SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa)

Kolom kali ini, Sabtu (9/4/2016), ditulis jurnalis Solopos Ayu Prawitasari.

Solopos.com, SOLO — Gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Team White Pylox (TWP) mengecat (melingkari) lubang-lubang jalan di Solo dan sekitarnya menjadi headline Solopos edisi Jumat (8/4). Gerakan ini tergolong unik karena pengorganisasian, cara kerja, tujuan, maupun cara pandang mereka layak disebut baru.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Selama ini gerakan sebuah komunitas yang diberitakan dalam media massa mainstream kebanyakan adalah gerakan sosial, tanggapan atas sebuah peristiwa (baik lokal, regional, maupun nasional), hobi, dan sejenisnya.

Publikasi gerakan kritik atas kinerja pemerintah dan kondisi kota biasanya setelah kritik itu disalurkan dalam aksi damai dan demonstrasi yang melibatkan banyak orang dalam satu waktu. Para anggota Team White Pylox adalah anggota grup Facebook Info Cegatan Solo dan Sekitarnya (ICS).

Berawal dari pertemuan anggota grup yang rasan-rasan mengenai jalan berlubang di Solo, mereka akhirnya menggagas lahirnya TWP. Tujuan mereka sederhana, mengingatkan pengguna jalan agar lebih berhati-hati saat melintas di jalan berlubang yang ditandai cat putih.

Para anggota TWP tak ingin kecelakaan yang mengakibatkan warga luka-luka atau meninggal dunia terjadi. Dari sudut pandang ilmu komunikasi, coretan cat putih di jalan ini sejatinya mengungkap berbagai macam problem kota yang dan masyarakat yang letih.

Coretan itu tak sekadar goresan tanpa makna. Ferdinand de Saussure menjelaskan media komunikasi ada banyak ragamnya. Gambar, pakaian, sepatu, bangunan termasuk media komunikasi. Dari sisi penanda (signifiant-signifier) coretan ini mengandung petanda (signifie-signified) tentang kritik, protes, ketidakpuasan warga kota terhadap infrastruktur kota, termasuk respons pemerintah (pemerintah kota, pemerintah provinsi, pemerintah pusat) yang lamban dalam memelihara aset publik.

Petanda merupakan konsep yang menjadi konsensus di masyarakat. TWP yang merupakan bagian dari masyarakat sepakat jalan berlubang berisiko terhadap keselamatan manusia sehingga mereka memberi tanda khusus di jalan yang rusak agar pengguna jalan lebih hati-hati.

Seperti halnya warga yang lain, mereka tidak puas, terganggu, dan dirugikan oleh jalan berlubang hingga muncul gerakan kritik terhadap pemerintah dalam bentuk cat putih. Penanda dan petanda merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan seperti halnya sisi mata uang.

”Bahasa” coretan cat apabila dikaji dari sudut pandang Roland Barthes mengungkap pemaknaan di lapisan kedua yang jauh lebih kompleks tentang esensi gerakan ini. Dalam teorinya tentang semiotika, Barthes membagi pemaknaan menjadi dua, yakni denotasi dan konotasi.

Denotasi merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang sifatnya eksplisit (kritik, tidak puas, jengkel, marah). Di tataran pemaknaan konotasi, coretan ini sesungguhnya menggambarkan tentang dimensi yang lebih luas, seperti buruknya infrastruktur perkotaan, aglomerasi yang memunculkan disparitas terhadap wilayah tertentu, pembangunan minim visi, hingga ketimpangan modal masyarakat modern.

Kota Solo merupakan kota industri dan jasa yang ditopang daerah satelit atau kawasan hinterland (Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, dan lainnya). Lengkapnya fasilitas hidup di kota plus beragamnya lapangan kerja membuat warga sekitar berbondong-bondong mencari nafkah hingga hidup di kota ini.

Di lahan seluas 44 kilometer persegi itu 500.000 orang lebih tinggal. Jumlah tersebut, menurut Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menjadi dua kali lipat saat siang hari lantaran warga sekitar memenuhi Solo untuk mencari penghidupan.

Mengacu data Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) 2015, terdapat 292.270 kendaraan di Solo dengan perincian 234.342 unit roda dua dan 40.545 unit mobil pribadi.

Jumlah itu, berdasarkan pantauan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Solo, bertambah menjadi empat kali lipat saat pagi hari atau sekitar dua juta unit kendaraan. Pertumbuhan kepemilikan kendaraan sebesar 7,5% per tahun.

Kondisi kota yang penuh sesak dengan manusia dan kendaraan tidak diimbangi penambahan luas kota. Ruas jalan juga tidak bertambah sehingga problem macet dan jalan rusak menjadi konsekuensi yang tak bisa dihindari. [Baca selanjutnya: Birokrat Harus Berbenah]Birokrat Harus Berbenah

Seperti yang diatur dalam UU No. 22/2004, jalan dikelompokkan menjadi beberapa golongan. Pertama, menurut fungsinya, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan. Kedua, menurut administrasi pemerintahan, yaitu jalan nasional, provinsi, kota, kabupaten, desa. Ketiga, ketiga berdasarkan muatannya, yaitu jalamn kelas I, II, IIIA, IIIB, dan IIIC.

Detail klasifikasi jalan menggambarkan kompleksnya fungsi jalan bagi pembangunan dan kehidupan masyarakat, khususnya dari sisi ekonomi dan sosial. Masifnya pembangunan di sektor industri dan jasa membuat lahan publik makin lama makin berkurang.

Hak-hak warga menjadi kian terbatas, termasuk jalan yang sangat mereka andalkan untuk berkegiatan ekonomi. Para anggota TWP adalah pengguna jalan yang setiap hari merasa tidak nyaman, resah, waswas, dan takut dengan risiko kecelakaan yang ditimbulkan jalan berlubang.

Keresahan itu mencapai puncaknya saat salah seorang anggota mereka—perempuan yang sedang hamil–keguguran akibat jatuh di jalan rusak. Berbeda dengan kehidupan di perdesaan yang didominasi kehidupan agraris dengan karakter gotong royong dan kerja sama, karakter hidup di perkotaan adalah persaingan dan agresivitas yang tinggi.

Kehidupan sosial masyarakat kota terhubung pada kelompok-kelompok komunitas, alih-alih dengan tetangga, keluarga, atau kerabat yang berbeda kepentingan. Komunitas lebih diandalkan dalam kehidupan perkotaan lantaran menjadi wadah para anggota merasakan rasa senasip sepenanggungan hingga sharing pengalamanan sekaligus mencari solusi.

Ruang-ruang  publik yang serbaterbatas menjadi andalan masyarakat urban bertemu. Warung angkringan sederhana yang mereka pilih sebagai tempat berkumpul kemudian menjadi penegas di kelompok sosial mana para anggota TWP berada.

Pilihan tempat bertemu (warung dengan makanan berharga murah) menggambarkan banyak hal tentang kondisi ekonomi, pekerjaan, hingga akses mereka pada kebutuhan dasar. Di warung angkringan ini anggota TWP memperjuangkan kelompok mereka supaya bisa hidup lebih nyaman dan layak di kota.

Tentu saja dengan cara-cara dan gerakan yang mereka pahami dan mereka mampu. Ridwan Kamil dalam bukunya, Mengubah Dunia Bareng-Bareng, menjelaskan perkembangan dan peradaban kota dibentuk dari komunitas-komunitas yang peduli terhadap tempat tinggal mereka.



Mereka berdiskusi di kafe dan di ruang publik tentang kondisi serta problematika kota. Di Paris, diskusi di kafe ini membidani lahirnya karya seni tradisi dan modern (hal. 98). Kota boleh saja kehilangan bentuk-bentuk kehidupan kerja sama yang diikat hubungan batiniah dan alamiah seperti di desa yang agraris (hubungan gemeinschaft atau patembayan, menurut Ferdinand Tonnies).

Karakter kota yang dinamis sering kali menciptakan suasana persaingan dan agresivitas hingga menimbulkan berbagai ekses negatif seperti kriminalitas dan vandalisme. TWP menjadi angin segar bahwa hubungan bersama dengan ikatan lahir, dengan struktur mekanik, bersifat pikiran, dan kepentingan (gesellschaft) bisa menciptakan hubungan yang positif selama ada ruang-ruang publik seperti angkringan untuk tempat berdiskusi atau berkeluh kesah.

Apabila makin banyak komunitas  yang peduli pada kota mereka, kehidupan yang lebih nyaman dan lebih layak bukan mustahil akan tercipta. Pemerintah harus memerhatikan esensi gerakan ini yang menggambarkan bagaimana kinerja mereka.

Jangan melihat gerakan ini sebatas di permukan. Kritik dari TWP menjadi tolak ukur ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah. birokrat sebagai pelayanan masyarakat harus segera berbenah. Respons dan stimulus yang tepat bisa menciptakan kota yang hidup, berbudaya, dan beradab. Sikap antikritik (eksekutif maupun legislatif) hanya akan mematikan napas peradaban dalam bentuk penyeragaman warga yang nirkreativitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya