SOLOPOS.COM - Vincentius Suparman (IST)

Vincentius Suparman (IST)

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Nasehat bijak ini mudah diingat dan diucapkan tetapi betapa tidak mudahnya bila sudah dialami dalam kehidupan nyata. Refleksi mendalam atas pengalaman hidup leluhur kita memang telah terbukti keampuhannya.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Tidak ada sesuatu yang luhur dan mulia hanya dimulai dengan santai, enak-enak dan berpangku tangan belaka. Semua pasti membawa resiko perjuangan meski harus mengalami penderitaan dan ketidaknyamanan. Nasihat bijak itu kini sudah bergeser dan berganti dengan ungkapan yang menggejala dewasa ini. Kecil dimanja-manja, muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga. Bukankah ini hanya impian belaka?

Pandangan umum mengatakan bahwa orang sukses itu amat dekat dengan kepemilikan secara duniawi. Akhirnya, orang berburu akan hal duniawi yang dianggap menyenangkan dan menjadi jaminan dalam hidupnya. Meskipun harus mengorbankan harga diri dan hati nurani karena yang ditempuh amat jauh dari kehendak dan rahmat Tuhan.

Tidak sedikit orang yang berfoya-foya dari hasil kejahatannya. Kejahatan itu misalnya korupsi. Sebagaimana kasus ini begitu mudah  kita temukan dalam hidup sehari-hari. Tidak sedikit contoh untuk menjadi model dalam berkorupsi dari tingkat kecil-kecilan sampai tingkat milyaran. Ketika seseorang sudah mendapatkan hasilnya dan menggunakannya untuk sesuatu yang menyenangkan hatinya, maka  ia harus mempertanggungjawabkannya. Apa yang terjadi? Tentu bukan hal yang menyenangkan. Endingnya adalah derita. Masuk bui misalnya.

Kerap kita dengar ungkapan: buatlah sesuatu yang menyenangkan untuk menarik banyak orang. Adakalanya ungkapan ini benar kalau mau dilihat hanya dari segi kwantitas. Tapi bagaimana dengan kwalitas.

Tidak jarang kita jumpai orang-orang berkwalitas memulai sesuatu dari  yang tidak menyenangkan. Ia harus mengalami jatuh bangun agar dapat memperoleh hasil yang maksimal. Tetapi kalau dalam hidup kita hanya berorientasi pada situasi menyenangkan dan menolak hal yang tidak menyenangkan maka ketika menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan orang hanya akan mengambil sikap meninggalkan yang tidak menyenangkan dan berusaha mencari yang menyenangkan.

Seorang kutu buku akan menggeluti isi buku untuk mendapat sesuatu yang baru. Ia mengambil sikap dari sesuatu yang mungkin mulanya tidak menyenangkan dan mengubah menjadi tantangan agar mendapat hal baru dan akhirnya berbuah kebaikan yang menyenangkan.

Paradigma hanya bertolak dari yang menyenangkan saja pasti tidak selamanya baik. Orang hanya akan berobsesi mencari sesuatu yang menyenangkan dan menghindari perjuangan menolak situasi tidak menyenangkan. Obat itu tidak menyenangkan tetapi harus diminum dan diproses dalam tubuh, kemudian obat itu berbuah menyenangkan karena berguna bagi kesehatan.

Makan makanan yang enak-enak pasti menyenangkan tetapi jika tubuh tidak dapat memproses dengan baik maka makanan yang enak-enak itu berbuah tidak menyenangkan; kolesterol tinggi, asam urat tinggi dan beresiko mengganggu kesehatan.

Para pembawa suara kenabian kerap berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Katanya-katanya diragukan, ditolak bahkan dicurigai memberontak. Terutama bila berhadapan dengan kelompok yang cenderung mempertahankan situasi kemapanan yang menyenangkan padahal situasi itu sebenarnya jauh dari kehendak Tuhan.

Perbuatan-perbuatan buruk yang telah menstruktur adalah hal yang seakan-akan menyenangkan karena dilakukan bersama-sama, teroganisir dan jahat dimata Tuhan. Suara kenabian dinyatakan untuk memperjelas suara Tuhan dan kehendak Tuhan berhadapan dengan kenyataan umum yang sudah jauh menggerogoti nilai-nilai kebajikan. Meskipun kerap berbuah konflik yang berkepanjangan tanpa tahu dari mana harus memulai untuk menyelesaikannya.

Sang Guru Sejati memberi teladan setia dalam situasi yang tidak menyenangkan. Ketika di taman Getsemani Ia bertahan dalam situasi yang amat tidak menyenangkan karena tahu apa yang akan terjadi dalam diri-Nya. (Mat 26:36-46). Penderitaan batin yang dihadapi amat menyiksa seluruh raga dan jiwa-Nya.  Ia setia dan menghadapi situasi itu dengan menenangkan batin-Nya. Ia tidak lari dari kenyataan yang amat berat. Inilah yang membedakan dalam hidup manusian pada umumnya. Bila penderitaan menghampiri hidup kita, ingin rasanya cepat-cepat keluar dari penderitaan itu kalau bisa menyelesaikan masalahpun  secara instan. Maka tidak mustahil muncul calo-calo perampas proses kehidupan.

Padahal, ketika manusia mampu menjalani persoalan hidup dan  penderitaan dengan lebih tenang ia akan mampu mengambil hikmah dari peristiwa hidup itu.  Memprosesnya dengan baik dan melibatkan campur tangan Tuhan untuk membantu meluruskan jalan hidup manusia.

Itulah hidup kita. Berproses dari yang tidak menyenangkan menjadi yang menyenangkan membutuhkan  sikap  taat pada rencana Allah. Kita dituntut mengambil disposisi batin dari situasi tidak menyenangkan, mengubah ke dalam situasi menyenangkan.

Harapannya adalah akan memberikan hasil dan buah yang menyenangkan, bukan penderitaan yang berkepanjangan. Dengan demikian manusia menunjukkan keluhuran martabatnya yang mampu mengatasi persoalan hidupnya dengan kacamata iman yang tangguh dan mendalam. Semoga.

 

Oleh: Vincentius Suparman

Pastor Gereja Katholik Kidul Loji

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya