SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa)

Kolom kali ini, Rabu (6/4/2016), ditulis jurnalis Solopos Syifaul Arifin.

Solopos.com, SOLO — Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjadi tempat mengadu Suratmi, istri Siyono. Siyono ditangkap Detasemen Khusus (Dennsus) 88 Polri dalam keadaan sehat namun dikembalikan kepada keluarga dalam kondisi tak bernyawa.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Atas persetujuan keluarga dan rekomendasi Komnas HAM, tim dokter Muhammadiyah didukung dokter forensik Polri mengautopsi jenazah Siyono di Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, Minggu (3/4).

Dalam penjelasan awal, tim forensik menyebut ada luka luar akibat benda tumpul dan beberapa tulang patah (Solopos, 4/4). Hasil lengkap autopsi baru diketahui maksimal 10 hari lagi.

Versi polisi, Siyono memimpin Jemaah Islamiyah (JI) gaya baru. Saya tak hendak membahas benar tidaknya Siyono terlibat dalam jaringan terorisme sebagaimana yang disampaikan polisi.

Belakangan ini kekhawatiran dunia terhadap  terorisme meningkat. Perang melawan terorisme digalakkan di berbagai belahan dunia. Kekhawatiran sejenis juga melanda Indonesia. Bom di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2016 jadi penanda awal kasus terorisme pada tahun ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Kemudian bom di Brussels, Belgia, juga menimbulkan ketakutan global. Densus 88 adalah ujung tombak Polri dalam perang melawan terorisme. Pasukan yang memiliki lambang burung hantu itu memiliki dukungan tambahan tahun ini.

Pemerintah menyiapkan dana Rp1,9 triliun untuk pemberantasan terorisme oleh Densus 88. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut B. Pandjaitan menyebut dana itu untuk peremajaan senjata dan alat intelijen, peralatan pendukung, tambahan gaji, pelatihan, dan asrama bagi personel Densus 88.

Dengan dukungan itu semestinya Densus menjadi makin profesional dan menunjukkan kinerja cemerlang. Kasus Siyono menjadikan citra Densus jatuh. Ada dua hal yang saya soroti, yakni kekerasan di luar hukum oleh aparatur negara (polisi) dan perlawanan masyarakat sipil terhadap aksi di luar hukum yang dilakukan aparatur negara. [Baca selanjutnya: Torture]Torture

Komnas HAM mencatat kematian Siyono bukan kasus pertama terkait kinerja Densus di luar prosedur hukum. Siyono merupakan kasus ke-118 yang mewarnai perang terorisme oleh Densus 88 (Solopos, 22/3). Versi lain, Siyono korban ke-121.

Yang jelas, kasus Siyono layak dimaknai sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawai dan Merendahkan Martabat Manusia. Indonesia meratifikasi konvensi yang diputuskan Sidang Umum PBB menjadi Resolusi No. 39/46 itu melalui UU No. 5/1998.

Penyiksaan atau torture yang diatur dalam konvensi itu merujuk pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan luar biasa baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga.

Bisa juga kekerasan ini berupa ancaman untuk memaksa orang atau pihak ketiga.  Dikategorikan torture pula bentuk diskriminasi dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik. Dari pengertian itu, ada tiga unsur pokok yang terkandung dalam torture.

Pertama, timbulnya rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa. Kedua, dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik. Ketiga, untuk suatu tujuan seperti mendapat informasi, penghukuman, atau intimidasi.

Dalam penegakan hukum, torture sering dilakukan penyidik untuk mendapatkan pengakuan dari seseorang yang diduga melakukan kejahatan maupun saksi sebuah kasus. Ada seseorang dibawa ke kantor polisi dalam keadaan segar bugar, keluar dari kantor polisi dalam keadaan luka atau tewas.

Cara kekerasan diduga dilakukan aparat Densus 88 untuk mendapat pengakuan Siyono soal informasi terorisme yang dibutuhkan polisi. Kasus Siyono tergolong torture karena kekerasan itu dilakukan untuk mengorek keterangan. Kasus itu sepengetahuan atau diketahui pejabat publik, yaitu aparat Densus 88.

Selama ini Polri berkelit dan membuat alasan Siyono meninggal karena kelelahan dan terbentur saat berkelahi dengan polisi. Polisi mengklaim Siyono melawan anggota Densus 88 yang mengawalnya. Polisi hanya mengakui ada kesalahan prosedur, yaitu petugas yang mengawal Siyono cuma satu orang, seharusnya minimal dua orang.

Di samping itu, kesalahan prosedur versi polisi adalah borgol Siyono dilepas sehingga muncul perlawanan yang berujung kematian Siyono. Dalam perang melawan terorisme, terekam jejak Densus 88 sering menembak mati orang yang baru diduga teroris.

Komnas HAM menyebut ada empat aspek pelanggaran dalam penembakan atau penganiyaan terduga teroris hingga meninggal. Hal itu adalah pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, pelanggaran hak hidup, penggunaan kekerasan, dan kematian itu menutup peluang untuk mengungkap persoalan terorisme  sampai ke akar-akarnya (BBC, 16 Maret 2016).

Ada kecenderungan Densus 88 mempraktikkan torture tanpa ada yang mengawasi. Dari seratusan korban kekerasan Densus, saya belum mendapat informasi adanya penyelidikan independen yang menginvestigasi kasus itu. Ketika Mabes Polri menyatakan tindakan Densus 88 itu prosedural, kasus kekerasan tersebut menguap begitu saja. [Baca selanjutnya: Tak Dianggap]Tak Dianggap

Dalam kasus terorisme yang sering muncul adalah narasi tunggal dari Mabes Polri. Informasi mengenai kasus terorisme hanya berasal dari humas Polri. Narasi tandingan dari pihak lain cenderung tak dianggap.

Kasus kematian Siyono ini menarik. PP Muhammadiyah mengadvokasi keluarga Siyono. Muhammadiyah memilih mengautopsi jasad Siyono untuk mengetahui fakta di balik kematiannya. Saya melihat yang dilakukan Muhammadiyah  itu sebagai narasi tandingan terhadap Mabes Polri.

Selama ini, operasi Densus tak terjangkau proses hukum. Ini adalah model perlawanan namun dengan cara nonkekerasan, apalagi kasus ini menyangkut nyawa orang. Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyebut autopsi ini bertujuan mengungkap kasus itu.

“Dibawa selamat, pulang jadi mayat. Itu sebuah fakta gelap yang harus dibuka  agar terang benderang. Indonesia tak bisa urusan nyawa digelap-gelapkan, sama sekali tak bisa. Ini negara Pancasila dan rakyat ini, rakyat kita sendiri, yang membayar pajak,” demikian pernyataan Busyro dalam autopsi itu (Solopos, 3 April 2016) .

Dengan “perlawanan” itu, publik berharap ada pengendalian terhadap Densus 88. Densus harus transparan dalam operasi perang melawan terorisme. Densus bukan alat di dalam negara yang bisa melakukan apa saja tanpa tersentuh hukum.

Pakar perlawanan nonkekerasan Gene Sharp menyebut ada tiga faktor apakah kekuasaan pemerintah akan terkendali atau tidak. Ketiganya adalah keinginan warga untuk membatasi kekuasaan pemerintah, penolakan organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat untuk menyerahkan sumber-sumber kekuasaan, dan kemampuan masyarakat untuk membangkang.

Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang memiliki jutaan anggota. Lahir pada 1912, ormas itu lebih senior daripada Republik Indonesia ini. Para pemimpin Muhammadiyah dan tokoh Islam lainnya ikut mendirikan negara ini.

Muhammadiyah dan kelompok masyarakat sipil lainnya tak boleh memberikan “cek kosong” kepada penyelenggara negara, termasuk aparat penegak hukum, untuk menulis apa saja tentang narasi perang melawan terorisme.

Ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan terpelajar, hingga partai politik harus terlibat dalam pengawasan gerak aparatur negara melalui perundang-undangan, pengawasan, dan kritik.

Masyarakat sipil disadarkan bahwa narasi tunggal dalam pemberantasan terorisme oleh Densus harus diakhiri. Kasus Siyono harus dituntaskan secara transparan. Kita tidak bisa menggantungkan kepada lembaga pengawas internal Polri. Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri cenderung bias dan tak independen.

Sebenarnya ada lembaga pengawas Polri yaitu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas menerima saran dan keluhan mengenai kinerja ihwal penyalahgunaan wewenang, korupsi, pelayanan jelek, diskriminasi, dan sebagainya.

Sayang, Kompolnas yang diketuai Menko Polhukam hanya berperan saat membantu Presiden dalam pengusulan calon Kapolri. Polri mesti menyilakan pihak lain seperti Komnas HAM, LSM, dan kelompok masyarakat lain untuk menginvestigasi secara independen kematian Siyono dan kasus-kasus torture lain yang dilakukan Densus 88.

Jumlah korban aktivitas Densus sedemikian banyak, Polri perlu melakukan audit sepak terjang Densus dari mulai pendanaan hingga prosedur dan mekanisme penanganan terorisme. [Baca selanjutnya: Pengaburan Makna]Pengaburan Makna



Sikap kritis terhadap Densus 88 tidak sama dengan dukungan terhadap terorisme. Ada dua hal yang harus dipisahkan dalam konteks ini. Dorongan agar kasus Siyono dibuka bukan berarti menggerogoti perang melawan terorisme.

Advokasi Muhammadiyah dalam kasus Siyono bisa dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mengaburkan kasus terorisme sesungguhnya. Dugaan pelanggaran HAM oleh Densus dibiaskan untuk menyebut terduga teroris itu tak bersalah dan tak terkait kasus terorisme.

Kini berkembang informasi yang tak bisa diverifikasi bahwa jenazah korban Densus berbau wangi dengan raut muka bersih dan tersenyum. Kesalahan dalam penanganan terduga teroris bukan berarti menutup kasus terorisme.

Bisa jadi, orang yang jadi korban Densus memang terlibat terorisme, namun cara penanganan oleh Densus yang melanggar HAM itu yang mestinya jadi sorotan. Menghindari dampak negatif dari pembiasan ini, Muhammadiyah memainkan peran cantik.

Pengurus PP Muhammadiyah bertemu Kapolri, Senin (4/4). Mereka mendukung pemberantasan terorisme oleh Polri namun tetap kritis terhadap cara-cara yang melanggar HAM. Masyarakat sebenarnya mendukung pemberantasan terorisme.

Syaratnya, perang melawan terorisme itu berbasis penghormatan terhadap hukum dan HAM.  Cara-cara tak manusiawi dalam interogasi orang yang diduga kriminal atau teroris harus dihentikan.

Cara-cara represif itu melanggar HAM dan bisa memicu kekerasan lagi. Kalau tak dituntaskan, kasus Siyono akan menimbulkan dendam yang akan jadi bahan bakar aksi terorisme.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya