SOLOPOS.COM - Potensi yang Mendukung Solo Kota Kreatif

Kota Kreatif Indonesia, tingkat inovasi Indonesia setara Zimbabwe.

Solopos.com, SOLO--Masyarakat Indonesia dinilai masih terbelakang dalam hal inovasi dan kreativitas. Data Global Innovation Index, Indonesia berada di peringkat 85 dari 100 negara yang disurvei dalam hal inovasi. Peringkat tersebut setara dengan negara-negara di Afrika seperti Kenya dan Zimbabwe.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal itu disampaikan akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo yang juga peneliti ekonomi kreatif, Sutanto, dalam forum diskusi Indonesia Creative Cities Conference (ICCC) di Gedung Bank Indonesia, Sabtu (24/10/2015).

Menurut Sutanto, terpuruknya Indonesia dalam Global Innovation Index patut disayangkan karena Indonesia memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berlimpah.  “Indonesia pernah di zona hijau, ranking 48 saat SDA (sumber daya alam)-nya masih banyak. Saat ini posisi Indonesia terus turun, bahkan setara dengan Zimbabwe dan Kenya. Hanya setingkat di atas Brunei Darussalam,” beber Sutanto.

Sutanto mengatakan ilmu dan SDM menjadi penting ketika SDA di suatu daerah berangsur habis. Dia menyebut kreativitas yang disandingkan dengan penguasaan teknologi informasi [TI] yang baik akan membawa Indonesia ke trek yang benar. Penemuan aplikasi pemesanan ojek berjejaring menjadi salah satu contoh inovasi berbasis TI yang sukses meningkatkan perekonomian warga.

“Dengan kreativitas dan TI yang digenjot berkelanjutan, saya yakin Indonesia bisa kembali ke zona hijau pada 2020,” ucapnya.

Di ranah kota, dia menilai keberadaan UNS dan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo menguntungkan Solo dalam segi pengembangan kreativitas dan inovasi.

Sutanto mengatakan Rektor UNS, Ravik Karsidi, telah menyiapkan sebuah bangunan di sekitar Purwosari sebagai inkubator ekonomi kreatif. “UNS siap jadi episentrum kreatif.”

Gustaff Hariman Iskandar, pengelola Common Room, komunitas kreatif dari Bandung, mengatakan 10 prinsip kota kreatif yang dirumuskan dalam Konferensi Kota Kreatif di Bandung, April lalu, menjadi benchmark (pijakan) dalam pengembangan ekonomi kreatif di tingkat kabupaten/kota.

Gustaff menyebut 10 prinsip kota kreatif seperti kota yang welas asih, kota yang inklusif serta kota yang melindungi hak asasi manusia sebenarnya telah mengakar di masyarakat.

“Jadi bukan sesuatu di awang-awang. Konsep ini mesti diberdayakan untuk mengetahui potensi kreatif di suatu wilayah,” kata dia saat ditemui Solopos.com seusai acara.

Gustaff mengibaratkan prinsip-prinsip kota kreatif sebagai pupuk bagi sebuah lahan tanaman. Menurut dia, semua warga pada dasarnya memiliki kreativitas tersendiri.

“Hanya terkadang kreativitas itu terbelenggu pada kondisi kota yang tidak mendukung. Entah itu regulasinya atau dominasi kelompok-kelompok tertentu.”

Gustaff menambahkan kesepuluh indikator kota kreatif nantinya akan dijabarkan lebih teknis sebagai pegangan kabupaten/kota dalam mengukur kebutuhan pengembangan wilayah.

Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Ekonomi Kawasan Kementerian Koordinator Perekonomian, Mira Tayyiba, mengatakan pemerintah sebenarnya memberi ruang bagi para pelaku ekonomi kreatif untuk berkiprah. Ruang tersebut berupa pendampingan pendanaan serta pemihakan regulasi. Mira mengakui sebelumnya ada program pemerintah yang kurang berkelanjutan dalam merespons isu ekonomi kreatif.
“Pergantian pejabat di pemerintahan tak jarang membawa tren kebijakan baru. Program yang sudah disusun lima atau sepuluh tahun harus disusun ulang lagi. Ini yang mulai kami hindari agar Indonesia tak terus tertinggal dari negara lain.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya