SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mulyanto Utomo, wartawan SOLOPOS

Kata maaf, harus saya sampaikan di awal tulisan ini. Soalnya sulit sekali mencari padanan kata makian khas arek Suroboyo “jancuk”. Kata jancuk yang berasal dari Jawa Timur itu, suka atau tidak suka kini memang sudah merambah ke berbagai wilayah termasuk Solo, Yogya, bahkan Bandung serta Jakarta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kata jancuk kian mengindonesia tatkala Sudjiwo Tedjo mantan wartawan, yang juga dalang, seniman dan budayawan terkenal itu mempopulerkan makian khas suroboyoan tersebut. Dia bahkan kemudian menobatkan dirinya sebagai Presiden Jancuker atas eksistensi Republik Jancuker.

Kata jancuk memang kemudian berkembang tak cuma sekadar menjadi makian sebuah kekagetan atau kemarahan tetapi kini telah menjadi sebuah cara mengungkapkan sesuatu yang bersifat superlatif. Satria Permana, seorang blogger dalam catatannya menulis bahwa kata jancuk ghalibnya seperti ”fucking” atau ”bloody” yang diikuti dengan kata lain, untuk menegaskan adanya sesuatu yang lebih dari kata tersebut.

Karenanya, saya dan teman-teman di komunitas wedangan News Café mahfum sambil tergelak ketika Raden Mas Suloyo tiba-tiba berujar…”Jancuk sekali keputusan hakim ini!”

“Lhah ada apa to Denmas, kok tiba-tiba misuhi keputusan hakim jancuk,” komentar Mas Wartonegoro, saat mengetahui karibnya itu misuh.

“Ini lho Mas, hakim kita itu kok ya masih saja tidak mempunyai hati nurani. Masak dalam memutuskan sebuah kebenaran demi sebuah keadilan mereka memakai kaca mata kuda, hanya menggunakan rasio, tekstual. Hakim tidak memakai pertimbangan-pertimbangan nurani yang bersifat nyata di masyarakat,” papar Denmas Suloyo.

Denmas Suloyo rupanya sedang membicarakan berita di sebuah koran tentang keputusan seorang hakim Pengadilan Negeri Solo yang memutuskan memenangkan sebuah lembaga koperasi atas dasar permohonan pinjaman yang diajukan oleh seseorang yang telah meninggal dunia 10 tahun sebelumnya. “Apa ini namanya tidak jancuk,” tegas Denmas Suloyo lagi.

Kasus itu, seperti tertulis dalam berita berawal ketika Yuliani seorang ibu rumah tangga beralamat di Gondang, Banjarsari mengadukan koperasi Bintang Jaya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Solo lantaran koperasi itu dianggap telah menggelembungkan nilai kredit yang diajukannya secara sepihak.

Semula Yuliani mengajukan kredit Rp1,5 juta, 24 Juli 2012 lalu dengan batas waktu setahun. Nilai kredit itu secara autentik tertera dalam surat perjanjian. Koperasi meminta jaminan sertifikat tanah. Yuliani melunasi kredit empat bulan setelah mengajukan kredit dengan harapan bisa mengambil jaminan yang telah dijaminkan.

Namun, pimpinan koperasi mengatakan Yuliani tidak dapat mengambil jaminan karena dianggap belum melunasi kredit. Menurut pimpinan koperasi, nilai kredit yang diajukan Yuliani Rp7,5 juta. Anehnya, pihak koperasi juga mempunyai surat perjanjian dengan nominal Rp7,5 juta. Dalam surat perjanjian itu diketahui pihak yang mengajukan kredit adalah Sri Sukarni. Sri Sukarni adalah ibunda Yuliani yang telah meninggal dunia pada tahun 1999. Itupun disertai dengan bukti layon dan surat kematian yang dikeluarkan kelurahan.

BPSK Solo mengabulkan permohonan Yuliani, namun Koperasi Bintang Jaya keberatan dan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Solo. Aneh bin ajaib, hakim PN Solo akhirnya justru memenangkan pihak koperasi dengan landasan keputusan salah satunya adalah mengakui yang mengajukan kredit adalah Sukarni dan bukan Yuliani. “Lha orang sudah lebih dari sepuluh tahun meninggal kok ya diakui mengajukan pinjaman… njuk sing tanda tangan sopooo? Jiaan jancuk tenan ki,” tambah Denmas Suloyo tak habis pikir.

Ya, begitulah. Saya pun akhirnya ikut-ikutan bilang, jancuk. Sebagai orang yang awam tentang hukum, saya selalu meakini bahwa hukum positif sesungguhnya bukan segala-galanya jika sudah berbicara tentang rasa keadilan masyarakat. Apalagi kasus koperasi Bintang Jaya itu bukan hanya satu persitiwa yang dialami Yuliani, namun jumlahnya belasan orang yang menjadi korban.

Empat kasus bahkan sudah diputus oleh BPSK Solo dengan kemenangan pada pihak konsumen yang jika diteliti secara cermat, fakta-fakta menunjukkan terjadinya penyimpangan yang dilakukan koperasi ini. Bukan hanya masalah ini menimpa rakyat kecil yang terzalimi, namun ini sudah menyangkut rasa keadilan masyarakat dan kebenaran hukum.

Instansi pemerintah paling berwenang dalam membina Koperasi Bintang Jaya ini, Dinas Koperasi dan UMKM Solo melalui Kabid Koperasi Didik Adi Putranto di media massa mengakui bahwa Manajer Koperasi Bintang Jaya telah melakukan penggelembungan pinjaman anggota dan calon anggota. “Sehingga banyak anggota dan calon anggota yang dirugikan. Dan manajer koperasi tersebut telah melarikan diri. Dan pinjaman yang digelembungkan ini totalnya mencapai Rp 3,5 miliar,” ujar Didik.

Jadi, sekali lagi saya masih terus berharap agar para penegak hukum di negeri ini secara terus menerus mengasah diri tentang apa itu rasa keadilan. Saya sangat sependapat dengan kawan saya seorang akademisi hukum yang mengatakan bahwa putusan hakim memang harus mendasarkan kepada fakta hukum yang dijadikan bukti di pengadilan.

Dengan demikian, hakim harus memperhatikan semua bukti yang diajukan oleh para pihak secara adil dan seimbang. Inilah yang disebut sebagai rasionalitas. Bila kemudian hakim menghadapi bukti-bukti yang saling bertolak belakang antara yang diajukan pengadu dan teradu, maka kemudian bukan hanya rasionalitas yang bicara namun hati nurani harus ikut berbicara. Sebab hati nuranilah yang paling pasti memberikan rasa keadilan.

Saya selalu ingat dengan teori hukum progresif yang dikemukakan salah seorang begawan hukum Indonesia, Pro Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal (Rahardjo, 2004).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya