SOLOPOS.COM - Bedaya Ketawang Ditarikan dalam Tingalan Jumenengan Dalem Tanpa Kehadiran Paku Buwono XIII

Konflik Keraton Solo terus berlanjut dengan munculnya jumenengan kembar, Kamis (14/5/2015).

Solopos.com, SOLO — Jumenengan kembar yang berlangsung di Keraton Solo, Kamis (14/5/2015), memang berjalan lancar. Baik kubu Raja Keraton Solo PB XIII maupun Plt. Raja KGPH Puger sama-sama mengklaim jumenengan versi mereka yang sah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di Sasana Narendra, upacara Tingalan Jumenengan Dalem ke-11 Raja Keraton Solo berlangsung sederhana. Para abdi dalem dipayungi tenda dengan kain warna putih. Tidak ada tari Bedaya Ketawang seperti yang berlangsung di Jumenengan versi kubu Puger. Baca: Kali Pertama! Bedaya Ketawang Disaksikan Plt. Raja.

Acara jumenengan lebih banyak diisi doa agar PB XIII pulih dari sakitnya. Beberapa orang dekat PB XIII seperti KGPH Benowo dan KPH Adipati Sosronagoro juga hadir. Sosronagoro sempat didaulat untuk menjelaskan tingalan jumenengan yang dilakukan kubu berseberangan.

Kuasa hukum PB XIII, Ferry Firman Nurwahyu, mengatakan jumenengan merupakan hak prerogatif raja, yaitu PB XIII. Ditanya apakah sebelumnya kubu PB XIII melakukan komunikasi dengan kubu Dewan Adat (Puger dkk), Ferry menampik. “Enggak perlu komunikasi dengan pemberontak.”

Dia bahkan menyebut acara itu seperti kapal tanpa nahkoda. “Itu sih bikin-bikinan abdi dalem di timur [Sasana Sewaka] saja. Itu jumenengannya siapa? Wong nahkodanya saja ada di sini [PB XIII],” ujarnya.

Di lain pihak, KGPH Puger mengaku tak bisa memaksakan PB XIII hadir dalam jumenengan. Hanya, ia mengingatkan PB XIII sudah berulang kali melanggar aturan adat karena menolak duduk di dampar kencana. Di sisi lain, Puger menilai pihak yang menyebut jumenengan di Sewaka tidak sah adalah orang yang tak paham adat keraton.

“Silakan Sinuhun menggelar jumenengan, itu hak beliau. Namun jangan dikira prosesi di sini lantas mengada-ada. Ada kesenjangan pengetahuan mengenai tata cara keraton yang perlu diluruskan.”

Kerabat Keraton kubu Dewan Adat, KP Satriyo Hadinagoro, mengatakan bukan kali ini saja prosesi jumenengan tidak dipimpin raja secara langsung. Dia menyebut hal itu pernah terjadi pada masa kepemimpinan PB IX dan PB XI. “Bagi yang tahu sebenarnya bukan suatu hal yang aneh,” kata dia.

Satriyo menambahkan Bedaya Ketawang mengandung filosofi sakral, sehingga akan disayangkan jika tidak dilaksanakan. Tarian itu, menurut Satriyo, menggambarkan kehidupan manusia dari lahir sampai akhir hayat. “Jadi apapun alasannya, [tari] tetap harus dikepyakke.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya