SOLOPOS.COM - Suwarmin Wartawan Solopos

Suwarmin Wartawan Solopos

Suwarmin
Wartawan Solopos

YKS atau Yuk Keep Smile dan survei politik atau survei calon presiden (capres) sebenarnya berada di dua dunia yang berbeda. Yang satu adalah program acara televisi yang tengah naik daun, hingga diputar 3-4 jam sehari, dan gemanya menyebar ke seluruh penjuru negeri.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Satunya lagi adalah menu politik yang rajin hadir di tengah-tengah publik, menghiasi halaman dan space berbagai media, mengusik para pelaku politik dan mengundang perbincangan warga masyarakat. Bisa dibilang, survei capres adalah pemanasan sebelum pemilu yang sebenarnya digelar.

Tapi beberapa waktu belakangan ini, YKS dan survei capres tiba-tiba mempunyai nasib yang sama, yakni sama-sama mengundang pro-kontra, memancing polemik, menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, baik di warung kopi maupun di dunia maya.

Sebagian masyarakat membenci YKS karena materi lawakannya yang itu-itu saja, seperti menaburkan tepung ke wajah orang lain, menjelek-jelekkan lawan main, mengeksploitasi pemain atau penonton, dan sebagainya. Program acara dengan mayoritas berisi goyangan ini, juga dianggap menjadi contoh buruk bagi anak-anak. Banyak goyangan erotis muncul di jam yang sama dengan jam belajar. Akibatnya, banyak anak SD sudah pandai bergoyang atau berdendang menyanyikan lagu Buka Sitik Jos yang dipopulerkan acara YKS.

Sebagian jengah dengan acara ini karena pemain pendukungnya yang dia lagi-dia lagi, seperti Rafi Ahmad, Denny Cagur, Soimah, dll. atau teriakan nggak karu-karuan para penonton bayaran. Saking gerahnya dengan acara ini, muncul pula petisi di dunia maya, yakni di Change.org yang mendorong agar acara ini dihentikan. Warga forum-forum di Internet yang kebanyakan anonim juga tak sedikit yang meminta acara ini dihentikan atau ditata ulang waktunya.

Namun sudah menjadi kodrat segala sesuatu yang muncul di ruang publik, ada yang menolak, ada pula yang mendukung. Begitu juga dengan YKS. Para pendukung acara ini memuji YKS sebagai hiburan murah khas Indonesia, memberi penghasilan pada kru dan penontonnya. Sebagian lain menyebut keberadaan YKS sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, jadi tak perlu dilarang-larang. Kelak jika masyarakat sudah bosan, acara itu akan minggir dengan sendirinya.

Masyarakat terbelah menghadapi pro-kontra seperti ini. Jadi bagi yang tidak suka, silakan pindah ke program acara lain. Sayangnya, program-program televisi lain juga nyaris seragam mengikuti kesuksesan YKS. Maka tak heran jika makin banyak ibu-ibu yang menjauhkan anak-anak mereka dari televisi.

Menurut Roy Thaniago, Direktur Remotivi, lembaga pemantau acara televisi, 90% acara televisi di Indonesia adalah sampah atau tidak mendidik. ”Kami bahkan kesusahan mencari tayangan yang layak dijadikan rekomendasi untuk ditonton,” kata Roy seperti dikutip Bisnis Indonesia edisi Weekend, Minggu (26/1).

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mempunyai otoritas sebagai ”kurator” acara televisi pun tak berdaya. Pernah pada suatu kali masyarakat meminta KPI menegur program Empat Mata yang dianggap kurang layak. Lalu muncullah Bukan Empat Mata yang seolah mencibir KPI. Maka kuasa pasar jauh lebih menentukan daripada cemoohan orang-orang yang membenci sebuah acara, atau teguran KPI yang biasanya tak akan digubris para pengelola stasiun televisi.

Seperti halnya YKS, survei capres juga menghadapi pro-kontra. Sebagian besar survei capres menempatkan Gubernur DKI Joko Widodo di urutan tertinggi. Memang harus diakui, sebagian survei terasa betul baunya sebagai survei pesanan pihak tertentu. Apalagi jika sebuah lembaga survei juga melengkapi diri sebagai biro iklan dan lembaga kampanye pencitraan.

Kondisi ini membuat pihak yang kalah dalam survei dengan mudah menuduh adanya praktik jual beli jasa survei untuk kepentingan pihak tertentu, bukan untuk memotret kondisi dalam masyarakat secara wajar, meski tidak semua lembaga survei melakukan hal itu.

Itulah sebabnya, KPU berencana menertibkan lembaga survei dan meminta pengelola lembaga survei mendaftarkan diri. Menurut anggota KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, bagi lembaga survei yang tidak mendaftar ke KPU akan disebut sebagai lembaga survei liar.

KPU meminta lembaga survei mematuhi Undang-Undang No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Lembaga survei juga harus tunduk dengan peraturan KPU. Dalam dua aturan tersebut tercantum rambu-rambu dan syarat yang wajib dipenuhi sebuah lembaga survei saat pemilu. Antara lain, lembaga survei harus memiliki sumber dana, kepengurusan, dan metodologi yang jelas.

Lagi-lagi, sejumlah lembaga survei menyuarakan penentangan terhadap rencana KPU. Akhirnya semuanya kembali kepada masyarakat. Publik yang akan menilai mana lembaga survei yang benar-benar bekerja dengan standar keilmuan yang jelas dan mana yang bekerja berdasarkan perintah sponsor yang mempunyai agenda politik tertentu.

Dan rupanya, antara YKS dan survei politik mempunyai titik persinggungan. YKS rupanya menjadi jalan keluar bagi mereka yang suntuk menonton polah politikus yang semakin tidak keruan, yang berantem di layar kaca seolah paling benar sendiri, saling tuding sesama pencuri duit negara.

Daripada menyaksikan wajah-wajah politikus korup yang mengumbar senyum di televisi, tontotan YKS lebih membuat penonton gembira. Jangan lupa, nonton YKS lebih mudah daripada pusing memikirkan para calon legislatif (caleg) yang jumlahnya sangat banyak.

Bahkan jangan-jangan, nonton YKS juga menjadi pelarian atas segala kesulitan hidup, barang-barang yang kian tak terbeli, bencana yang datang tiada henti. Jadi ada baiknya para caleg sejenak nonton YKS biar nggak terlalu pusing….

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya