SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom, Senin (14/9/2015), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Pada akhir 2011 hingga awal 2012 saya berkesempatan membuat reportase mendalam ihwal sastra Jawa, sastrawan Jawa, dan pencinta sastra Jawa. Hasil reportase itu saya beri judul Eskapisme Sastra Jawa Melawan Globalisasi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Reportase ini saya kerjakan sebagai bagian dari pelatihan memahami karakteristik dan cara kerja ”agen-agen” globalisasi yang sebagian berdampak negatif terhadap kebudayaan lokal. Pelatihan ini difasilitasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Saya secara spesifik mengidentifikasi dan menalaah kerja ”agen-agen” globalisasi yang berdampak melemahkan sekaligus menguatkan sastra Jawa. Salah seorang mentor yang membekali teori mengidentifikasi dan membaca ”agen-agen” globalisasi sebelum saya mengerjakan reportase itu adalah B. Herry Priyono, Ph.D., seorang peneliti, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, dan aktif di World Social Forum (WSF).

Ekspedisi Mudik 2024

Pada Jumat (11/9/2015) malam lalu saya teringat dengan hasil reportase saya itu saat saat menerima kabar ”Begawan Sastra Jawa” Suparto Brata meninggal dunia. Kabar itu kali pertama saya baca di akun Facebook Bonari Nabonenar, Sekretaris Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ).

Saya kemudian menelepon Bonari dan mendapat penjelasan Mbah Parto—begitu sapaan akrab Suparto Brata di kalangan komunitas sastra Jawa– meninggal dunia Jumat malam pekan lalu sekitar pukul 21.45 WIB. Ia meninggal di rumahnya di Surabaya dalam usia 83 tahun.

Mbah Parto dan keluarganya tinggal di Jl. Rungkut Asri III/12, Rungkut Lor,  Surabaya. Dia sosok yang mengabdikan hidupnya untuk menghidupi sastra Jawa. Sejak muda hingga meninggal, dia konsisten berkarya di jagat sastra Jawa.

Mbah Parto juga dikenal sebagai novelis berbahasa Indonesia. Beberapa novelnya yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa diterbitkan ulang beberapa kali. Salah satu novel berbahasa Indonesia dengan latar cerita Solo dan sekitarnya adalah Tak Ada Nasi Lain yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Novel ini pernah dibedah di Balai Soedjatmoko Solo.

Suparto Brata lahir di Surabaya, Jawa Timur, 27 Februari 1932. Ketika saya beberapa kali bertemu Mbah Parto, dia selalu ”membanggakan” tanggal lahirnya itu karena, menurut dia, sama dengan tangga lahir Marlyn Monroe. Kali terakhir saya bertemu Mbah Parto adalah di Kongres Kebudayaan Jawa di Hotel Lorin Solo, 10-13 November 2014 lalu.

Sebelum itu saya beberapa kali bertemu Mbah Parto, antara lain di Solo, di Surabaya, dan di Bojonegoro. Perjumpaan intensif saya dengan Mbah Parto ya lewat novel berbahasa Jawa dan crita cekak (cerkak) karyanya yang diterbitkan dalam bentuk buku.

Komitmennya berkarya di dunia literer atau tulis menulis, dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, membuat namanya tercantum dalam buku Five Thousand Personalities of the World, Sixth Edition, 1998, terbitan American Biographical Institute.

Mbah Parto pernah menerima Hadiah Sastra Rancage untuk dua novel berbahasa Jawa, yaitu Trem (kumpulan cerpen yang terbit pada 2001) dan Donyane Wong Culika (roman yang terbit pada 2005). Dua novel ini jadi koleksi perpustakaan pribadi saya dan beberapa kali saya baca ulang.

Hadiah Sastra Rancage merupakan penghargaan tertinggi untuk mereka yang berjasa mengembangkan bahasa dan sastra daerah, termasuk sastra Jawa. Hadiah ini diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikan budayawan Ajip Rosidi.

Pada 2007, Mbah Parto dinobatkan sebagai salah satu penulis terbaik Asia Tenggara lewat novel Saksi Mata. Penghargaan ini diberikan oleh Kerajaan Thailand. Mbah Parto juga pernah menerima South East Asia (SEA)Write Awards. Penghargaan inilah yang membawanya kembali ke Thailand menghadiri perayaan The Bangkok World Book Capital 2013, peringatan ke-35 program The SEA Write Award.

Mbah Parto adalah sosok teladan bagi sastrawan Jawa dan pencinta sastra Jawa. Mbah Parto memang berkarya sastra dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dunia sastra Jawa kehilangan salah satu tokoh panutan, panutan dalam hal konsistensi menghidupi sastra Jawa. [Baca: Buku]

 

Buku
Ingatan saya langsung tertuju pada kalimat singkat yang pernah dikemukakan Mbah Parto ketika saya mewawancarainya di Surabaya, di sela-sela acara Kongres Bahasa Jawa V di Hotel J.W. Marriot, Surabaya, 27-30 November 2011.

”Sastra itu buku,” kata Mbah Parto kala itu. Kalimat singkat ini yang saya pakai sebagai kutipan pembuka naskah hasil reportase saya ihwal globalisasi dan sastra Jawa. Kalimat singkat itu sesungguhnya menjadi kredo Mbah Parto dalam lakunya puluhan tahun menghidupi sastra Jawa.

Dalam setiap forum, resmi maupun tak resmi, yang membahas sastra Jawa, Mbah Parto selalu menekankan pentingnya mendokumentasikan semua karya sastra Jawa dalam bentuk buku. Sebisa mungkin, semua sastrawan Jawa atau penulis karya sastra Jawa mendokumentasikan karya mereka dalam bentuk buku.

Buku yang dimaksud Mbah Parto dalam pemaknaan saya adalah buku komersial maupun nonkomersial. Persoalan mendasar bagi jagat sastra Jawa adalah kesulitan mengomersialkan buku-buku sastra Jawa. Mbah Parto memang ”golongan” berbeda di antara sekian banyak sastrawan Jawa. Buku-buku Mbah Parto sebagian berhasil masuk jaringan toko buku besar di negeri ini.

Dari sisi inilah saya memaknai seruan Mbah Parto, bahwa sastra itu buku, memanifestasi dalam kegiatan beberapa komunitas sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang berswadaya mendokumentasikan karya-karya mereka dalam bentuk buku.

Komunitas Pawon Sastra Solo adalah salah satunya. Di komunitas ini ada beberapa orang penekun sastra Jawa yang menghasilkan cerkak, geguritan (puisi), dan esai-esai berbahasa Jawa. Sebagian terbit di media cetak seperti Jagad Jawa Solopos dan Panjebar Semangat.

Naskah-naskah sastra Jawa yang terbit di media cetak dan yang tidak kemudian dihimpun menjadi buku yang diterbitkan secara swadaya. Buku-buku itu diedarkan di interal komunitas dan di jaringan antarkomunitas penekun sastra, termasuk sastra Jawa. Sebagian dibagikan gratis, sebagian dijual seharga ongkos cetak.

Di wilayah lainnya di Jawa Tengah dan di Jawa Timur serta Daerah Istimewa Yogyakarta juga hidup komunitas penekun sastra Jawa. Mereka berhimpun dalam komunitas, seperti Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS)—Mbah Parto pernah menjadi ketuanya, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY), Sanggar Sastra Triwida di Trenggalek, dan beberapa komunitas lainnya.



Komunitas-komunitas ini hampir tiap tahun menerbitkan buku-buku sastra Jawa—novel, antologi cerkak, antologi geguritan, kumpulan esai—yang kemudian dijual menggunakan jaringan antarkomunitas. Saya beberapa kali membeli buku-buku sastra Jawa terbitan komunitas-komunitas itu secara online atau melalui beberapa kawan yang intensif berkomunikasi dengan komunitas-komunitas tersebut.

Komunitas-komunitas inilah yang secara tak langsung berusaha menghidupi sastra Jawa dan mendokumentasikan karya-karya sastra Jawa dalam bentuk buku. Tiga tahun belakangan ini, dalam pengamatan saya, intensitas penerbitan buku-buku itu kian sering. Kualitas fisik buku-buku yang diterbitkan setara dengan buku-buku yang dipajang di toko-toko buku, tetapi sebagian besar buku-buku sastra Jawa ini  memang tak bisa ditemukan di toko-toko buku.

Inilah tantangan besar sekaligus jadi pukulan besar bagi jagat sastra Jawa. Buku-buku sastra Jawa di kalangan penerbit dianggap tak laku. Toko-toko buku juga enggan memajangnya karena dianggap tak laku. Ketika saya mengingat hasil reportase mendalam ihwal sastra Jawa dan globalisasi itu memang mengemuka dua hal yang seakan-akan bertentangan tapi ternyata menjadi “daya hidup” sastra Jawa.

Karya-karya sastra Jawa dianggap tak punya nilai komersial, susah mencari buku-buku karya sastra Jawa di toko-toko buku. Kedua, pada saat menghadapi realitas yang pertama itu ternyata komunitas-komunitas penekun sastra Jawa terus-menerus menghasilkan karya, kaderisasi berjalan tanpa henti, buku-buku selalu mereka hasilkan. Tentu untuk mendapatkan buku-buku karya sastra Jawa termutakhir hanya bisa di komunitas dan jaringannya.

Sastra adalah buku sebagaimana dimaksud Mbah Parto kini sesungguhnya terwujud dengan teknik ”gerilya”. Pekerjaan besar sekarang adalah memasyarakatkan buku-buku karya sastra Jawa itu agar kembali menjadi bagian kehidupan pabrayan agung wong Jawa.

Menurut Mbah Parto, sekolahan sebenarnya jadi simpul strategis untuk kembali menghidupkan jagat literer sastra Jawa. Persoalannya, berapa unit sekolah yang kini punya koleksi buku-buku sastra Jawa, baik buku-buku sastra Jawa lama maupun yang termutakhir?

Pelajaran bahasa Jawa di sekolahan, menurut Mbah Parto saat jadi pembicara dalam sebuah diskusi di Balai Soedjatmoko Solo beberapa waktu lalu, tak dilengkapi dengan perangkat untuk menumbuhkan budaya literer. Bacaan berbahasa Jawa sangat sedikit. Minat membaca karya sastra Jawa sangat minim.

Kepergian Mbah Parto ke alam kalanggengan meninggalkan semangat ”sastra adalah buku” yang kini harus diwujudkan ke arah menanam, membangun, dan mengembangkan budaya membaca karya sastra Jawa. Tanpa laku ini, kekayaan bahasa Jawa yang tak cuma kosakata tetapi juga kekayaan filosofi hidup dan kehidupan yang terkandung dalam bahasa Jawa menghadapi ancaman serius.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya