SOLOPOS.COM - Foto Ilustrasi. (JIBI/Harian Jogja/Reuters)

Kondisi Lapas menghadapi permasalahan pada petugas-petugasnya yang kadang minder menghadapi napi.

Solopos.com, SOLO – Petugas lembaga pemasyarakat (Lapas) rata-rata lulusan SMA yang tak memiliki sumber daya manusia (SDM) memadai dan keahlian khusus menghadapi para penghuni lapas. Sebagian besar mereka bahkan mengaku minder dan depresi ketika menghadapi para penghuni lapas dari bekas pejabat atau penguasa setempat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Demikian diungkapkan Husni Setiabudi, Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Kutoarjo, Purworejo, dalam diskusi Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Lapas/ Rutan di Indonesia yang digelar Yayasan Sahabat Kapas Solo dan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (30/3/2016).

Ekspedisi Mudik 2024

Husni menyampaikan realita itu untuk menjawab sejumlah pertanyaan miring ihwal maraknya tindak penyimpangan yang dilakukan oknum sipir di dalam lapas. Sejumlah penyimpangan oknum sipir itu mulai penyelundupan narkoba, main mata dengan penghuni lapas, hingga adanya sejumlah penghuni lapas yang keluyuran atau menikmati fasilitas mewah.

“Kami akui, pegawai kami ini sebagian besar adalah lulusan SMA. Prestasinya pun di bawah rata-rata atau tak bagus-bagus amat. Ngoperasiin komputer enggak bisa. Jadi, kalau ada penghuni lapas dari bekas DPRD, bekas bupati, atau pelaku korupsi lainnya, kami minder. Mereka bisa lapor atasan, dan kami bisa dibuang ke lapas lain,” ujar Husni.

Menurut Husni, rendahnya tingkat pendidikan pegawai lapas dan skill yang mereka miliki menjadi problematika yang pelik. Satu sisi, mereka harus mengatur penghuni lapas dengan tetap menjunjung tinggi HAM serta hak dasar sebagai manusia. Pada sisi lain, pegawai lapas juga tak berkutik ketika menghadapi para terpidana yang masih memiliki kekuasaan, jaringan, atau menguasai hukum.

“Pernah salah satu kepala lapas sampai depresi menghadapi penghuninya yang kebetulan pintar hukum, dan punya jaringan orang berkuasa,” paparnya di gedung 2 Fakultas Hukum UNS.

Secara kelembagaan, kata Husni, lapas juga tak memiliki kesejajaran dengan lembaga hukum lain, seperti kejaksaan atau kepolisian. Jika petugas kejakasaan dan kepolisian memiliki kewenangan cukup luas, maka tak demikian dengan petugas lapas dan rutan.

“Kewenangan kami hanya di dalam lapas. Itu pun hanya kepada napi-napi kelas kecil. Kalau napi sekelas bupati, kami angkat tangan,” tambahnya.

Ia berharap, sistem perekrutan petugas lapas ke depan harus benar-benar dari kalangan akademisi yang berprestasi. Harapannya, pengelolaan lapas benar-benar profesional, tak ada pelanggaran HAM, dan penyimpangan lainnya.

Salah satu peserta diskusi, Rehna Lemken Ginting, mengatakan pengertian HAM harus disatukan antara praktisi, LSM, serta akademisi. Tujuannya agar penerapan HAM di lapas benar-benar berjalan sesuai dengan semangat pancasila.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya