SOLOPOS.COM - Suwarmin suwarmin@solopos.co.id Wartawan Solopos

Suwarmin suwarmin@solopos.co.id Wartawan Solopos

Suwarmin
suwarmin@solopos.co.id
Wartawan Solopos

Sudah banyak tulisan yang mencoba membahas bagaimana seharusnya sebuah klub sepak bola dibiayai. Umumnya, para pengamat dan penulis olahraga menyebut terdapat tiga pintu utama sebuah klub sepak bola mendapatkan dana.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pertama, gate receipt, yakni pendapatan klub yang berasal dari penjualan tiket pertandingan, baik tiket sekali putus dan tiket terusan/musiman. Jika sebuah klub bisa mendapatkan 2.000 pembeli tiket terusan yang rela membayar dimuka, dengan harga tiket per pertandingan Rp10.000, klub akan meraih pendapatan awal Rp20 juta, sebelum kompetisi dimulai.

Kedua, klub bisa mendapatkan penghasilan dari hak siar televisi. Dalam hal ini, klub biasanya akan sangat tergantung pada operator kompetisi yang bernegosiasi dengan pengelola televisi. Ketiga, kontrak komersial berupa sponsorship dan penjualan merchandise. Misalnya perusahaan apparel asal Inggris, Mitre, melakukan kerja sama dengan beberapa klub di Indonesia.

Klub-klub besar di Eropa mempunyai kontrak sponsor gila-gilaan dengan perusahaan apparel raksasa. Klub-klub Eropa juga mempunyai tradisi kontrak televisi yang wah, karena mereka sudah lama membangun sepak bola bukan sekadar permainan, namun sudah menjadi hiburan dan showbiz yang mahal.

Sejauh ini, klub-klub di Indonesia lebih banyak menggantungkan diri pada kebaikan pengusaha ”gila” yang rela mengongkosi tim sepak bola kotanya. Sejumlah klub juga masih curi-curi kesempatan mendapatkan dana melalui kebijakan penguasa daerah, baik melalui dana hibah atau pemaksaan yang dilakukan penguasa terhadap investor yang hendak membuka usaha di sebuah kota. Cara lain adalah konsorsium, yakni urunan dari sejumlah pengusaha untuk membiayai sebuah klub.

Badan Sepak Bola Asia (AFC) sebenarnya telah mewajibkan sebuah klub sepak bola profesional dikelola sebuah PT yang tentu juga harus profesional. Intinya, sebuah klub haruslah mandiri, dikelola dengan pola kerja profesional, bukan hidup berdasarkan sumber dana yang bersifat pemberian.

Nah, mumpung kompetisi Divisi Utama dan Indonesia Super League (ISL) belum berputar dan baru akan dimulai sekitar 11 Februari 2014, ada baiknya kita sedikit berkhayal. Meski ini barulah pernyataan utopis, namun sebenarnya sangat menarik dicoba untuk memberdayakan suporter, agar suporter yang menjadi basis pendukung sebuah klub diberi kesempatan membiayai klub tersebut. Misalnya Pasoepati di Solo membiayai Persis Solo, Brajamusti di Jogja membiayai PSIM Jogja, Paserbumi di Bantul membiayai Persiba Bantul, dan Slemania di Sleman membiayai PSS Sleman.

Jika sebuah kelompok suporter memang terbukti solid, langkah ini bukan perkara sulit. Pertama, kelompok suporter yang beranggotakan, sebut saja, 10.000 orang, ramai-ramai iuran modal Rp100.000 per orang sehingga akan terkumpul modal Rp1.000.000.000 alias Rp1 miliar. Jumlah ini cukup lumayan untuk membayar gaji pemain dan ofisial tim. Jika rata-rata pemain digaji Rp4 juta, dengan jumlah pemain dan ofisial sebanyak 25 orang, nilai Rp1 miliar cukup untuk membayar gaji selama 10 bulan atau selama satu musim kompetisi. Iuran ini, bisa dijadikan saham yang kelak jika memungkinkan akan dikembalikan kepada anggota, atau diperhitungkan dalam bentuk lain.

Kedua, suporter bisa menjadi ujung tombak pembiayaan klub dengan rajin datang ke stadion saat tim pujaan berlaga. Tentu saja jangan sampai mbludhus, harus membayar tiket. Anggap saja selama satu musim, sebuah klub 10 kali menjadi tuan rumah, dan setiap pertandingan mendapat pemasukan bersih dari tiket sebesar Rp100 juta, maka dalam semusim klub akan mengantongi uang tiket Rp1 miliar. Angka ini bisa digunakan untuk membiayai perjalanan tim ke pertandingan tandang.

Dalam hal pengelolaan uang, termasuk pengelolaan tiket, manajemen klub harus transparan, jangan biarkan ada celah korupsi muncul, jangan biarkan ada rasan-rasan negatif berkembang. Panitia pelaksana (panpel) harus melibatkan petugas porporasi tiket yang bertanggung jawab dan akuntan publik yang credible sehingga pelaporan hasil penjualan tiket bisa diterima semua pihak. Jika semua akuntabel dan amanah, niscaya roda organisasi akan aman.

Dengan pihak suporter ikut memiliki klub dan terlibat langsung dalam pengelolaaan sebuah klub, mereka akan mempunyai kewajiban untuk ikut mengamankan pertandingan. Meraka akan merasa eman-eman jika terjadi kerusuhan dan buntutnya klub dihukum larangan bermain tanpa penonton. Langkah ini, secara tidak langsung, bisa menjadi terapi atas tradisi rusuh suporter seperti yang sering terjadi selama ini.

Ketiga, kelompok suporter diberi hak mendirikan divisi event organizer yang bisa mengambil keuntungan dari klub atau hari pelaksanaan pertandingan (match day). Misalnya menggelar fan zone, dengan menggelar lapak-lapak yang menjual pernik-pernik klub dan merchandise klub lainnya. Sebagian keuntungan menjadi hak suporter dan sebagian lain menjadi milik manajemen klub. Langkah ini juga bisa dalam bentuk ajang kreatif lainnya, seperti foto bareng pemain, coaching clinic dll. Secara finansial acara seperti ini mungkin tidak terlalu menghasilkan, tetapi dampak kreatifnya akan luar biasa.

Keempat, kelompok suporter harus berusaha menyajikan aksi dukungan yang indah, kompak dan kreatif, sehingga “mengundang” stasiun televisi untuk sebanyak mungkin meliput mereka. Untuk itu, tidak ada salahnya jika sebagian kecil kontrak siar televisi diberikan kepada kelompok supporter untuk membayar pelatih atau koreagrafer profesional. Jadi, bukan hanya pemain dan tim yang harus terus memperbaiki penampilan, namun juga pihak supporter. Dalam hal pemain, lebih baik mengembangkan akademi klub dan tak perlu buru-buru mengejar prestasi instan. Cukup mengambil 1-2 pemain bintang, sisanya amengandalkan pemain lokal potensial.

Nah, dari gambaran di atas, rasanya tidak terlalu berlebihan jika organisasi suporter ikut menjadi pengelola klub sepak bola atau ikut secara resmi memiliki klub sepak bola di Indonesia. Manajemen klub juga masih bisa mendapat pemasukan dari kontrak sponsor dan pendapatan lain yang lebih mudah didapatkan jika kelompok suporter solid.

Mari kita bermimpi, tulisan utopis ini suatu saat bisa menjadi kenyataan manis. Jika ini benar-benar terjadi, klub akan makmur, pemain subur, penonton akur….

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya