SOLOPOS.COM - Ilustrasi kasus suap. (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan kembali Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh (GS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“KPK menetapkan tersangka kepada GS, hakim agung pada Mahkamah Agung, dengan pasal gratifikasi dan TPPU,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa (21/3/2023) seperti dilansir Antara.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ali menerangkan GS sebelumnya telah menyandang status tersangka dalam pasal suap terkait dengan kasus suap penanganan perkara di Mahkamah Agung.

Saat penyidik melakukan pengumpulan alat bukti terkait dengan dugaan suap tersebut, kata dia, ditemukan adanya dugaan penerimaan gratifikasi dalam penanganan perkara yang pernah disidangkan oleh GS sebagai salah satu hakimnya.

Tidak hanya itu, tim penyidik juga menemukan dugaan upaya pencucian uang, antara lain, melalui transfer, pembelanjaan dan penukaran mata uang asing.

Atas temuan tersebut, penyidik turut mengenakan pasal TPPU untuk memulai perampasan aset hasil korupsi untuk negara.

“Penerapan TPPU merupakan salah satu instrumen yang menjadi prioritas KPK agar aset recovery dapat dimaksimalkan sehingga mampu memberikan efek jera bagi para pelakunya,” ujarnya.

Hingga saat ini, KPK telah menetapkan 15 orang tersangka dalam kasus suap penanganan perkara di MA, antara lain, Hakim Yustisial nonaktif Edy Wibowo (EW), Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh (GS), Hakim Yustisial nonaktif Prasetio Nugroho (PN), dan Redhy Novarisza (RN) selaku staf Gazalba Saleh.

Tersangka lainnya adalah Hakim Agung nonaktif Sudrajat Dimyati (SD), Hakim Yudisial nonaktif atau Panitera Pengganti Elly Tri Pangestu (ETP), dua aparatur sipil negara (ASN) Kepaniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua ASN di MA Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).

Selain itu, pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) serta debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana Heryanto Tanaka (HT), debitur Koperasi Simpan Pinjam Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS), dan tersangka terbaru adalah Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar Wahyudi Hardi (WH).

Untuk Pengurusan Perkara

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Heryanto Tanaka menyuap dua Hakim Agung dari Mahkamah Agung (MA) dengan total 310.000 dolar Singapura atau sekitar Rp3,5 miliar untuk pengurusan perkara.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandy Septi mengatakan dua Hakim Agung yang terlibat penyuapan itu yakni Sudrajad Dimyati (SD) dan Gazalba Saleh (GS)

“Terdakwa menyuap dua Hakim Agung itu melalui sejumlah staf kepaniteraan di lingkungan MA, dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata Sandy di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (20/3/2023).

Adapun Heryanto Tanaka merupakan salah satu dari sejumlah terdakwa yang terlibat dalam pusaran kasus suap Hakim Agung.

Sandy menjelaskan Heryanto merupakan terdakwa yang berperan sebagai penyuap.

Dalam dakwaannya, Heryanto disebut memberikan 200.000 dolar Singapura atau sekitar Rp2,2 miliar kepada Hakim Agung Sudrajad Dimyati untuk mengabulkan kasasi perdata Nomor 874 K/Pdt.Sus-Pailit/2022.

Heryanto mengajukan kasasi itu berkaitan dengan permasalahan di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.

Heryanto selaku deposan mengajukan kasasi karena hak-haknya di KSP Intidana tidak terpenuhi berdasarkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Selain itu, Heryanto juga didakwa memberikan 110.000 dolar Singapura atau sekitar Rp1,2 miliar kepada Hakim Agung Gazalba Saleh untuk mempengaruhi kasasi pidana Nomor 326K/Pid/2022, yang juga berkaitan dengan KSP Intidana.

Selain Heryanto Tanaka, dalam perkara itu ada juga terdakwa Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Namun dalam dakwaannya, jaksa menyebut Ivan terlibat suap itu hanya kepada Sudrajad Dimyati.

Adapun kedua terdakwa itu didakwa dengan Pasal 6 Ayat 1, Pasal 5 Ayat 1, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya