SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopoa)

Kolom kali ini, Senin (4/4/2016), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Term ”ekonomi berbagi” atau ”sharing economy” memunculkan optimisme tentang kebangkitan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu basis pengembangan ekonomi berbagi adalah kreativitas dengan fondasi platform online.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ekonomi berbagi adalah konsep bisnis yang membuka akses seluas-luasnya terhadap sumber daya yang dimiliki individu atau perusahaan (korporasi) untuk dimanfaatkan atau dikonsumsi bersama orang lain.

Semangat yang melatarbelakangi praksis demikian ini adalah efisiensi pemanfaatan sumber daya sekaligus efisiensi konsumsi. Kunci utama kesuksesan praksis ini adalah kepercayaan dan reputasi ditambah keamanan, legalitas, dan transparansi.

Salah satu pemahaman teknis dari praksis ekonomi berbagi adalah berbisnis bersama-sama tanpa modal banyak. Siapa pun bisa turut serta berbisnis tanpa harus menyediakan modal (uang) yang banyak, yang penting bisa dipercaya, bereputasi bagus, bersama-sama menjaga keamanan serta legalitas, dan berkomitmen untuk transparan.

Beberapa hari lalu seorang kawan datang ke rumah saya. Kawan saya ini, seorang perempuan berjiwa entrepreneur, menemui istri saya yang kebetulan dalam aktivitas hariannya salah satu kegiatannya punya kaitan erat dengan pemberdayaan ekonomi kaum difabel.

Kawan saya itu bermaksud menjalin hubungan dengan kaum difabel yang punya keterampilan memproduksi barang-barang kerajinanan namun kesulitan memasarkan. Kawan saya itu menawarkan platform jual beli secara online yang dia kelola untuk menjadi pemasar barang-barang kerajinan itu.

Relasi yang hendak dijalin tanpa keterlibatan modal berupa uang. Relasi yang hendak dijalin hanyalah kepercayaan dan transparansi pembagian keuntungan dan praksis pemasarannya.

Kawan saya itu menyediakan platform jual beli online yang dia kelola sebagai etalase sekaligus pemasar dan para difabel menyediakan barang kerajinan yang laku di pasar. Saya tidak tahu apakah relasi itu telah mulai dijalin atau belum.

Saya memaknai inilah praksis sederhana dari ekonomi berbagi. Dalam sebuah diskusi di kelas penulisan esai di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta pekan lalu, seorang mahasiswa di kelas itu mengemukakan praktik ekonomi berbagi sebenarnya telah ada sejak zaman dulu, jauh sebelum era Internet.

Relasi antara pemilik tanah, petani penggarap, buruh tani, dan tengkulak adalah praksis ekonomi berbagai. Saya sependapat dengan penuturan mahasiswa ini. Ada perbedaan platform praksis ekonomi berbagai yang diilustrasikan mahasiswa itu dengan yang dipraktikkan kawan saya tersebut.

Dalam praksis ekonomi berbagai “tradisional” itu antara pemilik tanah, petani penggarap, buruh tadi, dan tengkulak bertemu secara faktual dan masih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan.

Term ”berbagi” yang mereka praktikkan tak lepas dari semangat untuk benar-benar berbagi, semangat berbagi yang memang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan.

Term ”berbagi” dalam ”sharing economy” yang ”ngetren” belakangan ini tak mensyaratkan pertemuan faktual. Praksis berbagi semata-mata didasarkan pada praktik berdasar kesepakatan bersama tanpa dilandasi semangat kemanusiaan.

Semua yang terlibat dalam term ”berbagi” itu bekerja sendiri-sendiri dan sama-sama memburu keuntungan sebanyak-banyaknya. Siapa sebenarnya yang paling beruntung dari praksis ekonomi berbagi berbasis platform online itu? Tentu saja si penyedia platform itu.

Relasi ekonomi berbagi dalam usaha transportasi berbasis aplikasi online seperti Gojek, Grabcar, Uber Taxi, dan sejenisnya sepintas memang memberikan pendapatan yang lebih kepada jaringan terluar, yakni para sopir, namun sesungguhnya yang meraih keuntungan paling banyak adalah penyedia platform atau aplikasi online itu.

”Ketimpangan” pendapatan antara penyedia aplikasi online dengan anggota jaringan yang terluar itu bisa kita bayangkan, sangat timpang. Dalam konteks inilah saya sepakat dengan pendapat B. Herry Priyono, doktor filsafat dan pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Sebagaimana diberitakan Kompas, 30 Maret 2016, Herry menjelaskan praksis ekonomi berbagai berbasis platform online hanyalah bentuk lain dari praktik bisnis dalam sistem kapitalisme. Ekonomi berbagi berbasis platform online itu hanyalah wajah baru kapitalisme.

Ekonom Joseph Schumpeter, sebagaimana dikutip Herry dalam berita itu, mengemukakan term ”perusakan kreatif” atau creative destruction sebagai ilustrasi kinerja kapitalisme. Kapitalisme selalu menciptakan praksis-praksis bisnis baru yang menghancurkan model-model bisnis lama.

Hal demikian ini terjadi terus-menerus seiring perkembangan dan perubahan zaman, terutama juga perkembangan teknologi. Konsep ekonomi berbagi sebenarnya tak lepas dari peran pemodal asing, pemodal besar, yang agresif.

Dalam ranah kapitalisme, orientasi pemodal jelas cuma satu: mengembalikan modal secepatnya dan meraih untung sebanyak-banyaknya. Kemanusiaan, berbagi rasa, berbagi empati tak ada dalam praksis demikian.

Keunggulan ekonomi berbagai memang ada, yaitu dari sisi manajemen yang memang efisien. Persoalannya, logika-logika dan persoalan ruwet ala kapitalisme tak terselesaikan. Ketimpangan tetap mewujud, mengembang, dan menjadi entitas masalah global. [Baca selanjutnya: Kiri]Kiri

Saya kemudian teringat buku karya Thomas Piketty yang terbit pada Maret 2014 berjudul Capital in the Twenty-First Century. Judul aslinya adalah Le Capital au XXI Siecle. Saya membaca buku ini dalam format bahasa Inggris berbentuk e-book.

E-book itu kiriman kawan saya, seorang perempuan yang menjadi dosen di Jakarta. Piketty, 45, adalah guru besar dan pemikir ekonomi di Ecole d’economie de Paris atau Paris School of Economics.



Yang membuat saya teringat dengan buku ini adalah argumen Piketty bahwa kecuali pada periode 1930-1980, kapitalisme selalu ditandai ketimpangan tajam. Ketimpangan ini disebabkan tingginya imbalan akumulasi modal dibanding tingkat pertumbuhan ekonomi.

Menurut Piketty dalam buku yang belum sepenuhnya saya kuasai—saya baru membacanya secara “grambyangan”—itu, abad ke-21 akan ditandai ketimpangan (ekonomi) setajam abad ke-19.

Apakah ekonomi berbagi ini akan menjadi salah satu agen menuju ketimpangan pada abad ke-21 atau malah menjadi yang melawan ketimpangan itu? Yang jelas, argumen Piketty dalam buku ini dilandasi riset yang menunjukkan pola dalam kurun waktu panjang, yaitu 2-3 abad.

Piketty dan kawan-kawannya meriset dokumen laporan pajak dan menggalinya hingga tiga abad lalu. Pola menuju ketimpangan tajam pada abad ke-21 sepenuhnya berlandaskan data hasil riset laporan pajak di beberapa negara, terutama di
Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat yang kemudian merentang polanya hingga Jerman, Jepang, Swedia, Kanada, dan Australia.

Piketty juga menggunakan data dari Tiongkok, India, Afrika Selatan, Argentina, Kolombia, dan Indonesia walau secara tentatif dan data pajaknya tak selengkap data di tiga negara utama tersebut. Piketty menganalisisnya dari sudut pandang tingkat pertumbuhan imbahan yang diperoleh modal.

Modal yang dimaksud adalah semua aset yang bisa menghasilkan imbalan, seperti uang tunai, mesin, surat-surat berharga, rumah, tanah, mesih, hak paten, dan sebagainya. Imbalan modal ini selalu dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Ketika tingkat pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada tingkat imbalan modal mengisyaratkan masyarakat dalam kondisi (ekonomi) egaliter. Ketika tingkat imbalan modal lebih besar daripada tingkat pertumbuhan ekonomi artinya pertumbuhan imbalan modal mempercepat akumulasi aset. Akumulasi aset ini dalam logika kapitalisme akan diinvestasikan untuk memperbesar imbalan modal.

Imbalan modal yang tinggi akan menaikkan kekayaan. Kekayaan yang meninkat akan menaikkan imbalan modal. Kepemilikan modal jelas berada di tangan orang kaya. Ketika tingkat imbalan modal lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan ekonomi artinya akumulasi kekayaan para pemilik modal lebih tinggi daripara jerih payah kerja orang biasa.

Kapitalisme “bekerja” berdasar prioritas peningkatan imbalan modal dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Interaksi antara keduanya menunjukkan kapitalisme apa yang sedang bekerja. Lantas apakah ekonomi berbagai berbasis platform online tidak layak dikembangkan dan diberdayakan? Tentu jawabannya tak sederhana, bukan sekadar “ya” atau “tidak”.

Ada banyak elemen yang bekerja dalam ranah kapitalisme yang menurut Piketty akan menciptakan ketimpangan ekonomi yang tajam pada abad ke-21 ini. Banyak elemen itulah yang harus ”dionceki” demi membangun tatanan sosial yang adil.

Tak ada salahnya menengok lagi wacana ”kiri” demi menyeimbangkan pendulum ekonomi yang, menurut Piketty, akan kian condong ke ”kanan” itu. Sayangnya, di negeri ini, yang ”kiri-kiri” itu selalu dianggap ”berbahaya”, selalu dianggap ”tak sesuai jiwa kebangsaan”, padahal itu sangat ilmiah untuk ”ngonceki” potensi ancaman ketimpangan tajam itu dan merumuskan strategi ”mengelolanya” sejak dini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya