SOLOPOS.COM - Muhammad Milkhan milkopolo@rocketmail.com Alumnus Program Studi Muamalah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surakarta Bergiat di Bilik Literasi Solo

Muhammad Milkhan milkopolo@rocketmail.com Alumnus Program Studi Muamalah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surakarta Bergiat di Bilik Literasi Solo

Muhammad Milkhan
milkopolo@rocketmail.com
Alumnus Program Studi Muamalah
Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri
Surakarta
Bergiat di Bilik Literasi Solo

Monyet memakai topeng bayi manusia, beratraksi menaiki miniatur sepeda onthel atau sepeda motor. Lincah, gesit, tangkas, dan tak malas. Ada juga monyet yang berjalan menenteng tas belanjaan, seperti ibu-ibu yang sibuk bergegas ke pasar membeli segala keperluan untuk menu makan keluarga.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Monyet memakai payung, melindungi diri dari terik matahari dan hujan, padahal monyet itu binatang yang biasa hidup terguyur hujan dan terbakar terik matahari di rimba belantara. Tentu masih banyak atraksi lainnya yang bisa dimainkan monyet dalam lakon topeng monyet yang akrab dengan kita.

Lakon-lakon yang dipilih begitu akrab dengan kehidupan kita setiap hari. Berbelanja, menaiki sepeda onthel atau sepeda motor, memakai payung, memainkan egrang (permainan tradisional), dan lain sebagainya. Mata kita memandang dengan takjub. Seekor monyet mampu menjalankan tugas layaknya manusia?

Ekspedisi Mudik 2024

Jerih payah yang perlu kita hargai dengan beberapa uang recehan. Mereka juga perlu waktu untuk berlatih memainkan peran itu, perlu makan, kita ikhlas memberikan recehan itu. Tapi sayang, monyet-monyet yang lincah gesit, tangkas, dan tak malas itu akan segera menghuni lembar-lembar sejarah dalam ingatan kita.

Setelah dilarang di Jakarta, kini giliran Pemerintah Kota Solo tak memperkenankan monyet mencari nafkah di kota ini. Dalih bahwa atraksi topeng monyet adalah bentuk eksploitasi terhadap binatang saya pikir terlalu berlebihan. Jika memang itu merupakan bentuk eksploitasi, tentu perlu juga pembubaran semua kebun binatang di seluruh Indonesia.

Binatang harus hidup di habitatnya, di hutan belantara, bukan di taman pelatihan atau kebun binatang. Apa bedanya dengan jeruji-jeruji besi di kebun binatang yang menjadi penghalang kebebasan binatang untuk bergerak lebih leluasa memilih tempat hidup mereka?

Tapi, di mana akan kita temui hutan yang nyaman dan aman bagi binatang di abad XXI yang penuh dengan manusia-manusia serakah ini? Bukankah monyet juga perlu mempertahankan hidup dengan mencari nafkah? Sedangkan hidupnya tentu akan lebih terancam oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab apabila dibiarkan hidup di alam liar.

Tempat yang kita tinggali ini entah berapa ribu tahun yang lalu adalah hutan belantara, tempat tinggal nenek moyang monyet yang kini bertopeng itu. Lalu kita tumbuh dan berkembang biak, membentuk koloni-koloni, mencipta ruang untuk hidup, membangun segala apa yang bisa dibangun, membabat pohon, ranting, dan dahan tempat monyet-monyet itu dulu hidup dan berkembang biak.

Monyet-monyet itu terusir dari rumah mereka sendiri, menghuni sisa-sisa sudut sempit belantara yang semakin menciut. Tapi, manusia bertambah hari keserakahannya semakin menjadi-jadi, sudut sempit itu pun akhirnya dirampas juga demi membangun sebuah tatanan peradaban yang modern.

Manusia menggantinya dengan hutan-hutan kota, hutan yang hanya dijadikan simbol pencitraan penguasa, hutan yang tak berpenghuni, keseimbangan yang timpang dalam hutan, sebab monyet-monyet atau hewan-hewan lain tak diperkenankan hidup di situ.

Hutan kota tak sebanding dengan deru polusi asap kendaraan bermotor yang berjubel memenuhi kota. Hutan kota hanya jadi monumen peringatan untuk kita menjaga kenangan bahwa pada mulanya semua hanyalah belantara.

Setelah itu, penguasa merasa risi dengan migrasi monyet ke kota. Mungkin penguasa-penguasa itu takut jika dibiarkan terlalu lama monyet akan berkembang biak, dan semakin lama jika terus dibiarkan jangan-jangan kelak mereka akan mengusir manusia dari kota, merobohkan setiap gedung pencakar langit yang menjadi simbol kota, kemudian diganti pohon-pohon yang rindang agar kembali menjadi belantara.

Ah, mungkin ini ketakutan yang terlalu berlebihan dari penguasa. Atau mungkin penguasa-penguasa itu merasa risi karena monyet selalu bertopeng? Topeng yang sering digunakan monyet-monyet itu mungkin mengingatkan para penguasa terhadap polah tingkah mereka setiap hari, mengingatkan penguasa akan jati diri mereka yang selalu bertopeng.

 

Penguasa Tak Acuh

Para penguasa menebar senyum penuh wibawa di setiap baliho, mengumbar janji manis, menyatakan diri sebagai manusia terhormat dan patut menjabat sebagai penguasa, mengucapkan sumpah setia jabatan, berjanji untuk tak mengingkari amanat rakyat. Tapi, semua itu hanya topeng.

Ketika penguasa-penguasa itu melihat atraksi topeng monyet, mereka ingat akan janji mereka, sedangkan kini mereka di kubangan kekuasaan yang penuh dengan gelimang harta hasil kongkalikong. Mereka marah. Mereka memutuskan mengusir monyet yang bertopeng, sebab topeng itu hanya membuat penguasa teringat akan sumpah jabatan yang mereka ucapkan saat pelantikan dulu.

Untuk lebih menenteramkan batin ketika berbuat culas setiap hari, setiap topeng harus diberangus, termasuk topeng monyet. Mungkin. Kalau memang ini masalahnya, yang dilakukan tentu bukan melarang atraksi topeng monyet, namun cukup mengganti nama atraksinya. Mungkin cukup menggunakan istilah ”atraksi monyet”, tanpa menggunakan kata ”topeng”.

Tapi, ah, tuduhan ini mungkin juga agaknya terlalu berlebihan. Di harian Solopos edisi 1 November 2013 ada berita Pemerintah Kota Solo mengikuti langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menertibkan seniman topeng monyet. Alasannya, selain eksploitasi hewan, adalah atraksi topeng monyet sering kali mengganggu pengguna jalan. Sesungguhnya, menurut saya, ini alasan yang aneh.

Atraksi [topeng monyet] itu hanya hiburan, seperti pemain sirkus keliling yang mempertontonkan kebolehan beratraksi. Kalau suka silakan datang menonton sirkus, kalau tidak suka ya sudah tidak usah menonton. Tidak lantas ketika kita tidak suka dengan pertunjukan sirkus maka kita mengharamkan dan melarang pertunjukan sirkus untuk diadakan di mana pun.

Lalu, sekali lagi, bentuk eksploitasi yang dituduhkan kepada seniman topeng monyet terhadap monyet mereka, menurut saya, masih terlalu minim referensi. Kita mudah melarang seniman topeng monyet mengeksploitasi monyet mereka untuk bekerja sama mencari nafkah, untuk bertahan hidup, baik untuk seniman itu sendiri maupun untuk si monyet.

Tapi, penguasa-penguasa itu tak acuh terhadap bentuk eksploitasi lain yang terjadi di tengah kota, misalnya eksploitasi manusia dalam bentuk pemerasan tenaga buruh pabrik yang menerima gaji jauh di bawah upah minimum berdasar kebutuhan hidup layak.

Tak ada tindakan tegas yang dilakukan penguasa untuk segera membuat peringatan keras kepada para pemilik modal yang mengeksploitasi tenaga kerja dengan memberi sedikit upah, tapi menuntut tenaga buruh secara berlebihan. Tragis.



Pelarangan eksploitasi monyet mungkin cukup dengan membuat peraturan pelarangan atraksi topeng monyet di kota-kota. Beranikah penguasa membuat peraturan pelarangan izin usaha bagi pemilik modal yang masih tetap bersikukuh menerapkan sistem outsourcing dan memberi gaji jauh di bawah standar upah minimum berdasar kebutuhan hidup layak?

Bisa kita tebak, mereka pasti tidak berani. Mengurusi monyet mungkin lebih mudah daripada mengurusi manusia. Monyet tak bisa berteriak, tak bisa berdemonstrasi. Tapi, manusia punya mulut, pikiran, dan juga nurani untuk selalu memprotes setiap ketidakadilan. Mungkin begitu.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya