SOLOPOS.COM - ST Kartono (IST)

IST

Pelajaran pada hari pertama masuk sekolah seusai libur panjang adalah menulis. Petunjuk singkat yang saya sampaikan kepada murid adalah “tuliskan pengalaman liburan Anda minimal dalam dua halaman!” Selama jam pertemuan pertama, murid “terpaksa” memutar kembali ingatan akan liburan yang telah mereka lewati. Penggalan paragraf berikut ini adalah salah satu yang mereka baca pada jam pelajaran berikutnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Selama tiga hari aku di rumah, aku melepaskan semua rinduku kepada keluargaku. Aku merasa kembali mendapatkan kebahagiaan yang telah lama tidak kurasakan. Hari-hari kulalui dengan keluargaku di rumah. Liburan kali ini aku memutuskan untuk tidak pergi ke mana-mana, aku ingin membantu kedua orangtuaku bekerja. Setiap pagi aku membantu pekerjaan ibuku seperti: menyapu rumah, cuci piring, mencuci pakaian, dll. Dan ketika sore tiba aku membantu pekerjaan ayahku…”

Membaca, mendengarkan, dan mengomentari setiap tulisan telah membangun suasana pelajaran yang menggembirakan sekaligus menyenangkan. Menugasi murid untuk mengerjakan sesuatu tanpa menempatkannya dalam konteks yang menyenangkan tentu akan membawa beban tersendiri, pun murid akan mudah menilai gurunya sebagai tukang suruh saja. Memberikan kebebasan dan menertawakan karya sendiri, bagi murid menjadi wujud pengakuan apapun yang dikerjakannya. Hanya dari imajinasi yang bebas  akan muncul tulisan deskripsi seperti ini.

“Saya mempunyai seorang guru yang hebat, berwibawa dan menurutku dia sangat keren. Kalau sepintas mirip

Arnold Schwarzenegger karena badannya tinggi, kekar, dan berisi. Mungkin saja karena sering fitnes. Selain itu dia juga pintar dalam mengajar. Kalau menjelaskan saya bisa mengerti, wah guru seperti ini yang aku mau. Dia memiliki rambut pendek, rapi dan hitam, mungkin lebih hitam dari iklan shampo Sunsilk urang-aring di televisi. Kalau berjalan cepat dan tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya…”

Cara yang paling efektif dalam mengajarkan menulis hanyalah dengan menulis dan menulis. Teori menjadi penuntun untuk menata pikiran dan ide-ide yang dimiliki murid. Jika menulis tergolong sebagai ketrampilan, maka porsi materi terbesar dalam pengajarannya adalah praktik, bukan pada teori. Dalam pemahaman saya, secara berangsur-angsur mesti terjadi proses berbagi pengalaman antara guru dan murid, bukan lagi proses imperatif semata.

Yang tidak boleh diabaikan adalah memberikan rangsangan motivasi kepada murid agar dapat merasakan arti sebuah tulisan. Memberikan bonus nilai atau pasti nilai delapan di rapor bagi murid yang memunculkan tulisannya dalam bentuk apapun di media massa. Juga tidak kalah pentingnya satu sisi lain sekeping mata uang menulis adalah membaca, perlu didorongkan kepada murid sehingga membaca menjadi kebiasaan keseharian. Memberikan iming-iming berita yang menarik di koran hari itu adalah satu cara menuntun mereka menuju ruang pajangan koran sekolah.

Satu lagi upaya untuk merangsang murid menulis adalah keteladanan dari guru. Tidak mudah untuk memulai mengasah diri dalam bidang tulis-menulis. Untuk memulai menulis, mulai menuangkan ide, untuk membarui diri, dan bertahan dalam proses jatuh-bangun memang membutuhkan energizer tersendiri. Ada keyakinan bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan membutuhkan kerja, pikiran, bahkan emosi. Tidak kalah pentingnya juga membagikan pengalaman pribadi mengenai kerja keras menghidupi dunia tulis-menulis.

Impian untuk menjadi guru yang diperhitungkan intelektualitasnya saya mulai dengan memaksa diri setiap hari menulis meskipun dengan menumpang komputer di kantor, sekurang-kurangnya dua – tiga alinea, seminggu sekali mengharuskan diri sendiri untuk mengirimkan satu artikel ke media massa. Memaksa diri demikian disertai juga niat menyisihkan waktu secara sadar untuk membaca banyak hal. Tidak jarang tulisan yang terkirim ke sebuah media dikembalikan, ditolak, atau tidak dimuat. Tulisan-tulisan yang telah dikorankan itulah yang bisa dihadirkan di hadapan murid sebagai motivasi. Akhirnya, mengajari menulis murid pun sebenarnya sebuah upaya ”menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi dan hasrat-hasrat heroik untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan tuntas dan prima”. ***

 

St. Kartono

Guru SMA di Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya