SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (4/5/2015), ditulis wartawan Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Waktu memang setajam sembilu. Tajam dan cepat. Enam bulan berlalu setelah pelantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Indonesia, 20 Oktober 2014, publik sudah mulai melupakan romantisme kemenangan sang presiden.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Enam bulan setelah Kabinet Kerja dilantik, publik mulai lelah. Survei Poltracking yang dirilis di Jakarta, Minggu (19/4/2015), menyatakan secara keseluruhan 48,5% responden tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Sebanyak 44% responden menyatakan puas dan hanya 7,5% responden mengaku tidak tahu atau tidak menjawab. Penurunan popularitas seperti itu memang penyakit penguasa baru lantaran harapan memang lebih sering tak seindah kenyataan. Jokowi dalam kondisi demikian.

Jokowi memang belum berubah, dia masih seperti yang dulu. Sosoknya masih sederhana. Gaya pidatonya dan gesture-nya nyaris tidak berubah. Dia masih suka tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan untuk menemui petani di pematang sawah.

Dia masih suka blusukan ke pasar-pasar tradisional, membaur, mendekati rakyat. Dia masih memilih tak berpayung di tengah panas terik matahari. Dia membawa rombongan 21 pemimpin berbagai negara melakukan historical walk untuk napak tilas Konferensi Asia Afrika (KAA).

Semua khas Jokowi, tetapi rakyat ingin lebih. Rakyat ingin bukan sekadar unjuk kesederhanaan dan kemasan iconic. Impitan ekonomi yang mendera dan periuk nasi yang mulai kosong di rumah-rumah penduduk serta-merta menepikan kemegahan romantika sang idola.

Bisnis secara keseluruhan memang kurang menggembirakan pada kuartal pertama tahun ini. Asosiasi pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI) sebagaimana dikutip sejumlah media massa mencatat ada penurunan penjualan properti 50% pada periode Januari-Maret atau kuartal I 2015.

Itu bukan angka main-main. Para penjual properti mengeluh. Jual sana jual sini, ujung-ujungnya dalam sebulan belum tentu laku satu unit rumah pun. Kisah serupa terjadi di bisnis otomotif.

Seperti dicatat tempo.co, penjualan otomotif pada kuartal I 2015 turun 15%-16% dibanding kuartal sebelumnya. Vendor sepeda motor di Semarang belum lama ini juga mengeluhkan hal yang sama. ”Penjualan lagi seret, susah,” kata bos perusahaan yang menguasai penjualan sebuah merek sepeda motor di Jawa Tengah itu.

Bisnis jasa perhotelan lebih parah lagi. Sebagian pelaku bisnis perhotelan mulai putus asa. Tahun ini mungkin mereka harus rela membiarkan sebagian besar kamar-kamar hotel yang megah dan mewah sepi tanpa penghuni.

Bisnis perhotelan terkena imbas pelarangan pejabat dan pegawai negeri menyelenggarakan rapat di hotel berbintang. Potret betapa meredupnya bisnis bisa memengaruhi seluruh lapisan masyarakat tergambar dari lesunya bisnis perhotelan.

Ketika hotel sepi, jasa katering lebih banyak menganggur, pelaku bisnis laundry juga terpengaruh. Tukang becak yang ramai antre di depan hotel lebih banyak duduk melamun kelamaan menunggu penumpang. Nah, bagaimana jika ribuan hotel hidup kembang kempis?

Seorang pelaku bisnis karaoke mengatakan pengunjung ruang karaoke menurun drastis pada empat bulan pertama tahun ini. Mungkin orang tak punya waktu untuk memenuhi kebutuhan sekunder atau tersier, sedangkan kebutuhan primer pun belum tentu terkejar.

Seorang sopir taksi mengeluh, ”Sekarang orang jarang ngasih tip. Padha sambat nggak ada uang.” Belum tentu ini semua salah Jokowi. Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia Mirza Adityaswara dalam perbincangan di Griya Solopos beberapa waktu yang lalu menuturkan beberapa hal tentang kondisi ekonomi Indonesia saat ini. [Gaduh]

 

Gaduh
Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat karena pengaruh spekulasi soal rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika, The Fed. Harga sejumlah komoditas seperti crude palm oil (CPO) dan batu bara juga memengaruhi jumlah uang yang beredar.

Situasi ini diperparah penurunan pertumbuhan perekonomian Tiongkok yang berdampak penurunan permintaan ekspor ke Negeri Tirai Bambu itu. Gairah semboyan “kerja, kerja, kerja” yang menjadi ikot Kabinet Kerja Jokowi-JK sepertinya kurang bekerja di lapangan.

Irama yang terasa di lapangan justru senandung ”gaduh, gaduh, gaduh”. Kita lebih sering menjadi negeri yang gaduh belakangan ini. Serba riuh, ramai, tanpa kendali. Dimulai perseteruan Koalisi Merah Putih (KMP) melawan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang secara alami meneruskan persaingan Pemilu Presiden 2014.

Saat itu isu tentang UU No. 17/2014 yang mengatur tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)  menjadi isu panas. Isu MD3 disusul kegaduhan lainnya, yakni dualisme kepemimpinan partai politik seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan  Karya (Golkar).

Satu lagi kegaduhan politik kekuasaan yang sampai detik ini belum reda, yaitu perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Persaingan kedua lembaga negara itu pasang surut dan belum benar-benar dingin.

Rivalitas itu sangat terasa yanjg dimulai dari penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Saat itu Budi diusulkan oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman yang diberhentikan.

Riuh dan ramainya politik itu sedikit banyak mengganggu bisnis. Ujung-ujungnya periuk nasi rakyat kecil terganggu. Orang hanya ingat kepada Jokowi, sang presiden, yang diharapkan sebagai ratu adil. Satu dua ungkapan di media massa dan media sosial menyebut jangan-jangan kita tak punya kepala negara karena masing-masing lembaga negara berseteru dan enggan didamaikan.

Kini persaingan KMP dan KIH sudah tidak lagi relevan karena si pemegang kekuasaan tengah merosot pamornya. Suara nyinyir para wakil rakyat kalah populer dibandingkan tingkah para jenderal di Jl. Trunojoyo, Jakarta, markas para petinggi Polri. Kegaduhan apa lagi yang akan terjadi?



Kerja, kerja, kerja. Semoga Jokowi dan kabinetnya belum lupa dengan slogan ini. Barangkali ada para pengganggu pemerintahan sehingga Jokowi kurang leluasa memimpin negara. Mungkin situasi ekonomi dunia kebetulan kurang mendukung pemerintahan Jokowi.

Yang jelas banyak orang semakin tak sabar menunggu dan tak peduli. Kini sayup-sayup muncul sejumlah nama yang mulai mengapung di permukaan peta politik Indonesia.

Kini Jokowi butuh momentum untuk menggelorakan lagi semangat kerja kabinetnya. ”Kerja, kerja, kerja” dan bukan ”gaduh, gaduh, gaduh”. Seperti kata Presiden Jokowi, ”Jangan ada kontroversi lagi….”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya