SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Setelah perhelatan Pilkada Kota Jogja Noyo, Suto, Parno, bersepakat berkumpul bareng. Maklum dalam dua pekan terakhir, tiga kanca lawas ini hampir tidak pernah pertemu muka. Apalagi lagi kalau karena aktivitas yang super sibuk memantau persiapan kampanye peserta pilkada di Kota Jogja.

Kebetulan Noyo pada pekan lalu kebagian menjadi pemantau tim kampanye pemenangan calon Walikota dan Wakil Kalikota Jogja yang mengusung tema mbangun kampung alias bernomor urut satu. Noyo meneguhkan pilihannya untuk mengamati aktivitas pasangan calon nomor urut dua dengan tema meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengusung penetapan.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Sementara itu, Parno, memutuskan untuk melihat persiapan tim kampanye pasangan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Jogja nomor urut tiga yang berpakaian khas blangkon dalam berbagai kesempatan.

Praktis selama dua pekan pula, ketiga sahabat ini komitmen dengan janji mereka untuk tidak saling menegur sapa antara satu dengan lainnya. Pun berkirim sms sekalipun. “Lama juga ya kita ndak ketemu. Sampai ndak sempat SMS, apalagi nelpon yo,” kata Noyo.

“Ya kita sudah menunjukkan komitmen kita. Sekarang tinggal menunggu komitmen dari calon walikota terpilih…Bagaimana dengan janji-janji mereka nanti,” ujar Suto.

“Semoga jalannya baik ketiga program yang diusung para pasangan calon, kalau bisa terimplementasikan semua. Istilahnya dengan Hati yang Fitri semua program kerja termasuk mbangun kampung berjalan lebih baik,” tambah Parno yang dari tadi diam di Angkringan Pakdhe Harjo.

Dia kembali diam tiga bungkus keripik tahu telah berpindah tempat ke perut Parno yang memang sedikit menonjol. Parno mengambil bungkus keripik yang keempat. Gayanya tetap sama…Mengamati lalu lalang kendaraan di daerah Plengkung Gading itu.

Irama kunyahan keripik tahu kembali terdengar.

“Kawan…”

“Setelah kita turut mengamati proses pilkada ini, walau tanpa dibayar lho, apa mereka bisa menepati janjinya ya takutnya, mereka meniru para pejabat yang ada di Jakarta ya korupsi kok berjamaah dan jumlahnya tidak sedikit pula,” kata Parno.

“Maksudmu piye dab,” tanya Noyo.

“Itu lho kasus yang melibatkan Nazarudin dan ada info lagi ada kasus lainnya yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR, kemudian mengarah ke pejabat di kementrian. Lha ini gimana kalau ndak berjamaah, nama apa,” ujar Parno.

“Betul juga ya, liat saja kasus yang baru-baru ini dibongkar media. Saya juga baca di Harjo ini. Ada di Kantor Kementerian Tenaga Kerja, Kementrian Kesehatan, dan Kementerian Agama bahkan di Departemen Pendidikan. Memangnya uang korupsi di sana untuk pendidikan korupsi ya?” urai Suto.

“Lalu kita hubungkan dengan para anggota dewan yang duduk Badan Anggaran DPR, bukankah sebagian besar mereka adalah mesin uang atau bendahara di partainya masing-masing?”

“Mumet juga ya memikirkannya,” tambah Suto.

Suto belum menyentuh teh kerampulnya yang kini sudah mulai dingin. “Kalau mikirin itu, jadi ndak semangat,” lanjutnya.

“Tapi, kok yo aneh juga ya. Kalau baca di koran, pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen. Tapi indikasi dana korupsi bisa triliunan, bahkan puluhan trililunan. Mestinya pertumbuhan ekonomi kita lebih baik lagi toh ya,” timpal Parno.

“Tapi, kita jangan suudzon dulu biarkan KPK mengusut tuntas kasus ini,” kata Noyo.
“Lha tapi ada pula anggota KPK juga yang disebut-sebut, lha iki piye?” Suto kembali mengemukakan uneg-unegnya.

“Menurut saya, kalau kita bisa hindari dan kita mulai dari diri kita sendiri. Janganlah meniru yang mereka yang di atas sana. Jadi tidak akan ada lagi korupsi berjamaah nantinya. Kalau bisa merekalah yang meniru kita,” kata Noyo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya