SOLOPOS.COM - IST

IST

Tidak terlalu salah kalau banyak orang mengatakan bahwa geliat ekonomi DIY sebenarnya tercermin dari seberapa parah tingkat kemacetan lalu lintasnya. Semakin macet, berarti roda perekonomian berputar kian cepat, utamanya yang terkait dengan ekonomi wisata.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Maklum, pada saat peak season liburan sekolah, banyak wisatawan dari berbagai penjuru kota, menyerbu kawasan wisata DIY. Dengan kegiatan itu, perekonomian DIY berputar agak cepat, terutama dari sisi konsumsi (baik jasa maupun komoditas pendukung wisata). Jogja macet identik dengan mengalirnya rejeki ke kawasan ini.

Salah satu kawasan yang biasanya wajib dikunjungi adalah Malioboro. Inilah ikon wisata Kota Jogja, yang terlampau sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kalau DIY istimewa, terlebih lagi Malioboro sangat istimewa. Di sini, kehidupan berdenyut 24 jam penuh, tanpa ada hentinya. Inilah prototype marketing yang istimewa, karena berbeda dengan daerah lainnya.

Tak aneh kalau Malioboro menjadi kawasan jalan paling terkenal di seantero Indonesia, bahkan mungkin dunia. Ketenarannya mungkin melampaui Kota Jogja itu sendiri. Rasanya belum ke Jogja, kalau belum menginjak Malioboro.

Jalan Malioboro, Jogja menjelaskan tentang makna waktu dalam dunia marketing. Sore, ketika toko-toko sepanjang jalan utama kota budaya-wisata itu mulai tutup, para pedagang lesehan mulai menyiapkan dagangan mereka. Tatkala malam menjelang, tawa-canda-ria konsumen makanan lesehan berkolaborasi dengan genjreng-genjreng musik pengamen jalanan dan angklung Malioboro.

Sampai subuh, Malioboro didominasi pedagang lesehan, angkringan dan pengamen. Lalu, ketika pagi menjelang, para pedagang cenderamata khas Jogja mulai menata dagangannya. Tak lama kemudian, toko-toko pun mulai beroperasi hingga sore dan berotasi kembali dengan pedagang makanan lesehan.

Di jalan sepanjang satu kilometer itu, beragam jenis transaksi jual-beli terjadi. Dinamika dunia marketing benar-benar terasa 24 jam penuh di sini. Karena, Jalan Malioboro adalah kawasan wisata belanja Jogja, yang selalu dipenuhi wisatawan, baik domestik maupun asing. Bukan hanya para pedagang yang menyesaki jalan ini, tapi juga becak, andong, dan kendaraan bermotor tumpek-blek, hingga menimbulkan kemacetan. Semua itu menjadi atmosfir khas Malioboro. Inilah dinamika bisnis (wisata) yang memenuhi koridor Malioboro sepanjang waktu, seolah tak pernah berhenti.

Inilah sebuah jalan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, yang menghidupi sebagian besar warga Jogja. Saya tidak punya data, berapa banyak kategori produk yang diperdagangkan di sini. Yang nampak sehari-hari, antara lain, kategori pakaian, makanan-minuman, cenderamata, barang kelontong, dan perhotelan. Juga, kategori jasa biro perjalanan, jasa hiburan, dan jasa transportasi. Dengan begitu banyaknya ragam produk dan jasa yang diperdagangkan di sini, tentulah aroma rupiah dan dolar tercium ke mana-mana.

Berapa nilai transaksi di Malioboro per bulan? Angka pastinya tak saya temukan.

Sebagai proyeksi, saya coba mengurutkan mulai dari jumlah kunjungan wisatawan ke Jogja. Menurut perhitungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Jogja, liburan tengah tahun kali ini diperkirakan akan banyak wisatawan datang ke Jogja. Malioboro diperkirakan jadi tujuan liburan tengah semester 2012. Rata-rata kunjungan wisatawan 180.000 hingga 200.000 orang per bulan. Karena Malioboro merupakan pusat dan ikon wisata Jogja, diperkirakan 70% dari para wistawan akan mengunjungi Malioboro. Inilah magnet Malioboro yang perlu terus dipelihara sampai kapanpun.

Namun sesungguhnya, ada sisi lain dari Malioboro yang perlu digali lebih mendalam dan bisa memperkaya aset Malioboro ke depan.

Pertama adalah berbagai bangunan heritage (cagar budaya) yang ada di wilayah ini, mulai dari Stasiun Tugu, Hotel Ina Garuda, Kantor DPRD DIY  (dikenal sebagai Lodjie Setan), Kantor Gubernuran, Perumahan  Taman Joewono Dagen, Pasar Beringharjo, Museum Benteng Vredeburg, Istana Gedung Agung, Gereja GPIB Margomulyo, Gedung Kantor Pos, Gedung BI, Gedung BNI, Monumen Batik Jogja, serta sedikitnya 50 lebih bangunan kuno di sepanjang Malioboro yang sekarang tertutup iklan baliho.

Kawasan heritage Malioboro selama ini memang belum dijual. Padahal, Malioboro adalah kawasan bersejarah yang penuh makna, tidak hanya kawasan bisnis-ekonomi semata. Nah, kalau sisi ini digali, maka aspek (seni) budaya dan sejarah dari Malioboro akan muncul dan merupakan daya tarik tersendiri. Aspek ini merupakan pengkayaan dari wisata budaya Malioboro selama ini. Belum lagi bicara mengenai kawasan Pecinan (Ketandan, Beskalan, Pajeksan) yang bisa dikembangkan menjadi semacam China Town di Singapura dengan berbagai pernak-pernik pendukung budaya Chinanya (tidak sekadar festival atau pekan budaya Tionghoa semata).

Pendek kata, Maliboro yang sekarang  ada, baru menyentuh aspek ekonomi bisnis. Malioboro masih sebatas wisata belanja, belum menyentuh dan masuk ke ranah wisata sejarah, wisata budaya dan wisata pendidikan. Padahal, wajah Malioboro harus disentuh dan didekati dari berbagai sisi dan dimensi. Malioboro, sesungguhnya sangat istimewa, se-istimewa DIY itu sendiri, Oleh sebab itu bersamaan dengan liburan panjang sekolah dan juga event Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) mulai 20 Juni hingga 5 Juli mendatang, ada baiknya segenap jajaran stakeholder Maliboro bersinergi untuk mewujudkan Malioboro yang lebih unik dan istimewa lagi. Tidak seperti wajah Malioboro sekarang ini yang cenderung crowded, kumuh, dan berbau pesing.

Susidarto

Pemerhati masalah sosial dan ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya