SOLOPOS.COM - Keraton Solo (Dok/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO—Maklumat SISKS Pakoe Boewono (PB) XIII tentang pembubaran Dewan Adat Keraton dinilai tidak menyelesaikan masalah konflik keraton karena maklumat itu belum menyentuh pada pokok pemasalahan yang mendasar. Solusi yang tepat tidak lain dengan duduk bersama dan dengan ikhlas saling memaafkan.

Pernyataan itu disampaikan Ketua DPRD Solo, YF Soekasno, setelah menerima dan membaca maklumat bernomor 33/PBXIII/XI/2013 tertanggal 3 November 2013.

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

Maklumat itu dikirimkan kepada Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo, dan kemudian ditembuskan ke sejumlah pimpinan daerah, seperti Ketua DPRD Solo, Komandan Kodim, Kapolresta Solo dan pihak terkait lainnya.

“Ya, kami tunggu perkembangan selanjutnya seperti apa pascadikeluarkan maklumat itu. Kalau menurut saya, solusinya bukan pembubaran Dewan Adat, tetapi Sinuhun dan para rayi (adik) harus duduk bersama, saling memaafkan, saling mengampuni dan saling memberi maaf dengan hati ikhlas. Persoalan mendasar itu terletak antara Sinuhun dan para rayi,” tegas politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu saat ditemui wartawan di ruang kerjanya, Senin (4/11/2013).

Terpisah, sejarawan Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), Titis Srimuda Pitana, sependapat dengan analisis Ketua DPRD Solo. Menurut dia, maklumat itu dikeluarkan oleh seorang raja dengan kapasitasnya sebagai raja Jawa atau tidak.

Dalam konsep Jawa, raja sebagai makro kosmos, terangnya, perkataan raja itu sabda, pandita, ratu. Artinya perkataan raja itu sebagai hukum.

“Dalam konteks konflik keraton Solo, persoalannya lebih pada konflik internal antarsaudara. Ketika raja sebagai panutan dalam konsep sabda, pandita, ratu itu, masyarakat menjadi bingung. Ini yang jadi panutan yang mana? Intinya, kubu yang berseteru itu sudah melupakan posisi dan peran keraton sebagai pusat budaya Jawa. Keraton tidak lagi menjadi panutan yang senantiasa memberi tulada dan tuntunan, tapi jadi tontonan memalukan,” tandasnya.

Menurut Titis, maklumat itu sudah pasti tak menyelesaikan masalah karena sebelumnya posisi raja sudah terjebak dalam konsep Dewan Adat. Namun di tengah perjalanan, kesadaran atas eksistensi diri sebagai seorang raja yang memiliki otoritas kembali muncul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya