SOLOPOS.COM - Logo Defender of Surockarto (Facebook.com)

Solopos.com, SOLO — Menilik lebih jauh ke belakang, Kota Solo memiliki sejarah pertautan dengan musik bergenre rok. Pada akhir 1980-an, band seperti Garuda, Magnum, Imperium, Spektrum, hingga Centries menandai tonggak gerilya musik rok di Indonesia. Tak ayal band beraliran slow rock, glam rock, blues rok, metal, hardcore, punk, ska, hingga grunge, kini menjadi bagian keseharian masyarakat.

Meskipun musik cadas telah menjadi arus utama yang mewarnai scene musik Kota Solo, nyatanya sejumlah pelaku dan penikmatinya masih diliputi rasa tak nyaman. Tak jarang mereka harus bergelut dengan stereotip miring, yang berujung pada minimnya ruang aktualisasi diri untuk sekadar naik pentas. Utamanya bagi musisi muda.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal tersebut dirasakan band beraliran rok yang tergabung di Komunitas Defender of Surockarto. Komunitas yang menaungi sekitar 50 band se-Soloraya ini merasakan minimnya ruang pertunjukan bagi musisi muda. Sementara para anggota komunitas yang sudah “senior” memiliki ruang bermusik di acara rutin musik klasik rok yang diselenggarakan THR Sriwedari, para musisi muda hanya sesekali mengenyam pentas musik (pensi) dan acara musik berbasis komunitas.

“Anggota kami yang muda-muda butuh ruang apresiasi, sementara ini mereka hanya ‘nempel’ di pensi. Kalau harus membuat event mandiri, izin acara musik yang ada embel-embelnya rok cukup sulit. Padahal mereka butuh ruang untuk mengasah kemampuan,” keluh Arembono Purbo Sasongko, Ketua Defender of Surockarto, saat berbincang dengan Solopos.com, di kawasan Kepatihan, Banjarsari, pekan lalu.

Lelaki yang akrab disapa Ari Headband ini menguraikan ruang apresiasi dibutuhkan musisi muda sebagai ajang pembelajaran. “Saat perform mereka bisa langsung sharing di musik, saling mengisi juga,” imbuhnya.

Disinggung mengenai keberadaan event tahunan Rock in Solo, menurut Ari, belum menjawab persoalan sejumlah musisi rok muda. “Acaranya masih kurang memberdayakan band lokal. Kami hanya diberi sedikit ruang [25 %]. Semestinya band lokal jadi tuan rumah di tempat sendiri,” jelasnya.

Ari berharap komunitas yang ia bangun sejak 2011 ini bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah, untuk memajukan musik rok di Kota Bengawan. “Solo sendiri sudah punya sejarah dengan rok. Semestinya pemerintah bisa menyediakan ruang rutin buat anak-anak muda ini mengembangkan talentanya,” harapnya.

Ditemui secara terpisah di kantornya akhir pekan lalu, Kepala Disbudpar Kota Solo, Eny Tyasni Suzana, mengungkapkan Solo memang belum banyak memiliki ruang representatif untuk menggelar pertunjukan musik secara reguler, termasuk musik rok. “Tahun ini pembangunan sejumlah ruang budaya baru sedang dimulai. Sementara, memang hanya kawasan Joglo Sriwedari itu yang bisa dipakai. Ke depan setelah ruang budaya berdiri, akan kami pertimbangkan,” kata Eny.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya