SOLOPOS.COM - Ilustrasi antikorupsi (JIBI/Solopos/Antara/Dok.)

Korupsi dana purnabakti DPRD Sragen menjerat 17 eks legislator.

Solopos.com, SRAGEN—Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan 17 eks anggota DPRD Sragen periode 1999/2004 yang divonis 1 tahun 2 bulan penjara dalam kasus korupsi purnabakti.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Penolakan terhadap PK yang diajukan 17 eks legislator yang masuk dalam Panitia Anggaran (Panggar) DPRD Sragen itu diunggah dalam laman resmi MA pada Jumat (8/4/2016). Selain menjatuhkan pidana 1 tahun 2 bulan, dalam sidang putusan pada 22 September 2008, Pengadilan Negeri (PN) Sragen juga meminta 17 eks legislator itu mengembalikan uang yang dikorupsi mereka dengan jumlah bervariasi.

Vonis ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Semarang pada 22 September 2008 dan Mahkamah Agung (MA) pada 6 Januari 2010. Para legislator itu lalu ramai-ramai mengajukan permohonan PK kepada MA. Mereka mengajukan bukti baru atau novum yang diyakini bisa membebaskan mereka.

Novum itu berupa putusan bebas bagi kalangan legislator di lima kabupaten yang dijerat dengan jenis kasus korupsi yang sama. Mereka juga menyertakan hasil putusan Mahkamah Militer II yang membebaskan dua eks DPRD Sragen dari fraksi TNI yakni Letkol (Purn) Drs Purnomo dan Letkol (Pur) Udin Dalino.

Mahmudi Tohpati, salah seorang eks legislator itu mengaku belum mengetahui informasi penolakan permohonan PK tersebut. Dia menilai, penolakan permohonan PK itu sudah tidak memiliki implikasi hukum bagi dirinya. Pasalnya, dia sendiri sudah menjalani hukuman penjara 1 tahun 2 bulan serta mengembalikan denda sebesar Rp48 juta dan ganti rugi sebesar Rp50 juta kepada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Sragen.

“Sebelum kami dieksekusi, saya sudah membayar denda dan ganti rugi itu. Bahkan, saya juga sudah menitipkan pengembalian uang purnabakti sebesar Rp50 juta kepada Kejaksaan Negeri Sragen,” kata Mahmudi saat dihubungi solopos.com, Minggu (10/4/2016) petang.

Mahmudi mengangap dirinya bersama 16 rekan sesama eks legislator tidak layak diganjar pidana dan membayar denda sekaligus ganti rugi itu. Menurutnya, 17 eks legislator itu hanya menjalankan fungsi budgeting dari DPRD.

”APBD itu sudah disahkan dan tidak dianulir oleh gubernur. Hasil audit BPK [Badan Pemeriksa Keuangan] juga menyebut tidak ada kata indikasi korupsi,” jelas Mahmudi.

Sementara itu, salah satu eks legislator yang keberatan disebutkan namanya menganggap aneh keputusan MA yang menolak permohonan PK yang diajukan 17 eks legislator.

“Penolakan PK itu tentu mengundang kontroversi. PK yang diajukan panggar ditolak, tapi PK yang diajukan oleh PRT [panitia rumah tangga] itu dikabulkan. Ini aneh tapi nyata. Satu perkara yang sama tetapi memiliki dua keputusan yang berbeda,” ujar dia.

Kasus korupsi berjamaah itu bermula ketika 17 legislator yang tergabung dalam Panggar mengalokasikan dana asuransi bagi mereka sebesar Rp2,2 miliar pada 2003. Masing-masing legislator mendapat Rp50 juta.

Mereka juga sepakat memberikan alokasi APBD untuk dirinya sendiri sebesar Rp27 miliar dengan dalih uang penghargaan menjabat anggota dewan periode 1999-2004. Meski demikian, dana asuransi tersebut dinilai melanggar hukum. Jaksa kemudian menetapkan 17 legislator itu menjadi terdakwa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya