SOLOPOS.COM - Mantan anggota DPR Mirwan Amir (kanan) memberikan kesaksiannya dalam sidang kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/1/218). (JIBI/Solopos/Antara/Rivan Awal Lingga)

KPK didesak memeriksa SBY setelah namanya disebut dalam sidang korupsi e-KTP.

Solopos.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memeriksa mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait korupsi e-KTP.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, mengatakan bahwa kesaksian mantan politikus Partai Demokrat yang menyebut SBY sebagai Presiden saat itu mengetahui proyek tersebut bermasalah harus ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

“Keterangan saksi di bawah sumpah mempunyai nilai pembuktian yang sangat kuat karena apa yang disampaikan merupakan apa yang didengar dilihat dan dialami oleh saksi tersebut,” tuturnya, Minggu (28/1/2018).

Menurutnya, keterangan Mirwan Amir harus dipandang secara positif sebagai sikap yang berani dan jujur. Terlebih ada fakta lain yang sudah diungkap terlebih dahulu oleh penuntut umum dalam rangkaian kasus ini dengan terdakwa Irman dan Sugiharto maupun Andi Agustinus alias Andi Narogong. Dalam sidang-sidang sebelumnya, disebutkan bahwa Partai Demokrat turut mendapatkan aliran uang korupsi sebesar Rp150 miliar.

KPK, lanjutnya, harus didukung untuk mengungkap secara tuntas dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan menyasar bagian hulu, yakni para pembuat kebijakan termasuk legislatif yang melakukan pembahasan anggaran.

Dalam persidangan dengan terdakwa Setya Novanto pekan lalu, Mirwan Amir mengatakan bahwa dia pernah menyampaikan kepada SBY bahwa proyek pengadaan e-KTP bermasalah sehingga sebaiknya dihentikan.

“Tanggapan dari Bapak SBY, bahwa ini kita untuk menuju Pilkada jadi poyek ini harus diteruskan. Saya hanya sebatas itu aja. Posisi saya kan hanya orang biasa saja, tidak punya kekuatan,” ucapnya.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Agus Hermanto, mengatakan bahwa program e-KTP dilatarbelakangi kelemahan sistem pembuatan KTP konvesional yang memungkinkan seorang warga memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini dikarenakan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk.

Fakta ini, lanjutnya, menyebabkan terjadinya kecurangan misalkan menggunakan identitas ganda untuk menghindari pajak, memperlancar korupsi atau kejahatan lainnya bahkan menyembunyikan indentitas terkait aktivitas terorisme.

“Karena itu didoronglah pelaksanaan program KTP elektronik. Dalam UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan jelas mengatakan penduduk hanya diperkenankan memiliki satu kartu identitas melalui nomor kependudukan yang menjadi dasar pembuatan dokumen lain seperti paspor, NPWP dan lain sebagainya,” lanjutnya.

Selain itu, menurutnya, kebijakan e-KTP ini juga menjadi pedoman dalam proses kompetisi demokrasi yang mewajubkan identitas tersebut sebagai basis formal data bagi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya.

“Kemudian pada faktanya ada penyimpangan dan pelanggaran atau korupsi di dalam pengadaaan, tentu spenuhnya menjadi ranah hukum yang harus diusut tuntas tanpa pandang bulu dan hindarkan politisasi kepentingan,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya