SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Senin (30/7) lewat tengah hari saya menunggu di ruang komputer di sebuah sekolah negeri yang ditunjuk untuk penyelenggaraan uji kompetensi guru (UKG). Rekan guru terdahulu yang tergabung dalam giliran pagi, lewat pesan pendek menyebut soal yang diujikan dengan ungkapan, ”waduuuh, sulit bener ….he he sulit login-nya.”

Hanya berbekal undangan yang diterima kurang dari tiga hari saat ujian, betapa heroiknya para guru menuju tempat-tempat ujian, meskipun kalang kabut mengatur pelajaran dan meninggalkan murid di kelas. Untuk menyambung jaringan komputer saja gagal, wal hasil membuang waktu tanpa hasil.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pak Mendikbud berulang kali menyatakan bahwa hasil UKG ini tidak menjadi alasan penghentian tunjangan profesi guru bagi yang telah menerimanya. Berulang kali pula Pak Menteri atau pejabat di bawahnya menyebut UKG sebagai sarana memetakan mutu guru di seluruh negara. Dalam kegeraman pikiran, saya sebagai guru ingin berbaku-jawab dengan Pak Menteri. ”Pak Menteri, yang ditakuti guru bukan tunjangan dihentikan atau terus. Saya hanya marah dengan bentuk-bentuk memperlakukan guru secara coba-coba seperti ini. Bukankah guru-guru sudah diuji lewat proses sertifikasi, yang tidak lulus lewat uji portofolio lantas harus mengikuti program pendidikan dan latihan atau diklat. Lantas ada berbagai model sertifikasi. Bukankah UKG ini berarti menyangsikan sendiri proses sertifikasi itu? Ketika guru-guru lulus pun, tunjangan tak kunjung diberikan, bahkan karut-marut penerimaannya hingga kini.”

Ingin saya teruskan, ”Pak Menteri, bukankah lewat uji sertifikasi sudah diperoleh data untuk pemetaan mutu guru? Bukankah pemetaan itu sudah cukup? Yang ditunggu oleh para guru justru eksekusi yang konkret dan merata untuk mengembangkan profesionalitas guru. Ujian tidak akan meningkatkan mutu guru, yang meningkatkan mutu tentunya pembekalan secara ajeg untuk semua guru. Hanya menagih dan menagih lewat berbagai ujian, tetapi tidak pernah dididik, ya tak kunjung membaik. Pola pikir menagih hasil tanpa mau menanam, tidak pula memupuk, bahkan enggan memelihara tananam inilah yang dilakukan kementerian pendidikan. Setelah memberikan tunjangan profesi untuk sebagian guru, ada-ada saja cara-cara untuk merecoki tugas guru dengan berbagai kewajiban yang seolah-olah tidak rela menyejahterakan guru. Sejumlah contoh, mengatur kewajiban mengajar 24 jam per minggu, berulang kali mengumpulkan berkas-berkas untuk syarat pencairan tunjangan, sampai membayarkan tunjangan sekali tiga atau enam bulan, yang semestinya tiap bulan.”

”Saya tidak tertarik membincangkan jaringan komputer yang tidak lancar. Betapa menempuh ujian secara on-line ini sebentuk ketidakmampuan membaca konteks para guru di negeri ini? Ini menguji kompetensi atau ujian keterampilan menggunakan komputer? Komputer, on-line, atau manual tertulis itu hanyalah sarana. Sarana atau pilihan cara bisa dipilih yang paling mendukung pencapaian tujuan yakni perolehan potret kompetensi guru. Yeah, betapa cepat pemerintah menyuruh guru untuk melaksanakan program yang tidak terencana secara matang, tetapi sebaliknya begitu lambat untuk memberikan hak para guru. Hak untuk mendapatkan fasilitas pengembangan diri, ataupun fasilitas kesejahteraan. Saya sebagai guru sudah capek untuk coba-coba, Pak Menteri. Terimakasih.” * * *

St Kartono 

Guru SMA di Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya