SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa)

Kolom Solopos edisi Sabtu (14/5/2016), ditulis jurnalis Solopos dan peminat kajian kebudayaan, Ayu Prawitasari.

Solopos.com, SOLO — Tembok yang penuh dengan coretan di jalan-jalan protokol, bangunan cagar budaya, tempat wisata, kantor swasta, maupun kantor pemerintah adalah pemandangan jamak yang kita temui di Kota Solo. Begitu banyaknya coretan di ruang-ruang publik membuat warga kota ini maupun pendatang mungkin jadi abai dan menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Pemaknaan wajar atas tindakan-tindakan menyimpang ini diperparah dengan ketidaktegasan penegakan regulasi terhadap pelaku corat-coret di tembok. Makin parah lagi saat pemegang otoritas di kota (eksekutif maupun legislatif) abai terhadap fungsi dan substansi regulasi yang umurnya lebih dari seperempat abad, yaitu Peraturan Daerah (Perda) No. 29/1981 tentang Kebersihan dan Keindahan Kota.

Dalam perda itu disebutkan sanksi bagi pelaku corat-coret di tempat umum adalah hukuman enam bulan penjara atau denda Rp50.000. Pengabaian demi pengabaian ini mengingatkan saya pada the broken window theory yang dipopulerkan Malcolm Gladwell dalam The Tipping Point (dikutip dari Exploiting Chaos karya Jeremy Gutsche, diterjemahkan Sugianto Yusuf, PT Gramedia Pustaka Utama, 2010).

Ekspedisi Mudik 2024

Teori jendela pecah ini menjelaskan pengabaian dan pembiaran terhadap kekacauan dan tindak pidana ringan memicu lebih banyak kekacuan dan tindak pidana ringan lainnya. Kees Keizer dalam artikel berjudul The Spreading of Disorder (2008) menyebut (berdasarkan hasil penelitiannya) saat ada uang US$10 di kotak surat, sebanyak 13% responden mengambil uang itu (di kotak surat tanpa graffiti) dan 27% mengambil di kotak surat  dengan graffiti.

Hasil yang sama muncul saat ia menaruh selebaran di setang sepeda. Sebanyak 33% responden membuang sembarangan di lingkungan yang temboknya bersih sementara 69% responden membuang sembarangan di lingkungan yang temboknya penuh coretan.

Jumlah kejahatan ringan ini berkorelasi terhadap kejahatan berat yakni angka kriminalitas di New York yang semakin berkurang saat Wali Kota New York, Rudolph Giuliani, pada 1980 lalu memborgol dan mendenda warga yang ngemplang tiket kereta bawah tanah, menyapu bersih jalan kota, dan mengecat setiap hari tembok yang dicoret-coret warga.

Graffiti atau coretan di tembok biasa dikategorikan masyarakat sebagai aksi vandalisme. Sejatinya menurut Arnold P. Goldstein dalam buku The Psychology of Vandalism, ada beragam jenis vandalisme, mulai dari aksi corat-coret (graffiti), memotong (cutting) tanaman, merusak (destroying), mengambil (taking), dan lainnya.

Fenomena ini mulai marak pada 1960-an. Vandalisme menurut Goldstein adalah sikap agresif terhadap orang maupun bangunan yang menggambarkan ketidakpuasan. Umumnya vandal adalah kaum remaja yang merefleksikan poorly management skills (kemampuan manajemen yang minim) di kalangan tersebut.

Di Solo, khususnya, banyak vandal dari kalangan remaja (siswa SMP dan SMA dan yang sederajat). Data ini adalah hasil pemantauan aparat Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat (Satpol PP & Linmas) Kota solo.

Dari beberapa jenis aksi vandalisme ini, Pemerintah Kota Solo paling kewalahan menghadapi aksi membuat graffiti yang menyasar ruang-ruang publik. Dari sejumlah operasi tangkap tangan, pelaku yang semuanya siswa sekolah ini hanya mendapat peringatan dengan didampingi orang tua serta guru sekolah.

Sayangnya, penyelesaikan dengan pemberian peringatan yang terbukti tak efektif ini justru dipertahankan dari tahun ke tahun. Akibatnya, bukannya hilang, aksi vandalisme kini kian marak. Kita bisa melihat sejumlah bangunan dan taman yang baru dibangun tak luput dari sasaran aksi vandalisme.

Tembok yang halus kini penuh dengan kata umpatan, kritik kepada pemerintah, nama orang-orang yang disayangi, nama orang yang dibenci, hingga identitas kelompok (bahasa khusus kelompok minoritas) vandal. [Baca selanjutnya: Pendidikan]Pendidikan

Apa dan di mana sebenarnya akar permasalahan ini? Apakah pemberian peringatan, rencana penerapan sanksi tindak pidana ringan, hingga penyediaan tanggul Bengawan Solo untuk coret-coret merupakan solusi yang tepat? Sesederhana itukah persoalan vandalisme?

Winarno Surakhmad dalam buku Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi yang diterbitkan PT Kompas Media Nusantara, 2009, menjelaskan pendidikan seharusnya merupakan bagian dari pemerintah, bukan alat pemerintah. Dengan demikian pendidikan ikut andil dalam membangun manusia dan budaya.

Pendidikan yang bersifat pasif dan reaktif terhadap perkembangan zaman sesungguhnya mengerdilkan peradaban. Menurut Winarno, pendidikan harus menggunakan paradigma kebaruan yang visioner. Pendidikan harus mengandung program-program kehidupan agar anak-anak mampu bertahan hidup dan membaur dalam dunia yang tak seragam.

Ada empat pilar pendidikan yang harus ditegakkan para pendidik, pemerintah, maupun masyarakat. Empat pilar itu, menurut United Nastiones Educational and Scientific Cultural Organization (UNESCO) adalah learning to know (tahu), to do (berbuat), to be (menjadi seseorang), dan to live together (hidup bersama).

Menjadi sesat pikir apabila pemerintah dan masyarakat hanya menganggap vandalisme sebagai kenakalan remaja. Ini sama saja kita mengikuti jalan pikiran anak-anak tersebut (teori penyangkalan yang disuarakan sosiolog Travis Hirschi) bahwa perkelahian antarkelompok merupakan masalah pribadi atau pencurian sesungguhnya hanya peminjaman yang sifatnya sementara.

Pendidikan karakter merupakan tugas utama semua elemen negeri ini dalam membimbing generasi penerus. Aksi vandalisme merupakan gambaran betapa solidaritas sosial dan rasa kepemilikan anak-anak tersebut terhadap kota ini sangat rendah. Apakah ini salah mereka? Tidak sepenuhnya.

Ini salah kita semua yang kurang merangkul mereka dalam kehidupan budaya yang informal. Kota yang ramah dan menyenangkan hanya bisa terwujud apabila pemerintah memerhatikan rencana legal formal serta kebutuhan masyarakat agar siap menjadi being urban.

Inti pendidikan bukan hanya yang bersifat mekanistis dan terukur (matematika, fisika, biologi). Pendidikan ekstrakurikuler yang mampu merangsang minat dan tempat anak-anak mencurahkan isi hati serta pikiran juga harus dipikirkan secara serius. Life serving education, salah satunya dengan mengirim anak-anak ke perdesaan atau ke rumah warga, untuk tujuan observasi patut digalakkan untuk pengembangan karakter mereka.

Yang tidak kalah penting, sebagaimana disebut James M. Hens dalam Essentials of Sociology yang diterjemahkan Sunarto, Penerbit Erlangga, 2007, pendidik maupun orang tua harus memerhatikan betul pilihan keanggotaan anak-anak (asosiasi diferensial) dalam berinteraksi dengan lingkungan mereka.

Pengendalian luar yang terdiri atas keluarga, teman, dan polisi harus diperkuat. Semakin dekat pertalian kita dengan masyarakat, semakin efektif pula pengendalian diri kita. Praktik pelabelan di dunia pendidikan yang sampai saat ini belum hilang (contoh: SMP pinggiran, SMA artis, SMA berprestasi, anak nakal, anak patuh, anak bodoh) juga sepatutnya tak dipertahankan.

Segregasi di dunia pendidikan akan mendorong timbulnya kelompok yang senang melanggar aturan dan kelompok konformitas (patuh pada aturan). Inovasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Bapermas PPPA dan KB) yang membentuk pendidik sebaya patut diacungi jembol.



Pendidik sebaya ini diharapkan bisa berbaur dengan rekan-rekan mereka (dari latar belakang ekonomi, sosial, budaya yang berbeda) untuk berbagi pengetahuan dan pendapat. Tentu saja transfer ilmu-ilmu kehidupan itu harus didampingi orang tua didukung ruang-ruang berdialog yang strategis.

Pertanyaan lain yang muncul adalah siapa yang menyediakan ruang dialog ini? Menurut saya, ini menjadi tugas pemerintah, komunitas-komunitas warga kota, dan tenaga pendidik pada khususnya. Pemerintah harus menyadari bahwa aksi corat-coret adalah suara ketidakpuasan warga kota terhadap lingkungan mereka.

Perlu ada ruang khusus untuk mereka agar bebas membuat graffiti sembari berkeluh-kesah maupun bermimpi. Tujuan mereka mencorat-coret tembok adalah pemenuhan hasrat eksistensial. Ruang yang representatif (yang bisa dilihat dan dinikmati warga kota) menjadi syarat wajib.

Di ruang itu pula anak-anak bisa berkumpul dan berdiskusi tentang Tulus, Isyana Sarasvati, Jokowi, hingga Taylor Swift secara gratis. Ya, ruang yang gratis, bukan ruang berbayar produk budaya kapitalis seperti supermaket dan mal.

Remaja adalah fase kehidupan yang unik. Kehidupan fase ini umumnya melompati tiga kebutuhan dasar ala Abraham Maslow (fisiologi, rasa aman, dan kasih sayang) karena telah disediakan orang tua masing-masing.

Justru dua kebutuhan di puncak piramida (penghargaan dan aktulisasi diri) yang begitu menggebu-gebu dengan dukungan energi yang luar biasa. Menjadi tanggung jawab kita bersama mengarahkan energi luar biasa itu menjadi energi positif supaya mereka bisa menjadi seseorang (to be) dan hidup bersama di masyarakat lokal, nasional, bahkan internasional (to live together).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya