SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (29/2/2016), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Sekian pekan tidak bertemu di wedangan News Café, Raden Mas Suloyo, Mas Wartonegoro, dan sejumlah tetangga mereka, termasuk saya, gayeng membahas Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera yang undang-undang (UU) sebagai dasar hukumnya baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ya, Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera) akhirnya memang resmi disahkan menjadi UU Tapera dalam sidang paripurna ke-19 DPR masa sidang ketiga 2015-2016 pekan lalu. Dalam skema baru itu, setiap pekerja diwajibkan membayar iuran Tapera sebesar 3% dari total upah yang diterima.

Dari 3% tersebut, 2,5% di antaranya dibayarkan oleh pekerja sedangkan sisanya 0,5% dibayarkan oleh pemberi kerja. ”Ini pemerintah maunya apa lagi? Sebagai karyawan swasta, kami ini kok dipaksa-paksa untuk iuran lagi… iuran lagi. Awal tahun ini diwajibkan ikut iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Untuk kesehatan dan ketenagakerjaan saja sudah memotong sekian persen gaji saya, lha kok ini mau dipotong lagi. Lak suwe-suwe entek gajiku nggo iuran,” celetuk Denmas Suloyo.

Lha, iya, ta Denmas, gara-gara wajib ikut BPJS itu asuransi kesehatan swasta yang sudah bertahun-tahun kami ikuti oleh kantor tiba-tiba dicabut. Ikut asuransi perusahaan swasta itu mendapat pelayanan di rumah sakit yang begitu nyaman. Beda betul dengan pelayanan BPJS Kesehatan… Kawan-kawan saya banyak yang mengeluhkan soal ini,” timpal Mas Wartonegoro yang kali ini rupanya sependapat dengan Denmas Suloyo.

”Nah, itu sama dengan kantor saya. Waktu istri saya sakit, saya sampai muter-muter ke beberapa rumah sakit. Rumah sakit pertama bilang kamarnya penuh, rumah sakit kedua juga begitu. Saya baru dapat kamar di rumah sakit ketiga. Memang saya nggak tahu persis kamarnya benar-benar penuh atau tidak, tapi dulu waktu pakai asuransi swasta tidak seribet ini,” cerocos Denmas Suloyo.

”Kembali ke UU Tapera, kalau saya sudah punya rumah apa ya saya tetap wajib ikut dan gaji saya langsung dipotong lagi 2,5%? Kalau saya nggak mau ikut, apa ya seperti yang diberlakukan di BPJS… harus, tidak boleh tidak? Lha, ya repot,” tambah Mas Wartonegoro.

”Namanya juga undang-undang, itu aturan wajib. Jadi, ya harus ikut, seperti BPJS itu, suka tidak suka mau tidak mau ya harus ikut. Kalau nggak mau ya pindhaha seka Indonesia…hahaha…,” kata Denmas Suloyo sembari tertawa.

Begitulah. Pengalaman pahit menggunakan asuransi BPJS Kesehatan itu memang pernah juga saya alami ketika saya harus periksa di sebuah rumah sakit. Saya sungguh terkejut ketika pasien yang mengantre begitu banyak, tidak seperti beberapa waktu silam sebelum diberlakukan asuransi BPJS Kesehatan. Datang pukul 09.00 WIB, saya baru dilayani sekitar pukul 14.00 WIB. [Baca selanjutnya: Dawa Ususe]Dawa Ususe

Di negeri ini menjadi manusia sabar, dawa ususe, rupanya memang harus menjadi syarat utama ketika berhadapan dengan pelayanan untuk publik. Satu hal lagi yang mestinya menjadi syarat lain agar tidak gampang galau atau bahkan stres adalah pasrah dan menerima apa pun kebijakan yang telah ditetapkan.

Nah, termasuk UU Tapera ini. Meskipun UU ini akan diterapkan pada 2018 mendatang, mestinya semua pihak sudah mulai kritis sejak sekarang. Jangan sampai setelah UU Tapera itu efektif baru ribut, geger genjik, berkeluh kesah.

Saya sih percaya, maksud dan tujuan diterapkannya asuransi kesehatan lewat BPJS serta diundangkannya Tapera itu baik, tapi mbok ya dipertimbangkan lebih matang dampak-dampak yang kemungkinan timbul. Bukan yang penting jalan dulu, kalau pun ada dampak yang nanti muncul ya diatasi belakangan… kalau begitu ya wis kasep.

Contoh paling mudah, misalnya, di UU Tapera ini tidak ada satu ayat pun yang menyebut bahwa iuran hanya ditarik bagi mereka yang belum mempunyai rumah sehingga para karyawan yang telah memiliki rumah boleh tidak ikut dipotong 2,5% gajinya dan bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lain.

Pada Bab I ayat (3) UU Tapera jelas disebutkan peserta Tapera yang selanjutnya disebut ”peserta” adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU ini dan telah membayar simpanan.

Nah, siapa ”peserta” itu? Mereka adalah pekerja. Siapa itu pekerja? Di ayat (4) dijelaskan pekerja adalah setiap warga negara Indonesia yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain dalam hubungan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan umum itu dipertegas di Pasal 7 tentang Kepesertaan Tapera. Disebutkan di ayat (1) bahwa peserta Tapera adalah setiap warga negara Indonesia yang bekerja dalam hubungan kerja atau yang bekerja mandiri wajib menjadi peserta Tapera. Tidak ada penjelasan bahwa mereka yang sudah mempunyai rumah tidak terkena kewajiban ini.

Pasal itu bermakna pula bahwa meskipun pekerja telah mempunyai rumah pribadi, ya akan tetap dipotong gajinya 2,5% untuk Tapera. Lha, dimana letak keadilannya? Di mana bentuk asas demokrasinya? Untuk apa seorang pekerja ikut menabung untuk rumah padahal dia telah memiliki rumah.

Jika hal tersebut dijawab bahwa ini bagian dari asas kegotongroyongan, yang tidak sependapat jangan dianggap dia kurang menyadari pentingnya makna kegotongroyongan. Banyak hal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ini yang dijalani bangsa Indonesia ini dengan cara bergotong royong.

Pertanyaannya adalah di mana peran negara dalam persoalan perumahan ini? Ketersediaan sandang, pangan, dan papan sebenarnya menjadi tanggung jawab terbesar negara, dalam hal ini tentu saja pemerintah. Mestinya pemerintah ikut menyubsidi kebutuhan papan bagi rakyat.

Jadi, saya kira cukup beralasan jika keputusan penetapan UU Tapera ini langsung menuai reaksi Serikat Pekerja Nasional (SPN). Mereka menolak keras pengesahan UU Tapera jika skema iuran tetap dibebankan terhadap kalangan pekerja.

Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Iwan Kusmawan mengatakan UU Tapera yang disahkan DPR tersebut seharusnya benar-benar bisa menyejahterakan rakyat. “Sudah jauh-jauh hari saya katakan boleh saja aturan tersebut disahkan, tetapi harus ada subsidi murni dari pemerintah,” kata dia kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya