SOLOPOS.COM - Susidarto (IST)

Susidarto (IST)

Para calon debitur kredit bank boleh berharap dan tersenyum lega. Pasalnya, Bank Indonesia (BI)  sudah menurunkan suku bunga induk (BI-rate) hingga level 5,75% (terendah sejak pemberlakuan suku bunga induk). Fenomena ini memberikan sinyal positif penurunan suku bunga dana dan kredit. Dengan demikian, penurunan bunga dana dan kredit adalah sebuah keniscayaan.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Harus diakui, bunga kredit memang sudah mulai turun. Besarannya bervariasi, mulai dari 11% hingga 14%.  Bahkan untuk kredit consumer dalam bentuk KPR, bunganya mulai menguncup ke arah single digit. Ada beberapa bank yang menerapkan KPR hingga 8% untuk fiks tiga tahun. Bunga kredit komersial memang belum turun signifikan. Namun, ruang penurunan itu jelas sangat terbuka luas.

Banyak Faktor

Penentuan bunga kredit (lending rate), pada dasarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari bunga dana bank  (funding rate). Keduanya saling mengait erat, bagaikan dua sisi mata uang. Suku bunga kredit tidak akan turun signifikan, kalau tidak diawali dengan penurunan suku bunga dana. Sayangnya, hingga BI-rate mencapai 5,75% (di awal Februari), suku bunga dana bank-bank (rata-rata) masih bertengger pada kisaran suku bunga penjaminan, yakni 6,5%.

Bahkan untuk dana-dana kakap, bank masih menawarkan suku bunga hingga di atas 8%. Dalam konteks ini, bank masih tersandera nasabah kakap.

Kendati secara kuantitas (jumlah nasabah), rekening kakap semacam ini tidak banyak, secara kualitatif (nominal dana), rekening semacam ini menempati hampir separuh portfolio pendanaan bank. Tak aneh, kalau dipukul rata, maka cost of fund (biaya dana) bank-bank di Indonesia masih cukup tinggi, yakni di atas penjaminan LPS. Bank-bank akhirnya menjadi tersandera dan didikte baik oleh deposan kakap maupun oleh instrumen investasi alternatif yang mengitarinya. Para pemilik dana ini akhirnya bisa meminta bankir untuk ”bertekut lutut” memenuhi permintaan suku bunga tinggi.

Situasinya bertambah runyam manakala bank-bank tetap berupaya memperoleh keuntungannya dengan cara mempertahankan net interest margin (NIM) tinggi. Ada beberapa bank BUMN yang memiliki NIM antara 8% hingga 11%, yang moderate antara 5% hingga 6% dan yang realistik berkisar 5%. Kalau seandainya cost of fund (biaya dana) rata-rata bank sudah mencapai 6,5% dengan NIM sekitar 5%, maka akan keluar suku bunga (kredit) yang cukup rendah, yakni sekitar 11,5%. Suku bunga kredit sebesar inilah yang sebenarnya sangat ditunggu-tunggu para pelaku dunia usaha (bisnis). Tidak seperti suku bunga yang masih berlaku sekarang ini di atas 12%.

Hal lain yang menghambat penurunan bunga bank adalah banyaknya instrumen investasi lain, yang selama ini secara ”diam-diam” menjadi kompetitor deposito bank. Keluarnya produk surat utang negara (SUN), Sukuk, Obligasi Negara Ritel (ORI hingga seri-008), reksadana terporteksi, serta obligasi korporasi (swasta), menjadikan semakin beragamnya instrument investasi lain. Jangan anggap enteng. Berbagai instrumen tersebut pada dasarnya menawarkan return (bunga) yang menjanjikan. Bisa-bisa mencapai di atas 7%. Itulah sebabnya, bank-bank (termasuk papan atas sekalipun) tidak mau kecolongan dengan pesaingnya. Akhirnya, bunga deposito sulit untuk turun.

Inilah yang disebut efek dari crowding out, dimana pemerintah berupaya mati-matian untuk menutup berbagai pengeluarannya (spending) dengan cara menyerap dana dari para investor (yang sekaligus deposan bank). Fenomena yang terjadi kemudian adalah beringsut/bermigrasinya dana-dana masyarakat dari deposito ke berbagai instrumen investasi lain, yang menjanjikan keuntungan besar dan aman.

Bankirpun berupaya membendung keluarnya dana masyarakat ini dengan iming-iming suku bunga deposito tinggi. Inilah awal dari sulitnya menurunkan suku bunga deposito bank belakangan ini.

Jadi, untuk menurunkan suku bunga kredit, tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan banyak pihak. Begitu banyaknya faktor yang perlu bersinergi untuk menurunkan bunga kredit. Kendati demikian, tidak ada salahnya, momentum sekarang ini (dimana banyak dana-dana masuk dari luar negeri/hot money) yang berdampak pada bergairahnya harga-harga saham (IHSG), digunakan sebagai momentum untuk menurunkan suku bunga bank. Terlebih di tengah-tengah tingkat inflasi tahunan yang hanya 4%, semestinya akan memacu perbankan untuk segera menurunkan suku bunga dana dan gilirannya berdampak pada penurunan bunga kredit.

Trend rendahnya tingkat infasi dan juga penurunan BI-rate hingga ke level 5,75%, setidaknya harus dipergunakan perbankan untuk segera menurunkan suku bunganya. Kalau perlu beberapa bank papan atas (baik bank BUMN maupun swasta), bersepakat untuk memulai menurunkan suku bunganya secara serempak. Semestinya, mereka jangan mau didikte dan dikendalikan oleh nasabah, namun para bankirlah yang semestinya mengendalikan para nasabah. Di pundak pada market maker inilah, terletak kekuatan untuk mempengaruhi pasar, terutama untuk segera menurunkan suku bunga (kredit) bank.

 Oleh: Susidarto

Pemerhati masalah sosial ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya