SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (28/3/2016), ditulis jurnalis Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Dalam kultur politik, ekonomi, dan sosial masyarakat Jawa, kelompok petani hampir selalu ditempatkan dalam posisi pinggiran. Mereka terstratifikasi sebagai kelompok yang subordinat di tengah belitan kaum feodal, kaum kolonial, hingga rezim pemerintahan yang menjadikan petani sebagai objek kekuasaan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dahulu, dalam pendekatan sosiologi di tengah kubangan feodalisme, petani merupakan lapisan ketiga dari masyarakat. Kelompok bangsawan–tentu saja–menempati lapisan pertama dan kaum priayi menghuni lapisan kedua. Lapisan ketiga adalah petani.

Ekspedisi Mudik 2024

Tatanan lama ini bahkan masih membagi kelompok petani dalam empat lapisan lagi. Pertama, kuli kenceng, yakni petani yang mempunyai rumah, tanah dan pekarangan. Kedua, kuli setengah kenceng, biasanya untuk menyebut petani yang mempunyai tanah atau pekarangan dan rumah.

Ketiga, kuli indung atau magersari, yakni mereka mempunyai rumah tetapi dibangun di tanah bukan milik sendiri. Keempat, kuli tlosor, golongan terbawah yang tak mempunyai tanah, rumah, dan pekarangan.

Di era kolonial, banyak petani menjadi buruh perkebunan vorstenlanden. Mereka bekerja tanpa bayaran, tanpa masa depan. Pada era Orde Baru, para buruh perkebunan tetap tak berdaya. Menurut catatan Y. Sarwono Soeprapto dkk. (2003), perkebunan di era Orde Baru masih menyisakan sistem patron-klien yang tidak memihak petani penggarap.

Petani cenderung apatis dan terima nasib. Ada pihak yang diuntungkan sistem itu. Roda perekonomian perkebunan vorstenlanden terintegrasi dengan kapitalisme global yang eksploitatif. Setelah era reformasi, petani mulai sedikit-sedikit berani memperjuangkan nasib mereka.

Mereka memperjuangkan harga gabah dan harga hasil perkebunan, tetapi mereka tak cukup punya kekuatan menghadapi determinasi kelompok bermodal dalam kancah pasar bebas yang tanpa proteksi. Dalam kancah politik, sebagian kelompok petani itu ikut-ikutan oportunis.

Mereka menjadi kemratu-ratu, mempunyai banyak permintaan jika dihadapkan pada calon penguasa yang mengharapkan dukungan politik mereka. Para pengamat menyebutnya sebagai politik transaksional. Bisa saja secara sosiologis hal itu sebenarnya cara mereka unjuk diri, sebab jarang sekali mereka bisa memperlihatkan kekuasaan mayoritas mereka dalam eskalasi politik yang legal.

Posisi petani yang selalu terpinggirkan membuat banyak keturunan petani kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi petani. Mereka lebih memilih menjadi pekerja nonformal di kota besar. Lahan pertanian di desa ditinggalkan anak muda.

Lahan subur di pinggiran kota, entah bagaimana caranya dan meski sudah dibatasi berbagai regulasi, nyatanya tetap bisa disulap menjadi permukiman. Jika situasi ini tak dikendalikan, mungkin kelak kelompok petani akan menjadi minoritas dari sisi jumlah.

Sangat mungkin hal ini terjadi sepanjang pemerintah tidak memberdayakan dan memuliakan petani. Pemerintahan Joko Widodo mempunyai pendekatan berbeda untuk memberdayakan dan memuliakan petani.

Ia melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengamankan target swasembada pangan. Ia memberi arahan agar Kepala Staf Angkatan Darad (KSAD) mengerahkan bintara pembina desa (babinsa) sebagai petugas penyuluh pertanian.

Menurut situs staf teritorial TNI-AD, arahan itu telah ditindaklanjuti dalam nota kesepakatan yang ditandatangani pada 7 Januari 2015 oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan KSAD saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo. [Baca selanjutnya: Kejahatan Harga]Kejahatan Harga

Menteri Amran juga menerapkan program serap gabah petani (sergap) dengan melibatkan tentara. Seperti diberitakan detik.com, hal itu dilakukan untuk mengawal hasil panen di tingkat petani agar sampai langsung ke Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).

”Agar tata niaga gabah petani dapat diserap oleh Bulog langsung sehingga kejahatan harga di tingkat petani dapat dihindari,” kata Amran. Pemerintah menyiapkan tentara untuk membantu petani mulai dari penyuluhan pertanian hingga pengamanan pembelian gabah milik petani.

Praktik faktual tak seindah harapan. Saat inspeksi mendadak di gudang Perum Bulog di Karangayar, Presiden Joko Widodo mendapati gudang Bulog tak bisa menyerap gabah petani secara optimal. ”Hari ini saya mendadak ke sini untuk cek betul urusan beras kita ini. Kenapa gabah dari petani yang sudah panen banyak tidak bisa terserap dengan baik,” kata Jokowi seperti dikutip Solopos edisi 12 Maret 2016.

Situasi faktual nyatanya memang tak semudah yang dibayangkan. Para petani tidak familiar dengan Bulog. Mereka lebih familiar dengan para pedagang, pengepul, dan tengkulak. Butuh pendekatan dan pendampingan lebih untuk memuliakan petani.

Bantuan dari babinsa harus dibarengi dengan penyadaran petani untuk bangkit dan berdaya, mengingat sudah sangat lama petani terpinggirkan secara kultural. Pola pikir mereka rata-rata berorientasi kebutuhan jangka pendek dan tidak menyukai prosedur yang berbelit-belit.

Pada Kamis (24/3) pekan lalu saya mendapat gambaran lebih jelas tentang posisi tentara dalam pemberdayaan petani. Saat bersama sejumlah jurnalis menyertai kunjungan Danrem 074/Warastratama Kolonel (Infanteri) Maruli Simanjuntak ke Dukuh Bulusari, Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DIY, kelompok petani berharap kehadiran tentara bisa membuat petani patuh dan taat, terutama saat mengelola bantuan dari pemerintah.

Bukankah banyak bantuan pemerintah untuk pemberdayaan petani, misalnya dalam bentuk bantuan ternak, kemudian hilang tak berbekas karena dijual atau dipindahtangankan? Disertai puluhan jajarani Korem dan seluruh Kodim di Soloraya, Maruli meninjau petani binaan yang melakukan budi daya ternak dan ikan hias.

Upaya pembinaan itu, menurut Maruli, dilakukan sejak dua tahun lalu saat dia menjabat sebagai Komandan Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan Kartasura. Dia membawa seluruh Kepala Staf Kodim (Kasdim) agar upaya serupa bisa dilakukan di seluruh wilayah Soloraya.

Seperti imbauan pemerintah, Maruli juga ingin melibatkan babinsa untuk mendampingi petani. Segala upaya memberdayakan petani ini tentu tidak berjalan dengan optimal jika dilakukan secara sepotong-sepotong dan kurang terkoordinasi, apalagi jika hanya dilakukan sekadar obor blarak alias ramai di depan.

Pelibatan tentara hanyalah cross program, sementara yang lebih dibutuhkan adalah kesiapan lembaga pemerintah semacam Kementerian Pertanian, Perum Bulog, dan unit kerja serta pemangku kebijakan lain di sektor pertanian dalam mengamankan kepentingan petani. Gerakan penyadaran dan pendidikan petani mutlak harus dilakukan jika ingin sungguh-sungguh memuliakan petani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya