SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom Solopos, Senin (15/6/2015), ditulis wartawan Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Paradoks bisa jadi masalah di kehidupan yang selalu diwarnai logika dan tingkah serbalinier. Paradoks bisa menjadi metode untuk menganalisis permasalahan atau fenomena yang kita hadapi sehingga menghasilkan solusi yang konkret dan jitu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Zeno dari Elea (490 SM-430 SM) terkenal sebagai filsuf pemikiran eleatik Yunani. Ia terkenal karena argumen yang logis, ketat, dan berdaya menghancurkan yang digunakan untuk menunjukkan absurditas dan kontradiksi dari lawan-lawannya.

Zeno membicarakan empat paradoks terkait gerak, diam, waktu, dan ruang yang selama berabad-abad membingungkan para filsuf dan ahli matematika.

Empat paradoks Zeno berhasil dibikin terang benderang oleh para ahli matematika pada abad XVII. Bayangkan, berapa lama paradoks-paradoks itu membikin manusia kebingungan?

Salah satu paradoks yang saya sukai adalah ihwal pelari cepat bernama Archilles dan kura-kura. Archilles yang dikenal sebagai pelari cepat tak mungkin mengejar seekor kura-kura. Kita tahu kura-kura itu lamban sekali saat berjalan.

Archilles—menurut paradoks Zeno—takkan mungkin menyusul kura-kura yang telah berjalan mendahului pada jarak tertentu. Argumentasinya, saat Archilles mencapai titik awal perjalanan kura-kura, si kura-kura telah berjalan maju menempuh jarak tertentu.

Ketika Archilles mengejar sampai titik jangkauan kedua, kura-kura telah maju lagi. Demikian seterusnya hingga kura-kura itu selalu berada di depan Archilles. Pelari cepat ini tak akan dapat mengejar dan mendahului kura-kura karena urutan perhitungannya tidak berhingga dan tidak punya batas akhir.

Ini tentu bertentangan dengan pengalaman indrawi. Kesulitan yang muncul adalah pada keadaan ruang dan waktu yang dipandang dapat dibagi-bagi sampai tak berhingga. Ketakberhinggaan ini yang menjadi ”persoalan utama”.

Paradoks Zeno terselesaikan ketika ahli-ahli matematika menciptakan pengertian limit sampai yang tak terhingga. Penjelasan sederhana ihwal ini bisa Anda baca di buku ”sederhana” Filsafat Matematika karya Didi Haryono, terbitan Alfabeta, Bandung, 2014.

Suatu rangkaian bilangan yang sangat banyak hingga menjurus titik tertentu disebut proses konvergensi. Nah, berdasarkan konsep-konsep matematika yang baru ini semua paradoks yang dikemukakan Zeno menjadi bisa dipecahkan secara rasional (logis).

Melalui ilmu kalkulus para ahli matematika belajar menjumlahkan irisan-irisan kecil yang jumlahnya mendekati tak berhingga itu. Perjalanan kura-kura dan Archilles yang berlari masing-masing terbagi dalam irisan-irisan ruang dan waktu yang tak berhingga. Jumlah yang tak berhingga ini ketika diintegralkan ternyata jumlahnya terbatas (finite).

Deret konvergen atau proses konvergensi membantu menjelaskan yang ”tak masuk akal itu”. Untuk menganalisis masalah sehari-hari yang terbatas (finite) bisa menggunakan metode tak berhingga (infinite). Seiring kemajuan ilmu matematika, konsep ketakberhinggaan dalam berhingga (infinity in finity) sangat mudah dicerna jika kita mampu memahaminya. [Baca: KPK]

 

KPK
Kini kita resah karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kita yakini bersama sebagai ”panglima besar” perang melawan korupsi sedang kelelahan, lemas, kehilangan banyak ”darah”.

Hari-hari ini kita menghadapi korupsi dan koruptor yang berlomba laksana dalam paradoks Zeno. Sebenarnya korupsi dan koruptor berjalan lambat, selangkah demi selangkah. Sementara KPK sebagai pengganti Archilles berlari cepat untuk mengejar koruptor dan memberantas korupsi.

Faktanya, KPK justru ”kalah”, kelelahan, lemas, kehilangan banyak darah. Sementara koruptor dan korupsi tetap melaju walau pelan-pelan, melaju dengan pasti. Apakah ini masuk akal?

Tentu hampir semua warga bangsa ini—kecuali koruptor dan kroni-kroninya—sepakat KPK tak seharusnya ”kalah” melawan koruptor dan korupsi. Dalam kerangka paradoks Zeno, aktivitas KPK yang demikian cepat, trengginas, dan tegas ternyata seperti pelari cepat Archilles yang mengejar kura-kura sebagai simbol korupsi dan koruptor.

KPK selalu bergerak cepat, trengginas, dan tegas, tapi nyatanya kalak telak saat koruptor dan kroni-kroninya melawan. Aktivitas KPK memberantas korupsi bisa diibaratkan irisan-irisan kecil gerak, waktu, dan ruang yang jumlahnya mendekati tak berhingga.

Pada saat bersamaan, korupsi dan koruptor juga melakukan gerakan dalam konteks waktu dan ruang yang juga bisa diibaratkan irisan-irisan kecil yang jumlahnya mendekati tak berhingga.

Ketika kita meyakini gerak KPK dan gerak koruptor/perkembangan korupsi sebagai ”kebenaran” paradoks Zeno, tentu KPK tak mungkin menang, dan belakangan ini kondisi KPK memang kalah telak.

Yang dibutuhkan sekarang adalah fungsi integral untuk membuat paradoks KPK dan koruptor itu berada dalam status ”berjumlah terbatas” (finite).

Keputusan Presiden Joko Widodo membentuk panitia seleksi pemimpin KPK yang semuanya perempuan dan berlatar belakang kemampuan dan aktivitas beragam menumbuhkan harapan penguatan kembali KPK. Ini bisa kita maknai sebagai langkah melogiskan paradoks KPK dan koruptor.

Paradoks KPK dan koruptor akan menjadi logis dan menemukan solusi konkret dan jitu ketika kerangka berpikirnya adalah ”deret konvergen”. Deret konvergen jika dijumlahkan sampai suku yang tak hingga ternyata jumlahnya masih bisa ditentukan (jumlahnya masih berhingga).

Dengan kerangka berpikir integral kita akan menemukan apa permasalahan yang memunculkan paradoks KPK dan koruptor, tak lain dan tak bukan adalah hukum yang amburadul, politisasi hukum, dan permainan yang menggadaikan nurani.

Kita berharap panitia seleksi pimpinan KPK menemukan sosok-sosok yang baik dan berkemampuan untuk mengembalikan muruah KPK yang sejauh ini masih kita percaya sebagai satu-satunya ”panglima” pemberantasan korupsi. [Baca: Angeline]

 

Angeline
Kisah tragis Angeline, bocah berumur delapan tahun di Bali, yang meninggal secara mengenaskan dan dikubur di tanah di bawah kandang ayam di rumah tempat dia tinggal bersama orang tua dan saudara angkatnya juga paradoks yang butuh ”diintegralkan”.

Angeline dan keluarga orang tua angkatnya itu tinggal di kawasan permukiman baru di Bali. Di permukiman demikian ini, sebagaimana bisa kita saksikan di sekitar kita di kawasan Soloraya ini, biasanya antartetangga selalu rikuh untuk sekadar saling bertegur sapa.

Kini banyak kompleks perumahan baru atau satu unit rumah baru yang dijaga anggota satuan pengamanan (satpam). Eksistensi rumah atau perumahan yang demikian ini sejak awal sudah disertai ”bangunan” batas-batas sosial dan budaya.

Jamaknya menjadi sulit melebur ke dalam nilai-nilai sosial budaya yang hidup, berkembang, dan jadi pegangan warga asli di kawasan itu. Di kawasan perdesaan yang masih memegang teguh nilai-nilai sosial dan kemanusiaan warisan nenek moyang kita—dalam semesta pembicaraan di Soloraya berarti nilai-nilai sosial kejawaan—kisah tragis Angeline pasti bisa dicegah.

Di kawasan demikian ini keributan atau keanehan yang terjadi di sebuah rumah tangga akan memunculkan kepedulian sosial. Kepedulian sosial inilah yang menjadi pemantau dan sekaligus penjamin eksistensi kebaikan yang memang seharusnya dilembagakan dalam sebuah rumah tangga.

Dalam realitas sekarang bisa kita maknai kemunculan permukiman baru atau rumah baru sebagai gejala pertumbuhan kelompok sosial baru yang bisa diibaratkan irisan-irisan kecil gerak, diam, waktu, dan ruang yang jumlahnya mendekati tak berhingga.



Di lain pihak eksistensi nilai-nilai sosial yang melembaga jauh lebih lama di area tempat munculnya permukiman baru itu juga bisa diibaratkan irisan-irisan kecil gerak, diam, waktu, dan ruang yang jumlahnya mendekati tak berhingga.

Dalam kerangka paradoks Zeno, dua fenomena ini tak bisa bertemu dalam sebuah fungsi integral yang menghasilkan kondisi finite. Angeline bisa jadi bertumbuh dan kemudian berakhir dalam kondisi demikian.

Lingkungan di luar rumah tempat Angeline tumbuh menganggap ”tak berkepentingan”. Ini paradoks. Kita bisa memaknai ini dari guru-guru di sekolah Angeline yang tak berusaha keras menjalin komunikasi dengan orang tua angkat Angeline, padahal kondisi Angeline saat di sekolah beberapa kali menunjukkan keharusan guru berkomunikasi dengan orang tua angkatnya.

Paradoks ini akan selesai bila kita mengintegralkan nilai-nilai sosial sebagai basis menjalani hidup. Di mana langit dijunjung, di situlah bumi dipijak. Bila kredo ini dimaknai secara bersama-sama, bangunan sosial akan menjadi pengukuh segala kebaikan.

Pengasuhan anak bagi banyak orang dimaknai sebagai urusan privat. Dalam pemahaman demikian muncul ewuh pekewuh untuk campur tangan saat melihat anak dalam pengasuhan tertentu ternyata menderita. Ini paradoks. Ketika hal demikian diyakini, Angeline menunjukkan dampaknya.

Keselamatan anak harus dimaknai sebagai urusan semua orang dewasa yang berada di sekitar anak itu. Orang-orang dewasa itu harus menganggap anak sebagai adik atau anak yang harus dilindungi dan dijamin keselamatannya. Ini fungsi integralnya.

Realitas KPK kekinian dan kisah Angeline hanyalah sebagian sangat kecil dari paradoks-paradoks yang kian marak di sekitar kita. Paradoks harus ”diselesaikan” demi mencegah terjadinya ”yang tidak masuk akal”.  KPK kalah adalah tidak masuk akal. Angeline menjadi korban kebrutalan orang-orang dewasa yang terdekat dengannya adalah tidak masuk akal.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya