SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom Solopos, Senin (22/6/2015), ditulis Ahmad Djauhar. Penulis adalah wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI).

Solopos.com, SOLO — Iklim kebebasan individu seolah-olah kembali bersemai di kalangan rakyat Amerika Serikat (AS) dengan diberlakukannya Undang-UndangU Kebebasan (USA Freedom Act) pada 2 Juni lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pemberlakuan UU yang diteken Presiden Barack Obama tersebut sekaligus mengakhiri UU Patriot (USA Patriot Act) yang diberlakukan tidak lama setelah negeri itu terguncang akibat peristiwa 11 September 2001 (911) ketika beberapa simbol negeri adidaya tersebut dirontokkan oleh sejumlah ”teroris”.

UU Patriot memberi pemerintah AS kewenangan untuk mengatasi terorisme. Patriot Act menjadi kontroversial karena mengandung ketentuan yang dianggap dapat mencederai prinsip kebebasan sipil di AS.

Ekspedisi Mudik 2024

Patriot Act mengizinkan penyadapan telepon, rekaman, dan komputer oleh pemerintah, serta pengawasan terhadap buku maupun berbagai produk yang dihasilkan rumah sakit dan perpustakaan.

Melalui berbagai lembaga telik sandi—NSA, CIA, FBI, dan sebagainya—yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah AS, kewenangan tersebut dianggap sudah kebablasan.

Tidak hanya warga negara AS yang terkena imbasnya, hampir semua kepala negara di dunia malah menjadi sasaran penyadapan. Tidak semua kegiatan penyadapan internasional dilakukan sendiri oleh Lembaga Keamanan Nasional (NSA) atau Lembaga Intelijen Pusat (CIA).

Pemerintah AS juga memanfaatkan berbagai dinas intelijen di negara-negara sekutunya untuk memata-matai kegiatan berbagai elemen masyarakat yang dicurigai sebagai teroris, bahkan pembicaraan presiden sejumlah negara pun disadap, termasuk sejumlah pemimpin negara di Eropa dan Asia, juga Indonesia.

Tak kurang dari Kanselir Jerman Angela Merkel yang sempat menyatakan kegeramannya karena telepon selulernya ternyata disadap juga—secara tidak langsung—oleh NSA dan publik di negeri yang dipimpinnya sempat mengecam AS sebagai sahabat yang tidak memiliki sopan santun.

Berbagai fakta tentang penyadapan itu terkuak berkat pembocoran data terbesar sepanjang sejarah dunia yang dilakukan oleh Edward Snowden, pemuda tak lulus SMA yang sempat dipekerjakan sebagai staf bagian teknologi informasi oleh CIA maupun NSA.

Tindakan tersebut tentu sangat berisiko terhadap keselamatan dirinya dan kini dia hidup sebagai pelarian di Rusia atas perlindungan Presiden Vladimir Putin.

Snowden terang-terangan mengaku dirinya berani membocorkan berbagai data tentang penyadapan dan pengawasan terhadap masyarakat, baik domestik maupun internasional, tersebut karena menganggap pemerintah AS telah melanggar Amendemen Pertama Konstitusi AS yang menjunjung tinggi kebebasan rakyat sipil.

Pembocoran berbagai aksi spionase terhadap warga negara oleh NSA itu pula yang mendorong dibuatnya UU Kebebasan yang disahkan tiga pekan lalu tersebut.

Banyak warga AS dibuat melek karena selama ini mereka secara sadar maupun tidak merasa gerak-gerik mereka dimata-matai oleh negara, sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat kebebasan sebelum peristiwa 911.

Tidak hanya pembicaraan terbuka melalui Internet, NSA juga menyadap jutaan akun e-mail, jutaan nomor telepon seluler, maupun nomor telepon fixed, serta mengawasi ratusan ribu orang yang dicurigai memiliki kecenderungan atau terkait dengan aksi terorisme. [Baca: Zaman Batu]

 

Zaman Batu
Kondisi itu mengingatkan saya pada cerita karya novelis terkenal George Orwell berjudul 1984 yang diterbitkan kali pertama pada 1949. Novel yang bercerita tentang sebuah negara bebas tapi warganya selalu dimata-matai tersebut mirip dengan kondisi rakyat AS setelah peristiwa 911.

Berdasarkan paparan data Snowden pula terungkap bahwa NSA menjalin kerja erat dengan sejumlah perusahaan di Silicon Valley untuk mendukung aksi spionase terhadap Internet melalui program PRISM.

Sejumlah perusahaan dari Silicon Valley tersebut antara lain Microsoft, Yahoo!, Google, Facebook, Paltalk, Youtube, AOL, Skype, dan Apple. Menurut The Washington Post, sekitar 98% hasil pemantauan pembicaraan warga merupakan kontribusi dari Yahoo!, Google, dan Microsoft.

Ketika USA Freedom Act diundangkan, masyarakat AS tampak pesimistis bahwa mereka kini benar-benar akan menikmati kebabasan individu secara mutlak seperti halnya yang terjadi sebelum tragedi 911.

Hal itu tampak mengemuka dalam berbagai laporan media cetak maupun wawancara di televisi setempat. Hal senada juga bagi warga dunia, kini nampaknya tidak ada lagi kebebasan yang benar-benar bebas, terlebih ketika mereka menyatakan ekspresi melalui berbagai fasilitas media sosial.

Semua sarana tersebut kini dimiliki oleh para juragan dari Silicon Valley tadi. Saya tidak yakin pihak keamanan semacam NSA benar-benar tunduk kepada UU baru tersebut karena semuanya telah menjadi kebiasaan.

Selain itu, sejumlah penguasa di negeri bebas seperti Inggris telah menempuh cara serupa, yakni menjadi penadah data berkaitan dengan aktivitas masyarakat di media sosial dan/atau Internet.

Dengan memonitor lalu lintas media sosial, pekerjaan mereka jauh lebih mudah. Kondisi ini pula yang akhirnya menjadi keprihatinan tersendiri bagi dunia pers, yang di mana pun kini menghadapi tekanan semakin besar, baik secara langsung maupun tersembunyi.



Jangankan di negeri represif dan tertutup semacam Korea Utara, Rusia, Tiongkok, Iran dan sebagainya, di negeri yang setengah terbuka seperti Malaysia, Turki, dan beberapa negara di Eropa Timur  pun tekanan terhadap jurnalis maupun penerbit media cukup intensif.

”Amerika Serikat yang merupakan ’embahnya’ demokrasi saja juga menekan media dengan caranya sendiri, bagaimana di negeri-negeri yang belum sepenuhnya demokratis?” ungkap seorang bos lembaga pemberitaan di AS.

Bos lembaha pemberitaanini mengaku memperoleh tekanan akibat aktivitas jurnalistik yang dilakukannya. Hal itu terjadi beberapa waktu lalu dan merupakan pertama kalinya bagi lembaga yang telah berusia lebih dari seabad tersebut.

Demikian pula bagi warga di seluruh planet Bumi ini, kebebasan individu secara mutlak tampaknya akan lenyap dari kehidupan kita mengingat seluruh data, perkataan, dan tingkah laku kita kini telah terekam abadi di database Facebook, Twitter, Google, Instagram, YouTube, Yahoo!, Microsoft, dan sebagainya.

Tak hanya itu, apabila benar bahwa pemerintah Indonesia ternyata menyimpan data kependudukan di luar negeri maka makin telanjanglah kita semua ini.

Berbahagialah mereka yang masih hidup mewarisi zaman batu seperti halnya sebagian saudara-saudara kita yang bermukim jauh dari perkotaan karena mereka itulah individu yang benar-benar bebas, yang pembicaraan mereka tidak dipantau, gerak gerik mereka tidak diawasi, dan data pribadi mereka tidak dimiliki orang lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya