SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo, wartawan SOLOPOS

Mulyanto Utomo, wartawan SOLOPOS

Tanpa dinyana, tanpa saya duga, akhir pekan lalu tiba-tiba saya kedatangan tamu istimewa. Istimewa, karena beliau ini sudah lebih dari lima tahun tidak pernah berjumpa dengan saya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Istimewa, karena beliau ini adalah mantan anggota dewan yang terhormat. Dan istimewanya lagi, beliau keraya-raya ke ruang kerja saya menyatakan hanya ingin berjumpa dengan saya, bersilaturahmi… kangen katanya. Apa ora elok

Maka dengan segala suka cita, kami pun bercerita segala macam peristiwa dan suasana. Karena, sedikit banyak, saya memang cukup mengenal beliau dengan baik ketika dulu menjabat sebagai anggota dewan yang terhormat.

Sampailah kemudian pada pertanyaan saya, yang rupanya membuat beliau agak merana. “Gimana Pak, tidak nyalon lagi menjadi anggota dewan?” tanya saya, spontan tanpa bermaksud apa-apa.

Wis Mas… kuapok aku. Hambok disuruh ngganti anggota dewan yang sudah jadi pun, saya tidak akan mau. Kapok tenan…” katanya tegas.

Penasaran, saya pun kemudian melanjutkan pertanyaan.”Lha memangnya kenapa to Pak. Kan bisa memperjuangkan aspirasi rakyat to kalau menjadi anggota dewan itu,” pancing saya.

Ayak… mbelgedes Mas. Sekarang ini partai sudah tidak penting! Yang penting makarya wae lah… Berpolitik malah dadi memala. Sesama teman bisa antem-anteman, jegal-jegalan malah sok ngidoni barang,” kata pria yang sempat merasakan dinginnya hotel prodeo sesaat setelah mengabdi menjadi anggota dewan ini.

Ia kemudian bercerita bahwa berpolitik pada masa sekarang ini jauh berbeda dengan sepuluh atau sebelas tahun silam.  Berpolitik, sekarang ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan pragmatis. Semua yang berbicara adalah uang.

Tidak ada lagi idelogi partai yang harus diugemi. Berbeda dengan era dia belasan tahun silam yang masih berpikir tentang pengabdian, perjuangan bahkan demi kemajuan bangsa dan negara.

“Saya ditawari untuk nyaleg di tingkat pusat. Saya pikir-pikir, paling tidak saya harus menyediakan uang Rp1 miliar. Sebagai seorang pengusaha, lha ngapa duit segitu diceh-ceh dengan tujuan yang tidak jelas… buat modal usaha kan lebih menjanjikan kan Mas,” katanya minta persetujuan saya.

 

Sistem Politik

Begitulah. Perbincangan saya dengan seorang kawan mantan anggota legislatif itu kian membuka nurani saya bahwa sesungguhnya memang ada yang tidak beres dalam sistem perpolitikan negeri kita.

Ini paralel dengan apa yang dikatakan Ketua DPP PDIP Megawati Soekarno Putri akhir pekan lalu. Dia bahkan menyatakan risau dengan sistem politik di negeri ini. Menurut dia, saat ini sistem politik di negeri ini tak memberi kesempatan kepada caleg yang berkualitas tapi tak punya uang.

“Dari beberapa pendaftar DCS (daftar calon sementara) saya melihat ada yang sangat potensial, tapi ketika saya panggil dia menjawab nggak punya modal, nggak kuat buat bersaing,” kata Mega di Muara Angke, Jakut, Sabtu akhir pekan lalu.

Dia pun menyatakan tak bisa berbuat banyak, sistem politik di Indonesia memang seperti itu. Mega menyayangkan, semestinya ada perubahan untuk menciptakan kesempatan bagi politisi yang tak punya uang tapi berkualitas. “Ya itulah sistem kita, yang punya uang bisa maju, kalau nggak punya ya sulit,” jelasnya.

Pragmatisme, konsumtivime, hedonisme… paham-paham yang hampir semuanya mengarah kepada sistem budaya liberal dan kapitalis inilah biang keladi tercerabutnya akar budaya politik Indonesia yang pada masa lalu sedemikian heroik, santun dengan jiwa nasionalisme yang sangat tinggi.

Coba kita buka lembaran sejarah perjuangan para pendiri bangsa ini. Soekarno, Bung Hatta, Syahrir dan masih banyak lagi politisi-politisi yang tidak mengenal lelah untuk melakukan kerja keras, berjuang walaupun nyawa taruhannya sementara mereka sendiri belum tentu menikmati hasil perjuangannya.

Tapi apa yang bisa kita saksikan pada para politisi, elite dan pemimpin bangsa kita sekarang? Masihkah kita melihat ada sosok politisi, anggota DPR atau bahkan pengusaha sekalipun yang sekadar bercita-cita memperbaiki bangsa, mamajukan perekonomian negeri, mengelola kekayaan alam sebaik-baiknya dengan tujuan untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia?

Sungguh sulit mencari sosok idaman seperti itu. Sejauh yang terekam di koran, televis maupun berita-berita simpang siur di internet, yang muncul adalah orang-orang berselisih paham, bentrokan, saling caci maki yang ujungnya hanya untuk kepentingan sendiri dan golongan.

Maka tak heran, jika kawan saya yang mantan anggota dewan tadi sudah skeptis bin pesimis terhadap partai politik. “Sekarang ini sudah nggak penting mau merah, hijau, biru atau putih. Tinggal lihat situasi dan kondisi. Kalau pengen jadi pejabat, tadinya berbaju hijau yang tinggal ganti merah. Mau jadi walikota atau wakilnya, ya copot baju birunya… gampang toh,” kata kawan saya tadi sambil tertawa, agak sinis memang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya