SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

JAKARTA – Penggunaan aparat keamanan dalam melindungi investasi perusahaan di sektor kehutanan dinilai sebagai kesalahan besar oleh korporasi karena dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat lebih besar dan berkepanjangan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga mengatakan penggunaan aparat keamanan hanya menimbulkan kebencian dan kekerasan saja kepada masyarakat namun tak menyelesaikan konflik agraria. Dia mengatakan aparat seharusnya melindungi semua warga negara, bukan pada kelompok investasi tertentu saja.

Ekspedisi Mudik 2024

“Penggunaan aparat keamanan adalah kesalahan besar dan perusahaan harus bertanggung jawab soal ini [terkait dengan adanya kekerasan]. Tak bisa hanya menyalahkan aparat, namun juga perusahaan yang mengundang mereka ke sana,” kata Sandra dalam wawancara ekslusif kepada Bisnis.com di Jakarta.

Dia mengungkapkan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat tak akan menyelesaikan persoalan sebenarnya karena meredam konflik sesaat belaka. Menurut Sandra, kekerasan oleh aparat justru akan memicu bara dalam jerami yang suatu saat akan meledak lebih besar. Komnas HAM sebelumnya menerima sedikitnya 1.009 pengaduan tentang perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran HAM sepanjang Januari-November 2012, terutama di sektor perkebunan dan pertambangan. Dari pengaduan sebanyak ini, katanya, tiga isu terbanyak yang diadukan adalah sengketa lahan (399 berkas), ketenagakerjaan (276 berkas), dan lingkungan (72 berkas).

Sandra menuturkan salah satu penyebab terus terjadinya konflik agraria di sektor kehutanan adalah pengabaian hak masyarakat, di antaranya adalah masyarakat adat, oleh pemerintah dan perusahaan. Dia mengungkapkan pemerintah mengklaim semua kawasan hutan adalah hutan negara, dan mengabaikan hak masyarakat yang sudah lama tinggal di sana.

“Harus ada penataan kembali mana hutan negara dan mana hutan hak, tak bisa seperti sekarang, semuanya kawasan hutan adalah hutan negara,” kata Sandra lagi. “Pemerintah harus melakukan kembali identifikasi dan verifikasi klaim masyarakat kemudian diakui. Warga [di sana] ditanya, literatur dan penelitian juga sudah banyak.”

Sedangkan di sisi perusahaan, lanjutnya, seringkali hanya memiliki legitimasi legal milik negara namun tak memiliki legitimasi sosial dalam menjalankan bisnisnya. Padahal, urai Sandra, perusahaan seharusnya berkomunikasi terlebih dahulu dengan masyarakat ketika akan beroperasi di wilayah tersebut. Mekanisme yang dimaksud adalah tentang Free, Prior and Informed Consent (FPIC).

The Asian Human Rights Commission (AHRC) menyatakan konflik sumber daya alam menjadi salah satu masalah penting di Indonesia. Hal tersebut, demikian organisasi tersebut, berakar karena kegagalan pemerintah dan perusahaan untuk berkonsultasi kepada masyarakat dalam rangka meminta persetujuan. AHRC menilai alih-alih menyiapkan mekanisme untuk menjamin hak masyarakat yang terkena dampak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, pemerintah Indonesia justru menggunakan aparatur negara untuk perlindungan kepentingan perusahaan dan bisnis.

“Di satu sisi pemerintah menghormati HAM, tapi terbuka terhadap investor, dan membuat kebijakan yang mendorong investasi besar-besaran. Namun, masalah mendasar belum diselesaikan,” tegas Sandra. “Masalah HAM di Indonesia hanyalah cosmetics policy. Di satu sisi pemerintah menghormati HAM, tapi terbuka terhadap investor, dan membuat kebijakan yang mendorong investasi besar-besaran. Namun, masalah mendasar sebenarnya belum diselesaikan,” kata Sandra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya