SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa)

Kolom kali ini, Selasa (14/6/2016), ditulis jurnalis Solopos, Ichwan Prasetyo, yang juga pecinta dan pembaca buku.

Solopos.com, SOLO — Isu ihwal buku dan perbukuan selalu dianggap tak seksi. Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Perbukuan—sebut saja RUU Perbukuan—tak mendapat perhatian selayaknya kepentingan besar di baliknya.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Fraksi-fraksi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyelesaikan harmonisasi pembahasaan RUU tersebut pekan lalu. Keputusan akhir yang dicapai pada pekan lalu itu adalah RUU akan dibahas lagi di Panitia Kerja Komisi X DPR. Rencananya pada 20 Juni mendatang.

Proses ini di media yang punya jurnalis yang ngepos di Gedung DPR tak mendapat porsi utama. Di koran yang berkantor redaksi di Jakarta proses ini hanya menjadi berita kecil, singkat, bukan headline halaman. Ya, itu tadi, karena urusan buku dan perbukuan selalu dianggap tak seksi.

Benarkah urusan buku dan perbukuan bukan urusan seksi? Saya meyakini urusan ini justru seksi pol. Saya punya tesis program revolusi mental yang aduhai itu tak akan bisa terwujud tanpa budaya literer, budaya membaca (buku) dan menulis (buku).

RUU Perbukuan harus dibahas di panitia kerja karena pemerintah dan DPR perlu mendiskusikan lebih cermat 361 dari 586 daftar inventarisasi masalah yang diajukan pemerintah.

RUU ini menjelaskan sistem perbukuan adalah tata kelola perbukuan yang saling terkait secara terpadu yang meliputi penulisan naskah, pencetakan atau digitalisasi, penerbitan, pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan.

Buku dalam RUU ini dimaknai sebagai publikasi dalam bentuk cetak dan/atau digital terdiri dari lembaran-lembaran berupa teks, gambar, audio, atau video, atau gabungan dari semuanya yang diterbitkan tidak berkala secara nasional maupun internasional.

Substansi luhur yang hendak diatur dalam RUU Perbukuan antara lain tata kelola yang menghasilkan buku yang bermutu serta kemudahan akses bagi masyarakat untuk memperoleh buku berkualitas yang memiliki isi, konten, mencerminkan nilai-nilai kepribadian Indonesia, dengan harga terjangkau.

Substansi lainnya adalah pengaturan mengenai ketersediaan bahan baku kertas dan tinta dengan harga murah. Substansi RUU juga memerhatikan para pelaku hak cipta industri perbukuan mulai dari penulis, editor, penyadur, penerjemah, dan lain-lain serta royalti atau hak ekonomi yang harus diterima, harga eceran tertinggi, dan terbentuknya dewan perbukuan.

Saya mencermati RUU ini.  Kesimpulan saya adalah RUU ini minim regulasi yang mendukung semangat berbudaya literer. RUU ini bakal ”kethul” kalau dikaitkan dengan kebutuhan membenihkan semangat berbudaya literer demi mencapai kemajuan peradaban di segala bidang.

Indikasi yang paling kelihatan adalah RUU Perbukuan sama sekali tak memuat regulasi yang mendorong persemaian dan pertumbuhan budaya literer. RUU Perbukuan tak memuat regulasi yang mendorong munculnya kios-kios buku di kawasan permukiman.

Dalam pandangan saya, semangat demikian ini, semangat mendorong munculnya kedai-kedai buku di mana saja, terutama di kawasan permukiman, strategis agar buku tak lagi dipandang sebagai barang mewah yang hanya layak dipajang di kota dan itu pun di toko-toko besar.

Dari sinilah saya berkesimpulan buku dan perbukuan selalu dianggap urusan tak seksi. Harapan memang ada, yaitu ihwal Dewan Perbukuan yang nanti bisa menjadi cantolan pengalokasikan dana APBN plus APBD untuk keperluan dunia perbukuan kita. Ya, masih sekadar harapan. [Baca selanjutnya: Buta Aksara]Buta Aksara

Alvin Toffler pada 1970-an pernah ”meramal” bahwa ”buta aksara” yang merebak pada abad XXI bukan karena orang-orang abad XXI tak bisa membaca dan menulis, tetapi karena mereka tidak bisa belajar, enggan belajar, dan enggan belajar kembali.

Realitas kekinian menunjukkan ”buta aksara” itu memang kian menggejala. Pekan lalu saya hadir di acara diskusi membedah buku Inilah Esai karya Muhidin M. Dahlan. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan Universitas Sebelas Maret (UNS). Tempatnya di Student Center UNS.

Saya gembira karena bisa bertemu dengan salah seorang penulis idola saya: Muhidin M. Dahlan. Saya mengagumi kerja-kerja literernya yang penuh semangat dan spartan. Dia mendirikan Radio Buku, mengelola Warung Arsip, mengelola lembaga penerbitan Indonesia Buku (I: Boekoe).

Ada satu bagian materi diskusi yang menurut saya menjadi gambaran realitas ramalan Alvin Toffler tersebut. Muhidin mengatakan hampir semua pendiri bangsa ini, laki-laki maupun perempuan, adalah pembaca dan penulis yang tekun.

Esai—panjang atau pendek—menjadi sarana para pendiri bangsa menelurkan pikiran mereka sekaligus mengajak pembaca untuk berpikir dan bertindak demi kemerdekaan Indonesia dan kemajuan Indonesia. Kini, ketika Indonesia menikmati iklim keterbukaan di segala bidang, warisan budaya literer para pendiri bangsa itu justru ditinggalkan.

Seorang perempuan, dosen UNS, yang hadir di diskusi itu menceritakan kesulitannya saat hendak menulis esai. Menurut Muhidin, menulis esai menjadi mudah ketika penulisnya rakus membaca. Tanpa kerakusan membaca, aktivitas menulis, termasuk menulis esai, menjadi mustahil.

Saya sering menghadiri majelis-majelis literer. Semua punya gejala yang sama: pesertanya sedikit bahkan sering pesertanya itu-itu saja. Ini adalah konfirmasi bahwa menggeluti budaya literer memang bukan pekerjaan mudah. Butuh semangat, pengorbanan, konsistensi, dan keberanian.

Empat hal ini jamaknya hidup di komunitas-komunitas literer. Komunitas-komunitas kecil yang hidup secara swadaya, semacam Pawon Sastra Solo dan Bilik Literasi. Dua komunitas literer ini aktif menularkan virus literer ke mana-mana, dengan swadaya tentu saja.

Kegiatan-kegiatan literer dengan peserta sedikit, tak jarang itu-itu saja, menjadi antitesis dari konfirmasi ramalan Alvin Toffler yang kian menggejala. Muhidin mengatakan berbudaya literer tak semudah berbudaya audio visual. Berbudaya literer butuh diperjuangkan, butuh dihidupi, butuh pemeran-pemeran kunci yang konsisten dan spartan.

RUU Perbukuan dalam pandangan saya belum menangkap semangat literer di arus bawah yang sesungguhnya terbukti kuat dan karya mereka terlihat nyata itu, semacam kredo Pawon Sastra dan Bilik Literasi.



Mungkin nanti ketika Dewan Perbukuan terbentuk, salah satu langkah awal yang harus mereka lakukan adalah membuka ruang pemberdayaan dan partisipasi bagi komunitas-komunitas literer semacam Pawon Sastra dan Bilik Literasi itu, yang sesungguhnya sangat banyak di negeri ini. [Baca selanjutnya: Literer Berkaki]Literer Berkaki

Cendekiawan Soedjatmoko mengenalkan istilah ”ide berkaki”. Soekarno pada 1926 menerbitkan esai berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme. Esai Soekarno ini, seturut istilah yang dikenalkan Soedjatmoko, kemudian menjadi karya literer berkaki, esai yang berkaki.

Bangunan kaki-kakinya dicicil Soekarno dengan mimbar pidato, organisasi, kesumpekan penjara, pembuangan, dan percobaan-percobaan pembunuhan. Kemerdekaan Indonesia adalah fondasi awal esai ini. Kaki-kaki esai ini kukuh pada 17 Agustus 1959 ketika Soekarno menyampaikan Manifesto Politik melalui pidato (esai) Penemuan Kembali Revolusi Kita.

Menurut Muhidin, kaki-kaki karya literer Soekarno ini terwujud secara nyata dalam konfigurasi politik kenegaraan Indonesia yang direpresentasikan dalam akronim Nasakom yang diumumkan secara luas pada 1960-an.

Nasionalisme, Agama, Komunis atau Nasakom adalah kaki-kaki sempurna dari esai Soekarno yang ditulis pada 1926. Kaki-kaki kukuh karya literer Soekarno ini memang termakan hukum ”tak ada yang abadi di dunia”. Pilar-pilar Nasakom kemudian runtuh, hancur.

Termutakhir, Presiden Joko Widodo sebelum resmi menjadi presiden Indonesia memublikasikan esai di Harian Kompas edisi 10 Mei 2014 berjudul Revolusi Mental. Kaki untuk karya literer ini dibangun sangat cepat ketimbang esai Soekarno.

Revolusi Mental ditulis pada Mei 2014 dan pada 2015 telah terbangun lembaga resmi pendukungnya yang beralamat di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Koordinator kaki-kaki esai Revolusi Mental adalah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Dukungan dananya ratusan miliar rupiah. Inilah esai yang dilembagakan sangat cepat. Esai yang berkaki dengan sangat cepat.

Kaki-kaki esai Revolusi Mental ini terancam dimakan rayap bila pembasmi rayapnya tak segera diberdayakan dan dibiakkan. Pembasmi rayap-rayap itu adalah budaya literer, budaya membaca (buku) dan menulis (buku).

Membaca dan menulis yang mensyaratkan penalaran akan membuat seseorang menjadi sabar, peka, dan tentu dalam bersikap dan berucap selalu diawali dengan mengamati, meneliti, memverifikasi.

Laku demikian akan membangun manusia paripurna, manusia beretika tinggi, manusia yang selalu memanusiakan manusia lain, manusia yang selalu memberdayakan akal dan nuraninya. Bukan manusia asal njeplak, bukan manusia yang tak manusiawi.

Inilah urgensi budaya literer. Inilah urgensi RUU Perbukuan butuh kaki-kaki kukuh: menyemai dan menyuburkan budaya literer. Isu yang tak seksi tetapi sesungguhnya sangat penting.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya