SOLOPOS.COM - Ilustrasi perundungan. (freepik)

Solopos.com, SRAGEN — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam adanya kasus bullying atau perundungan yang dilakukan seorang guru SMAN 1 Sumberlawang, Sragen, terhadap salah siswa perempuannya. Perundungan itu terjadi karena si korban tak mengenakan jilbab.

Tercatat sudah dua kali kasus serupa di Sragen. Sebelum ini, kasus yang sama terjadi di SMAN 1 Gemolong pada 2020 lalu. Namun pelaku perundungan bukan dari kalangan guru, melainkan sesama siswa dari organisasi internal.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam rilis yang diterima Solopos.com pada Selasa (15/11/2022), Komisioner KPAI, Retno Listyarti, mencatat terjadi sejumlah kasus pemaksaan maupun pelarangan jilbab di satuan pendidikan sejak 2014. Dua diantaranya terjadi di Sragen. Yang paling baru adalah kasus seorang siswi di SMAN 1 Sumberlawang, Sragen, S, mendapatkan perundungan dari guru matematika karena tak memakai jilbab.

Guru tersebut bernama Suwarno. Akibat hal tersebut, S mengalami tekanan psikis. S dimarahi di depan kelas hingga akhirnya enggan berangkat ke sekolah. Seusai kejadian tersebut S sempat malu untuk berangkat ke sekolah.

Baca Juga: Lagi, Guru Bully Siswa Gara-Gara Tak Pakai Jilbab di Sragen, Nihil Solusi

“Ia sempat masuk sekolah. Namun karena diduga dirundung oleh kakak kelas, S kembali minta dijemput pulang dan enggan masuk sekolah lagi. S juga memiliki adik yang bersekolah di tempat yang sama, adiknya juga enggan bersekolah lagi” terang Retno dalam rilis tersebut.

Moderasi Beragama Minim

Dalam menyikapi kasus tersebut, KPAI mengecam perundungan yang dilakukan oleh oknum guru dan sesama peserta didik terhadap korban karena tidak mengenakan jilbab. Kasus serupa yang terjadi di SMAN 1 Gemolong, korban akhirnya pindah ke sekolah lain setelah mendapatkan perundungan terus menerus terutama dari kakak kelas.

“Kasus ini secara umum menunjukkan bahwa literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik. Kondisi ini memberi kontrubusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan maupun pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain. Sehingga diperlukan pelatihan dan internalisasi dan penguatan skill bagaimana mengembangkan literasi dan moderasi beragama pada saat yang akan datang, baik di lingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas,” tambah Retno.

Baca Juga: Siswi SMA Negeri di Sragen Dipaksa Pakai Jilbab, Ganjar Ancam Pecat Guru

Ia menilai masih sedikit kehadiran pemimpin-pemimpin nasional dan lokal yang bijaksana, yang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Pemimpin yang tidak mewajibkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak melarang hal yang tidak seharunya dilarang hukum positif di negeri yang majemuk ini. Kerap kali aturan seragam di sekolah merupakan pelaksanaan dari peraturan deerah di wilayah tersebut.

Retno mengatakan meski aturan tentang seragam sudah jelas, tidak ada kewajiban atau larangan menggunakan jilbab. Jika di Sragen muncul kasus pemaksaan menggunakan jilbab, di Gunungsitoli, Sumatra Utara yang terjadi sebaliknya. Di sana, ada sekolah yang melarang siswanya mengenakan jilbab karena alasan keseragaman. Pasalnya di sekolah tersebut sebagian besar siswanya beragaman Kristen dan Katolik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya