SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (22/2/2016), ditulis jurnalis Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Saat diminta berbicara di hadapan aktivis organisasi kemasyarakatan (ormas) pro Jokowi atau Projo di sebuah hotel di Solo, Jumat (12/2) lalu, saya menyampaikan opini bahwa apa yang dialami Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun pertama pemerintahannya adalah efek dari fenomena yang dia ciptakan.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Layak dicatat, dimulai dari Jokowi menjadi Wali Kota Solo hingga dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, dia hanya butuh waktu kurang dari 10 tahun. Jokowi menjadi Wali Kota Solo pada 28 Juli 2005 hingga 1 Oktober 2012.

Ia kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012 hingga 16 Oktober 2014 dan dilantik menjadi Presiden ketujuh Indonesia pada 20 Oktober 2014. Ini sebuah fenomena bagi sebuah negara demokrasi besar yang sangat majemuk seperti Indonesia.

Ekspedisi Mudik 2024

Mungkin tidak ada di belahan dunia manapun catatan semacam ini. Fenomena lainnya, pria asal Solo ini sama sekali tidak berasal dari “darah biru” politik. Dia masih “hijau” soal politik saat pertama kali berkunjung ke Kantor Redaksi Solopos pada awal pencalonannya sebagai wali kota.

Dia bukan tokoh elite partai, apa lagi ketua umum partai. Dia juga bukan dari kalangan militer, seperti halnya dua presiden sebelumnya, yakni Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Faktanya, pemahaman Jokowi soal politik melesat bak meteor.

Pada Februari 2012, saat saya berkunjung ke rumah dinasnya di Loji Gandrung, Jokowi kala itu masih enggan mengakui ada gerakan politik sebagai calon gubernur DKI Jakarta, namun dia sanggup membuat perhitungan tentang apa yang akan dilakukannya jika dia mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta. Hasilnya seperti yang sama-sama kita saksikan.

Dua fenomena itu sepertinya membuat banyak pihak ingin mendesakkan kepentingan mereka dengan memengaruhi kedudukan Jokowi sebagai presiden. Bukankah Jokowi menjadi presiden langkah pertamanya karena boarding pass dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri?

Wajar publik menduga Megawati punya titipan dan harapan kepada Jokowi. Jokowi yang sipil namun karena kedudukannya sebagai presiden berhak menyandang sebagai panglima tertinggi militer, harus mengelola unit militer yang tentu pekat dengan kerumitan tersendiri.

Jokowi yang tujuh tahun memimpin Solo dan dua tahun memimpin DKI Jakarta harus memimpin kabinet yang terdiri atas orang-orang yang pernah menjadi menteri atau pernah menjadi mentor politiknya selama ini.

Publik mencatat ada banyak kegaduhan politik pada tahun pertama pemerintahannya. Kegaduhan itu mulai dari pemilihan anggota kabinet yang tidak sesuai dengan janjinya untuk mengakomodasi lebih banyak kalangan profesional hingga perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia yang berlarut-larut, bahkan bekasnya masih ada hingga saat ini.

Tak banyak terjadi pada pemerintahan sebelumnya seorang menteri mengkritik menteri lainnya atau menantang debat seorang wakil presiden. Tak ada cerita pada pemerintahan sebelumnya seorang presiden dihina dengan kata-kata yang tidak pantas oleh tokoh partai politik yang mendukungnya menjadi presiden.

Jokowi oleh banyak kalangan dinilai kurang hadir dalam beberapa kontroversi di bawah kekuasannya. Sebagian menilai Jokowi sengaja menunda persoalan agar lebih matang dan lebih jelas wajah dan posisi orang-orang terkait isu itu.

Jokowi juga dianggap memainkan politik gaduh dengan tujuan tertentu. Pada kolom saya sebelumnya saya menulis Jokowi membiarkan konsolidasi politik berjalan sesuai dengan alurnya sendiri.

Di sisi lain dia menggunakan dua jurus untuk membangun legacy kekuasaannya, yakni membangun infrastruktur dan meningkatkan pengembangan ekonomi dan industri berbasis padat karya, termasuk di antaranya kredit usaha rakyat (KUR) yang saat ini tengah digalakkan.

Jurus pembangunan infrastruktur itu di antaranya meneruskan proyek tol trans-Jawa, membangun jalur kereta api cepat Jakarta-bandung, membangun jalur kereta api di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papu.

Jika semua proyek itu lancar, menjelang akhir kekuasaannya pada 2019, Jokowi akan memanen impresi dari masyarakat. Selanjutnya barang kali terserah dinamika politik pada saat itu: apakah Jokowi akan kembali mencalon diri sebagai presiden atau si pemilik boarding pass menyerahkannya kepada orang lain atau ada skenario lain. [Baca selanjutnya: Popularitas]Popularitas

Beberapa survei yang mengukur popularitas tokoh-tokoh nasional, termasuk Jokowi, memperlihatkan popularitas Jokowi up and down alias naik turun. Jokowi maih belum terlawan. Dia masih kokoh di peringkat teratas piramida popularitas.

Terakhir, survei yang diumumkan Harian Kompas pada Senin (15/2) lalu manjelaskan 84,4% responden menyatakan citra Presiden Jokowi baik. Angka itu naik 11% dibandingkan Oktober 2015.

Menurut survei itu, 72% responden menilai positif pemerintahan saat ini. Angka itu merupakan yang tertinggi dibandingkan penilaian publik atas citra pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla selama setahun terakhir.

Citra Jokowi yang meningkat drastis itu seolah-olah anomali jika dibandingkan dengan konsolidasi kekuatan yang tiada henti yang kita lihat muncul di permukaan. Koalisi Merah Putih yang berulang kali berjanji setia kepada Prabowo Subianto akhirnya satu per satu melepaskan ikatan dan berbalik menyatakan dukungannya kepada Presiden Jokowi.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Farids sejak tahun lalu berbalik arah. Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Aburizal Bakrie menyampaikan dukungan kepada Jokowi pada rapat pimpinan nasional partai itu bulan lalu.

Kita masih belum sepenuhnya tahu ada apa di balik segregasi politik yang terjadi di KMP. Situasi di parlemen sejauh ini tidak atau kurang mencerminkan gambaran para elite yang menunjukkan dukungan kepada pemerintah.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang oleh banyak pihak dianggap memperlemah lembaga antirasuah yang sangat dipercaya rakyat itu.



Jokowi sementara ini masih belum memberikan pernyataan tegas yang menenangkan para pembela KPK tentang isu ini. Tentu Jokowi mendengar hiruk-pikuk seputar perdebatan UU ini. Tentu dia tidak mau jika kelak dia diingat publik sebagai presiden yang membiarkan KPK dilemahkan

Publik sudah mulai lupa janji Jokowi untuk melakukan reshuffle kabinet. Nama-nama yang pernah beredar menguap lagi. Nama-nama baru yang muncul pun mulai hilang entah ke mana. Mungkin memang seperti ini gaya kepemimpinan Jokowi.

Dia membiarkan proses konsolidasi kekuatan politik berjalan dengan alurnya masing-masing sembari melakukan beberapa jurus pembangunan sesuai kapasitasnya. Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung oleh sebagian kalangan masih dikaitkan dengan proses konsolidasi politik karena kubu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lebih dekat dengan Tiongkok dan kubu yang lain lebih dekat dengan Jepang dan sebagainya.

Politik memang tidak lepas dari segala proses konsolidasi, penyatuan dan pemisahan kekuatan, persinggungan kepentingan, dan adu kekuatan pengaruh. Masyarakat membutuhkan iklim yang lebih tenang untuk bekerja. Citra Jokowi yang bersih di tengah kultur korup dan paternalistik yang akut masih menjadi harapan.

Di tengah menurunnya popularitas partai-partai politik, politik seolah menjadi lebih personal karena desakan hyper connectivity melalui media sosial. Semestinya saat ini saatnya Jokowi tampil lebih tegas dan tidak banyak menunda persoalan karena dia tidak akan kehilangan apa-apa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya