SOLOPOS.COM - Direskrimum Polda Bengkulu Kombes Pol. Dedy Rianto (kedua kiri) berbincang dengan sejumlah polisi lainnya di ruang tunggu gedung KPK, Jakarta, Jumat (5/10/2012) malam. Mereka saat itu hendak menjemput paksa salah satu penyidik KPK kebetulan tengah menjadi penyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kendaraan roda dua dan empat di Korlantas Polri dan juga mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polda Bengkulu tahun 2004 yakni Novel Baswedan karena disangka melakukan tindakan pidana umum. (JIBI/SOLOPOS/Antara)

Direskrimum Polda Bengkulu Kombes Pol. Dedy Rianto (kedua kiri) berbincang dengan sejumlah polisi lainnya di ruang tunggu gedung KPK, Jakarta, Jumat (5/10/2012) malam. Mereka saat itu hendak menjemput paksa salah satu penyidik KPK kebetulan tengah menjadi penyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kendaraan roda dua dan empat di Korlantas Polri dan juga mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polda Bengkulu tahun 2004 yakni Novel Baswedan karena disangka melakukan tindakan pidana umum. (JIBI/SOLOPOS/Antara)

JAKARTA – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa Presiden harus segera turun tangan untuk menyelamatkan institusi Kepolisian dari tindakan pimpinan Polri.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Hal tersebut terkait permasalahannya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menggerus kepercayaan publik,” kata Hikmahanto, Minggu. Hikmahanto menyebut, pers saat ini sangat aktif mencari informasi terkait sangkaan atas Kompol Novel Baswedan yang hendak diseret untuk disidik terkait dugaan dirinya terlibat aksi pembunuhan terhadap tersangka pelaku kejahatan saat masih bertugas di Bengkulu beberapa tahun silam. “Pers seolah ingin membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Polda Bengkulu,” ujarnya.

“Polda Bengkulu saat ini belum menyampaikan siapa pelapor Novel yang menjadi alasan untuk mereka bergerak. Di saat bersamaan pers sudah melakukan investigasi lapangan atas keluarga korban di Bengkulu. Sejauh ini belum ada yang mengaku sebagai pelapor,” kata Hikmahanto. Polda Bengkulu telah menyampaikan kepada publik foto di mana peluru yang mengenai korban, namun tidak ada foto yang memperlihatkan Kompol Novel Baswedan melakukan penembakan. Bahkan menghadirkan saksi terkait hal tersebut, katanya. “Foto atas korban yang terkena peluru yang disampaikan oleh Polda tidak menjawab dan menjadi bukti bahwa Kompol Novel yang melakukan penembakan,” kata Hikmahanto.

Tindakan sama dilakukan oleh Polri ketika menuduh Bibit Samad Rianto yang kini mantan Komisioner KPK menerima suap dari Ari Muladi. Dengan petunjuk adanya mobil KPK yang terekam dalam CCTV masuk ke Mal Bellagio seolah Bibit berada dalam mobil tersebut dan menerima uang suap, katanya. “Saat ini Polri belum menjawab secara tuntas sejumlah pertanyaan masyarakat. Semisal mengapa waktu proses hukum atas Kompol Novel baru dilakukan sekarang, delapan tahun setelah kejadian, dan bertepatan dengan proses hukum Jenderal DS [Djoko Susilo],” kata Hikmahanto.

“Mengapa Polri merekomendasikan Kompol Novel ke KPK bila tahu ia terlibat dalam tindak kriminal. Bahkan mengapa Kompol Novel bisa naik pangkat beberapa kali?” tukas Hikmahanto. “Semua pertanyaan ini belum terjawab dengan baik oleh pihak-pihak yang berwenang di Polri. Bahkan sejumlah jawaban justru menimbulkan pertanyaan baru dengan sejumlah kecurigaan,” kata Hikmahanto.

Kecurigaan publik pun semakin menggunung. Akibatnya kepercayaan publik terhadap institusi Polri terdampak secara negatif, katanya. “Dalam kasus Cicak Buaya, Presiden akhirnya turun tangan ketika kepercayaan publik terhadap Polri menurun. Presiden membentuk Tim 8 untuk melakukan verifikasi atas berbagai kecurigaan terhadap Polri saat itu,” kata Hikmahanto.

Campur tangan Presiden saat itu bukan dalam rangka hendak mengintervensi apa yang sedang terjadi, melainkan upaya untuk menyelamatkan institusi kepolisian dari kebijakan pimpinan Polri yang terus menggerus kepercayaan publik, katanya. “Oleh karenanya saat ini kalaupun ada campur tangan Presiden maka campur tangan tersebut dalam rangka menyelematkan institusi Kepolisian,” kata Hikmahanto. Presiden wajib bertindak dan tidak menunda-nunda untuk bertindak. Hal ini karena setiap detik gerusan kepercayaan publik terus menurun tanpa dapat dibendung, katanya.

“Jangan sampai Presiden tidak dapat mengendalikan situasi dan harus membentuk tim verifikasi kembali seperti kasus Cicak Buaya. Kearifan Presiden saat ini benar-benar dibutuhkan,” ujar Hikmahanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya