SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ketika Pak Dahlan Iskan, Direktur Utama PLN, bersepakat dan mengamini keputusan pemerintah untuk memberlakukan kenaikan tarif listrik mulai 1 Juli lalu, semua ekonom bilang risiko inflasi akan meningkat. Keputusan Pak Dirut -dia sebenarnya adalah bos koran, pemilik Grup Jawa Pos- dijadikan kambing hitam.

Lalu orang pun bertanya: Apa artinya risiko inflasi meningkat? Buat teman-teman saya dari kalangan ekonom, mudah menjawab pertanyaan itu, meski bisa jadi pendekatannya beraneka ragam. Bagi ekonom yang concern terhadap pendekatan moneter, dengan cepat akan bilang: Suku bunga harus segera naik!

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bagi ekonom yang melihat dari sudut pandang pasar modal, akan mengatakan: Gairah investasi bisa menurun, karena sebagian investor akan memindahkan dana mereka ke Sertifikat Bank Indonesia atau obligasi. Bagi ekonom yang melihat kepentingan konsumen, akan bilang: Daya beli menurun!

Semua pendekatan itu sama-sama rumit dan njelimet untuk segera dipahami orang awam. Padahal, secara sederhana, para pedagang di pasar Giwangan punya jawaban: Harga cabai, beras, telur, daging ayam, daging sapi, dan, tak lengkap jika ditinggalkan, daging kambing, terus naik.

Artinya, bagi penggemar kuliner sate kambing, menu penganan yang disantap mesti dibayar dengan merogoh kocek lebih dalam. Atau, keuntungan Pak Min, bakul sate klathak, yang warungnya jadi langganan saya, bakal berkurang.

Bisa jadi solusi win-win yang di pakai; harga seporsi sate kambing tidak naik, tetapi potongan daging sate kambing dikurangi setengah sentimeter, sehingga Pak Min tak perlu mendongkrak harga jual satenya, atau ongkos makan tengklengnya.

Cerita itu sekadar ilustrasi. Intinya saya, sebagai penggemar sate kambing, begitu pula Pak Min, bakal jadi korban inflasi. Apalagi, karena suka latah, kenaikan tarif listrik, harga BBM, atau tarif konsumen lainnya, kerap dijadikan alasan untuk menaikkan harga barang-barang lain.

Jadinya psikologi inflasi menimbulkan efek tumpuk undung. Itu bahasa kampung saya. Walah, mohon maaf, kok jadi rumit lagi. Sebetulnya, saya hanya ingin bilang, banyak orang sesungguhnya tambah miskin, paling tidak berkurang kesejahteraannya, meski dividen, tantiem, omzet, gaji, atau pendapatan dari bisnis apa pun, boleh jadi naik.

Inflasi menjadi hantu pemakan pendapatan kita. Dan, itu nyata tanpa harus menjadikan PLN sebagai kambing hitam.

***

Tanpa kecemasan akan kenaikan inflasi pun, tingkat kemiskinan di negeri ini memang masih sulit untuk dipangkas. Jargon pemerintah yang kerap disebut dalam banyak pidato–dan tentu saja kampanye pemilu lalu–untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan demokrasi, memang masih jauh dari kenyataan.

Maaf, bukan bermaksud menggeritik, tetapi sekadar biar masyarakat tahu, Badan Pusat Statistik pun sudah mengumumkan bahwa laju pengurangan kemiskinan tahun ini justru melambat. Perbandingannya, pada periode Maret 2008 hingga Maret 2009, penurunan penduduk miskin mencapai 1,27%.

Angka itu pun diumumkan menjelang pemilu lalu. Namun tahun ini, pada periode Maret 2009 hingga Maret 2010, penurunan laju kemiskinan hanya 0,82%. Apa artinya? Jumlah penduduk miskin makin sulit diturunkan, jika tren itu tak dihentikan.

Bisa jadi, target pemerintah yang menetapkan porsi penduduk miskin sebesar 8% pada 2014, bakal meleset. Itu jika kita “begini-begini saja”, pinjam dialektika kebanyakan orang. Kecuali jika ada perubahan signifikan dalam pendekatan kebijakan pembangunan.

***

Jika data resmi BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin hingga Maret tahun ini mencapai 32,5 juta orangsemoga Anda percaya, meski maaf saya nggak begitu yakin data itu valid, lha wong sensus penduduk yang baru lalu saja bolongnya bukan main (bisa jadi angkanya malah lebih besar)-bisa dipakai sebagai patokan, angka itu sungguh sangat besar.

Apalagi, naik turunnya angka kemiskinan itu begitu mudah dipengaruhi ada tidaknya kucuran uang pemerintah dalam bentuk bantuan langsung tunai alias BLT. Semoga saya keliru, tetapi sebetulnya angka ini ironis. Apalagi jika melihat betapa banyak kasus korupsi berseliweran di sekitar kita.

Belum tuntas benar kasus GT, yang diduga bersekongkol dengan mafia hukum menilap uang suap ratusan miliar rupiah sebagai imbalan dari perusahaan pengemplang pajak. Lalu ada parpol yang bahkan ingin memakai APBN–yang harusnya menjadi peranti kesejahteraan rakyat–malah mau dibagi-bagi sebagai dana aspirasi para politisi.

Berapa banyak mantan pejabat, termasuk mantan menteri, yang kini menjadi tersangka korupsi, bahkan mendekam di penjara-karena apes saja ketahuan. Tak terhitung yang tak ketahuan, atau bersekongkol supaya kasusnya dipetieskan.

Koruptor bukan hanya pejabat atau pegawai negara, mereka juga termasuk para karyawan swasta yang melakukan praktik kotor patgulipat, atau juga pengusaha yang menyuap pejabat atau pegawai pemerintah untuk menghindari kewajiban pada negara, termasuk pajak.

Sederhana saja saya memahaminya. Jika negara tidak sanggup lagi memberikan subsidi kepada rakyatnya karena para pembayar pajak tidak menyetorkan apa yang seharusnya dibayarkan kepada negara, maka hak si miskin telah pula diambilnya.

Lihat saja betapa sekarang sekolah berkualitas makin jauh dari jangkauan orang-orang tak berpunya, yang butuh pendidikan lebih baik untuk keluar dari kemiskinan, karena terbatasnya subsidi dari negara.

Saya, tentu, tidak menganjurkan agar negara memberikan subsidi karena bukanlah cara yang baik dan mendidik. Namun betapa pun, negara harus berpihak pada rakyat miskin. Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, faktanya begitu banyak kesempatan negara untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya hilang karena korupsi.

Setuju atau tidak, terserah Anda. Tapi saya senang dengan kata pepatah yang populer di telinga anak-anak TK dan SD: Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Mungkin pepatah itu perlu ditambah satu lagi: Korupsi pangkal miskin.



Oleh Arief Budisusilo
ANGGOTA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya