi bisa dioperasikan, buatan Pindad,” ujar salah satu abdi dalem yang enggan disebut namanya, ia salahsatu prajurit yang bertugas meletuskan senjata api di pagi itu.

Di Masjid Gede Kauman yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari keraton, sudah ada ribuan warga yang menanti gunungan. Meski belum selesai didoakan, namun tiga gunungan diantaranya menjadi rebutan warga terdiri atas gunungan lanang dan wadon. Satu gunungan berisi ubarampe palawija hasil bumi dan dua lainnya berupa berbagai jenis makanan.

“Ada tujuh gunungan, tiga jaler, empat wadon, [gunungan] darat dan gepak [tidak berwujud gunungan],” terang GBPH Yudhaningrat di sela-sela menjadi inspektur upacara adat tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya