SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (IStimewa)

Kolom kali ini ditulis Ichwan Prasetyo. Penulis adalah jurnalis Solopos.

Solopos.com, SOLO — Frasa ”ora weruh” yang saya maksud adalah judul buku setebal 403+XXI halaman yang diterbitkan Jagad Abjad Solo. Buku ini menghimpun 146 esai karya pegiat Komunitas Bilik Literasi yang berbasis di kawasan Colomadu, Karanganyar. Judul lengkapnya adalah Ora Weruh Tulisan dan Tulisan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Saya membeli buku itu tiga bulan lalu. Sebenarnya saya bisa mendapatkan buku itu dengan gratis karena saya mengenal baik “tokoh-tokoh” komunitas penekun budaya literer itu.

Saya memilih membeli sebagai wujud komitmen saya menghargai laku nguri-uri budaya literer. Membeli juga saya yakini sebagai wujud menghargai sebuah proses literer.

Buku ini adalah dokumen perjalanan nguri-uri budaya literer yang dilakukan sekumpulan pemuda dan pemudi, mayoritas mahasiswa. Sebagian adalah pekerja swasta, dan sebagian kecil memang beraktivitas penuh di dunia literer, menulis, menulis, dan menulis.

Cikal bakal buku ini adalah buletin sederhana, Buletin Ora Weruh, yang terbit perdana pada Maret 2012. Buletin yang diterbitkan secara swadaya oleh seluruh anggota komunitas itu dan dibagikan gratis kepada siapa saja yang ingin membaca adalah dokumentasi atas aktivitas literer.

Buletin itu menjadi semacam perayaan eksistensi diri di dunia literer. Menulis, menulis, dan menulis—yang tentu disertai aktivitas membaca—yang menghasilkan esai-esai yang didokumentasikan dalam bentuk buletin tiap sebulan sekali.

Laku berbudaya literer itu menghasilkan esai-esai pendek yang—sebagian besar bernas—dengan tema sangat beragam, tergantung minat penulisnya atau tema yang disepakati bersama dalam satu periode “belajar bersama” membaca dan menulis.

Sebagian esai itu dikirim ke media massa. Sebagian kecil dimuat di media massa nasional maupun media massa lokal di berbagai daerah di negeri ini. Sebagian lagi hanya menjadi dokumentasi aktivitas literer. Semua itu kemudian dihimpun dalam buku sederhana namun cukup tebal dengan judul Ora Weruh Tulisan dan Tulisan itu.

Yang menarik perhatian saya dari buku berformat sederhana berkertas murahan ini adalah laku di baliknya. Saya sering melihat langsung aktivitas menekuni budaya literer yang dilakukan para penulis esai yang dihimpun dalam buku itu.

Ada militansi, ada kepedulian yang sangat dalam, ada komitmen yang sangat kuat, dan ada pengorbanan yang tak pernah dihitung demi melestarikan budaya literer. Term melestarikan ini dalam tataran praksis bermakna membiasakan diri dalam laku menulis dan membaca sekaligus mengampanyekan kehendak untuk selalu menulis dan membaca kepada khalayak di luar komunitas tersebut.

Beberapa kali di komunitas ini saya ketemu sejumlah mahasiswa dari Jakarta, Semarang, Makassar, Madura, Kediri, dan dari beberapa daerah lainnya yang datang ke komunitas ini untuk ”belajar” membaca dan menulis.

Mereka datang dengan biaya swadaya, tinggal di Bilik Literasi selama dua atau tiga pekan, makan dan minum seadanya dengan biaya sendiri, dan hari-hari di sana diisi dengan diskusi, membaca, dan menulis. Sebagian karya mereka ada di buku Ora Weruh tersebut.

Laku komunitas seperti ini, dalam keyakinan saya, menjadi salah satu penopang peradaban negeri ini. Saya yakin di daerah lain ada komunitas seperti Bilik Literasi ini yang konsisten nguri-uri budaya literer secara swadaya.

Anda takkan menemukan buku Ora Weruh ini di toko buku karena memang tak diperjualbelikan secara komersial. Buku ini hanya bisa Anda dapatkan dari orang-orang yang aktif di komunitas literer yang berbasis di Colomadu ini.

Antitesis Budaya Instan
Laku berbudaya literer adalah anitesis terhadap budaya instan. Sastrawan Budi Darma (Kompas, 12 April 2015) menyatakan tingkat pencapaian budaya literer suatu bangsa akan memengaruhi kemajuan bangsa itu sendiri.

Menurut Budi Darma, dunia literer memang dunia pemikiran yang selalu didatangi orang-orang yang serius. Gerakan-gerakan dalam berbagai bidang tidak pernah dimulai oleh massa, tetapi selalu diawali oleh para pemikirnya.

Relevan dengan hal ini, saya berkeyakinan kian intensifnya paradoks-paradoks dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini adalah buah dari melemahnya budaya literer dan menguatnya budaya instan.

Hidup orang berbudaya literer terlengkapi dengan kehendak untuk selalu berpikir panjang sebelum berbuat dan berkata-kata. Budaya literer bukan budaya yang bersifat ”given” sebagaimana budaya audio dan visual.

Budaya visual, terutama, jelas budaya yang sifatnya ”given”. Pembudayaannya tak perlu latihan karena kemampuan melihat dan mendengar adalah bekal asasi setiap manusia. Budaya literer tidak bersifat demikian karena butuh laku untuk menjadikannya sebagai budaya.

Orang berbudaya literer pasti telah melewati proses permenungan, penghayatan, pengembaraan imajinasi, dan pemberdayaan akal serta nurani. Ini meniscayakan dia menjadi manusia yang mengedepankan laku, bukan mengedepankan hasil yang pada era kini bisa diperoleh dengan cara instan, serbacepat.

Budaya literer meniscayakan berpikir kritis. Berpikir kritis mengharuskan dialog antara logika dan perasaan. Suara nurani terlibat aktif menjadi kerangka berdialog. Manusia terbekali saat penciptaan oleh Tuhan dengan nurani yang bersih dan selalu cenderung pada kebenaran.

Budaya literer akan menjaga fitrah nurani yang selalu condong pada kebenaran ini. Saya meyakini budaya literer yang memanifestasi dalam setiap pribadi manusia akan menjaganya dari perilaku korup, manipulatif, mementingkan diri sendiri. Bila kita bangsa berbudaya literer, niscaya takkan ada praktik pendidikan yang memosisikan para siswa sebatas sebagai objek dan sasaran uji coba sistem pendidikan.

Saya berharap komunitas semacam Bilik Literasi ini terus membiak di senatero negeri tercinta kita ini. Merekalah penjaga nurani bangsa melalui laku berbudaya literer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya