SOLOPOS.COM - Didik G Suharto, dosen FISIP UNS Solo (JIBI/SOLOPOS/dok)

Didik G Suharto, dosen FISIP UNS Solo (JIBI/SOLOPOS/dok)

Ada pendapat, di antara agenda reformasi bangsa yang digelorakan sejak 1998, reformasi birokrasi menjadi agenda yang paling lambat perkembangannya. Namun, pesimisme itu mungkin sedikit terobati oleh upaya konkret yang dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Langkah-langkah itu sekarang menjadi isu besar yang sangat menentukan atau paling tidak mempengaruhi kondisi dan karakteristik birokrasi pemerintahan di masa mendatang. Isu-isu itu pula yang kini dihadapi (anggota) Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), khususnya di tengah peringatan hari jadinya yang ke-40, Selasa (29/11/2011).

Tidak hanya bagi anggota Korpri yang memang berkecimpung dalam birokrasi, masyarakat pun telah menjadikan beberapa isu itu sebagai sorotan publik. Apabila diidentifikasi, saat ini minimal terdapat empat isu seputar reformasi birokrasi.

Pertama, efisiensi birokrasi. Tertatih-tatihnya anggaran pemerintah (terutama pemerintah daerah) seolah memperlihatkan gejala yang semakin lama semakin memprihatinkan. APBD di sebagian besar Pemkab/Pemkot mayoritas tersedot untuk membiayai gaji pegawai. Bahkan, tidak sedikit daerah yang hanya menyisakan anggaran kurang dari 20% untuk membiayai pembangunan. Sehingga tidak aneh, kalau upaya perbaikan jalan, jembatan, atau fasilitas umum lainnya menjadi tersendat-sendat.

Realitas semacam itu bukan tidak disadari oleh pemerintah. Sejumlah tempat yang menjadi sumber kebocoran atau pemborosan anggaran dicoba untuk diatasi. Langkah nyata sebagian di antaranya telah diwujudkan misalnya pembenahan terhadap mekanisme pengadaan barang/jasa (contoh penerapan e-procurement).

Tetapi, sebagian yang lain masih berupa rencana (baca: wacana) yang realisasinya belum nyata benar. Misalnya penghematan perjalanan dinas dan kendaraan dinas. Wacana yang berkembang akhir-akhir ini untuk menerapkan pola sewa bagi kendaraan-kendaraan dinas pemerintahan layak didukung, terutama bila terbukti memberikan penghematan bagi anggaran pemerintah. Bagaimanapun, harus disadari bahwa sejak dulu pengadaan dan pemeliharaan kendaraan dinas memberikan kontribusi tidak kecil terhadap penyedotan anggaran pemerintah.

Lebih jauh dari itu, sebenarnya ada kebijakan terkait kendaraan dinas yang bisa secara signifikan mengurangi beban APBN/APBD. Yaitu dengan cara menurunkan standar kendaraan dinas yang berlaku selama ini. Standar kendaraan dinas untuk saat sekarang, di tengah anggaran untuk publik yang kembang kempis, tampaknya terlalu tinggi. Perlu ada penurunan standar kendaraan dinas untuk bisa menghemat anggaran.

Dalam hal ini penting untuk mengubah mind set yang berkembang selama ini. Birokrasi pemerintah hendaknya tidak menjadikan kendaraan dinas sebagai upaya untuk meningkatkan status (kewibawaan). Karena berdasar pola pikir itu, kendaraan dinas lebih dilihat sebagai aspek kemewahan dan bukan fungsi.

Mind set yang perlu diubah lainnya adalah dengan melihat kendaraan dinas sebagai kendaraan operasional instansi (SKPD) dan bukan kendaraan operasional pejabat. Kendaraan dinas yang melekat pada pejabat cenderung tidak banyak membawa manfaat bagi institusi, yang berarti tidak banyak pula pengaruhnya bagi peningkatan pelayanan publik. Diyakini, melalui dua perubahan pola pikir di atas efisiensi dan efektivitas kendaraan dinas akan tercapai.

Profesionalisme
Kedua penataan kepegawaian. Misalnya pemberlakuan kebijakan moratorium penerimaan CPNS. Tujuan positif yang dapat diraih dari kebijakan moratorium antara lain adanya kesempatan bagi pemerintah untuk memetakan kondisi sekarang dan sekaligus kebutuhan pegawai mendatang.

Hal ini strategis sebab birokrasi pemerintah sudah cenderung mengalami obesitas dengan kompetensi pegawai yang sebagian dipertanyakan. Di samping itu, dalam jangka pendek moratorium penerimaan PNS bisa pula menghemat anggaran pemerintah.

Meskipun demikian, kebijakan moratorium juga memiliki potensi negatif, seperti terganggunya kaderisasi dan terjadi kekosongan pegawai di bagian tertentu yang dibutuhkan birokrasi. Kebijakan moratorium penerimaan PNS seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk menata kepegawaian. Sejak dari proses rekrutmen, penempatan, pengembangan karier, hingga pemberian reward dan punishment hendaknya dilandasi semangat mewujudkan profesionalisme pegawai.

Sayangnya, unsur-unsur politis sebagai imbas dari Pilkada masih sering mewarnai penempatan pegawai di birokrasi pemerintahan. Aspek like and dislike, serta kawan atau lawan dalam Pilkada acap kali mendorong terjadi subjektivitas rekrutmen pejabat daerah.

Ketiga profesionalisme. Profesionalisme sering dijadikan prasyarat terwujudnya birokrasi berkinerja unggul. Masyarakat juga menuntut postur birokrasi profesional. Belum banyak institusi birokrasi yang telah melakukan pembenahan profesionalitasnya. Upaya peningkatan profesionalisme salah satu contohnya telah dilakukan di bidang pendidikan melalui sertifikasi tenaga pendidik (guru/dosen). Dari sertifikasi itu diharapkan akan muncul pegawai profesional.

Bidang lain, khususnya yang langsung bersinggungan dengan pelayanan publik, idealnya juga dilakukan hal yang sama. Bidang kesehatan misalnya, tenaga kesehatan semestinya disertifikasi sebagaimana tenaga pendidik. Sehingga, bagi mereka yang tidak memenuhi standar atau tidak siap meningkatkan kapasitas masing-masing dianggap tidak layak menyandang profesi tersebut. Konsekuensinya, pemerintah harus menyediakan anggaran khusus untuk memacu profesionalisme aparatur negara itu.

Keempat, persoalan kinerja. Langkah pemerintah untuk mendisiplinkan pegawai patut diapresiasi. Dengan seperangkat peraturan perundang-undangan (PP Nomor 53/2010), pemerintah berupaya menegakkan disiplin PNS. Kebijakan itu memang tidak serta-merta mampu mendongkrak kinerja pegawai, tapi tetap diperlukan bagi penertiban pegawai yang indisipliner.

Dalam kaitan ini, birokrasi hendaknya tidak terbelenggu pada aspek administratif kedisiplinan pegawai semata. Artinya, penilaian prestasi kerja pegawai seharusnya tidak terjebak pada apakah mereka rajin presensi sesuai jam kantor, tapi lebih urgen dari itu adalah apa yang telah dihasilkan pegawai selama seharian di kantor. Tidak banyak berarti, pegawai tertib waktu secara administratif tapi secara substantif tidak jelas output/outcome-nya.

Di sisi berbeda, perlu dilakukan pembenahan sejumlah persoalan birokrasi untuk meraih kinerja unggul. Masalah struktur, kompetensi, kultur dan motivasi biasanya menjadi persoalan kinerja birokrasi kita. Sehingga perlu perhatian terhadap masalah-masalah itu secara simultan.

Bagaimana anggota Korpri dalam menyikapi isu atau kebijakan dalam rangka reformasi tersebut?

Jelas bahwa keberhasilan reformasi birokrasi amat ditentukan oleh para PNS (anggota Korpri). Sebagai wadah perhimpunan pegawai Republik Indonesia dengan jumlah tak kurang 4,7 juta orang, Korpri merupakan elemen utama dalam memperbaiki dan mewujudkan birokrasi yang sesuai harapan masyarakat.

Korpri harus didorong lebih pro aktif sebagai aktor reformasi birokrasi dan tidak justru tertelan oleh pusaran ingar-bingar reformasi. Dirgahayu ke-40 Korpri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya