SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kehidupan hipermaterialistis rupanya sudah menghinggapi banyak bangsa di dunia, termasuk sebagian warga bangsa Indonesia. Saking gilanya terhadap materi tersebut, tidak jarang mereka melupakan segala tatanan moral, termasuk ajaran agama.

Pengaruh hipermaterialistis itu sedemikian rupa hebatnya sehingga mampu mengubah  perilaku mereka, termasuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, bahkan menjadikan sebagian orang terkadang lupa (atau melupakan) kepada Tuhan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Contoh paling nyata adalah praktik korupsi di negeri ini yang seolah-olah tiada henti, kendati berbagai lembaga antikorupsi maupun penegak cukup gencar memeranginya–meskipun tidak jarang para aparat yang seharusnya mengganyang kegiatan laknat tersebut justru ikut mempraktikkannya.

Dalam konteks umat Islam, yang menerapkan praktik tersebut, mereka tidak sadar bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik atau bahkan niat di hati mereka ketika tebersit keinginan untuk berperilaku tidak terpuji itu.

Lucunya, para koruptor ber-KTP Islam yang sebenarnya melakukan praktik tidak islami tersebut pintar berakting, sehingga tampil seolah-olah sebagai orang alim, dermawan atau tokoh panutan. Mereka itu tadi, tak jarang yang mondar-mandir ke Mekah/Madinah untuk berumrah ataupun berhaji, tanpa sedikit pun merasa takut bahwa yang dikunjungi-Nya itu adalah tempat suci atau Rumah Allah/Kota Rasul.

Tentu saja model pejabat berkorupsi tapi tetap tampil sebagai tokoh baik ini menjadi bahan pembelajaran yang tidak baik bagi warga masyarakat, khususnya mereka yang sangat awam. Akibatnya, ada sebagian orang yang beranggapan bahwa praktik bejat seperti itu menjadi sebuah kewajaran bagi pejabat publik. Benar-benar sebuah kesalahkaprahan tiada tara: kekeliruan yang dianggap sebagai kebenaran.
Kesalahkaprahan semacam itu oleh sebagian warga masyarakat dijadikan sebagai teladan. Lihat saja bagaimana pejabat rendahan dari anggota staf kantor hingga ketua RT/RW pun ikut-ikutan berkorupsi. Penjaga toko menilap atau menaikkan harga tanpa sepengetahuan pemilik. Dan banyak lagi kasus korupsi atau yang sejenisnya, yang pada intinya memperkaya diri dengan menempuh jalan pintas alias dengan cara tidak halal.

Ada kisah menyedihkan yang berkaitan dengan cara memperkaya diri secara ilegal ini dan terjadi tepat di tengah-tengah Rumah Allah. Hanya beberapa jengkal dari Kakbah nan suci, sekelompok orang–sebangsa dan setanah air kita–berpraktik sebagai joki Hajar Aswad.

Ceritanya, beberapa tahun silam ketika melaksanakan ibadah haji, saya sedang berusaha untuk mendekati dan ingin mencium Hajar Aswad, Batu Hitam di salah satu sudut Kakbah sebagai penanda start dan finis ritual tawaf (mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali) yang merupakan kegiatan pertama dari rangkaian ibadah haji maupun umrah.

Joki Hajat Aswad ini adalah beberapa orang yang akan ”berjuang” sedemikian rupa untuk ”menyeberangkan” seseorang dari arus muthawif (orang-orang yang bertawaf) yang membeludak itu, agar si anggota jemaah umrah/haji akhirnya dapat mencium Hajar Aswad. Sebenarnya, ini bukan ritual wajib, tapi sekadar ittiba’ (menirukan) Nabi Muhammad yang pernah melakukannya, tapi tidak mewajibkannya.

Waktu itu, kelompok joki tersebut mencoba membantu saya tapi gagal pada putaran pertama. Semula saya membatin kok baik benar saudara-saudara muslim ini mau berdesak-desakan membantu sesamanya. Begitu mulai putara kedua, mereka mengajak saya mencoba lagi, tapi sambil bilang bahwa nanti kalau berhasil ada ”ijazah”-nya alias ongkosnya.

 

Rahasia Umum

Begitu saya mendengar ”persyaratan” itu, tanpa ba-bi-bu, saya langsung mundur teratur. Saya tidak mau dan sangat tidak ingin kegiatan untuk ber-ittiba’ Rasulullah SAW  tersebut mengandung unsur yang saya yakini bertentangan dengan syariat Islam.
Kejadian sekitar empat tahun lalu yang saya alami itu ternyata makin menjadi-jadi, dan jumlah joki tersebut kini kian bertambah.

Saya merasakan keberadaan mereka sudah mengganggu karena setiap kali mendekati rukun (sudut) Hajar Aswad, para joki ini selalu menawari jasa kepada para mutawif Indonesia–termasuk saya–untuk dapat mendekati dan mencium Hajar Aswad.
Tidak sedikit yang ternyata terkena jerat para joki tersebut, termasuk di antaranya, sebut saja Ria, anggota jemaah umrah dari Jakarta.

Dengan dibantu lima orang, ibu tiga orang anak ini berhasil mencium Hajar Aswad, tanpa pemberitahuan sebelumnya bahwa kalau upayanya itu sukses harus membayar kepada para joki tersebut. Begitu berhasil mencium Hajar Aswad, hati pun membuncahkan kegembiraan, lalu para joki tersebut menggiring Ria ke pinggiran mathaf (pelataran tawaf).

Betapa terkejutnya dia ketika mereka minta uang jasa Rp5 juta per orang. Lalu Ria bilang blakblakan bahwa dirinya tidak memiliki uang sejumlah itu dan kelima joki tadi lalu menurunkan tawaran menjadi Rp2 juta per orang. Ria kemudian menawarkan pemberian uang jasa perjokian Rp100.000 per orang, tapi mereka kukuh tidak mau kurang dari Rp1 juta per orang.

”Demi Allah, saya tidak punya uang segitu. Kalau mau yang masing-masing saya kasih cepek,” kata Ria menegaskan dan mendengar penjelasan itu mereka langsung kabur tanpa mengambil tawaran sesuai kemampuan Ria tadi. Praktik ini sudah menjadi rahasia umum dan menjadi keprihatinan sejumlah pihak, termasuk pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di sejumlah perguruan di Arab Saudi.

Saya hanya mampu mengelus dada sendiri dan berpikir kenapa ada perilaku di antara bangsa saya yang seperti begini, mencari rezeki kok nekat dengan cara menjerat orang beribadah, di Rumah Allah lagi. Apakah mereka ini, seperti halnya para koruptor tadi, sudah tidak takut (lagi) kepada Tuhan? (djauhar@bisnis.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya