SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom Solopos, Senin (18/5/2015), ditulis Ahmad Djauhar. Penulis adalah Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI).

Solopos.com, SOLO — Hari-hari terakhir ini nurani kemanusiaan kita dientakkan oleh penyia-nyiaan manusia perahu Rohingya, terutama oleh sejumlah negara yang mereka tuju untuk sekadar transit.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Beberapa negara jiran seperti Malaysia dan Thailand dengan tegas menolak kehadiran orang-orang Rohingya karena dinilai akan merepotkan. Etnis muslim Rohingya sedang menghadapi berbagai ancaman yang mereka terima di dalam negeri sendiri.

Tidak tanggung-tanggung, kaum minoritas dari Myanmar itu menghadapi ancaman serius berupa genosida—pembersihan etnis—oleh kelompok mayoritas dan berkuasa di negeri yang dulu bernama Burma tersebut.

Ekspedisi Mudik 2024

Seperti halnya di kawasan bergolak lainnya, warga yang merasa sudah tidak memiliki harapan atau menghadapi masa depan suram itu tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri dari kampung halaman.

Mereka berupaya mencari penghidupan di negeri lain yang mungkin menjadi tanah harapan. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Nasib hampir semua orang pelarian seperti etnis Rohingya ini semakin tahun kian mengenaskan.

Nasib mereka tak beda dengan sejumlah etnis lain yang terusir dari negeri mereka, antara lain pengungsi Suriah, manusia perahu Afghanistan, dan orang-orang Bangladesh yang belakangan kian sulit memperoleh kesempatan untuk dapat ditampung di negeri lain.

Kita tentu belum lupa beberapa bulan silam kisah manusia perahu Afghanistan sempat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dan Australia. Negeri Kanguru itu menganggap lolosnya para pencari suaka dari Afghanistan itu ke teritorial Australia karena Indonesia tidak bersedia membendung mereka.

Pemerintah Indonesia tentu saja tidak mau disalahkan dan beralasan tidak mudah memantau arus manusia perahu tersebut mengingat luasnya wilayah perairan Nusantara.

Memang tidak mudah tentu bagi negara mana pun untuk menerima imigran yang berasal dari wilayah konflik tersebut mengingat beban demografi di setiap negara juga semakin tidak ringan.

Penerimaan ratusan atau bahkan ribuan pengungsi internasional tentu membutuhkan upaya ekstra pemerintah mana pun yang dewasa ini sama-sama menghadapi berbagai persoalan ekonomi cukup serius di negeri masing-masing.

Penolakan oleh sejumlah negara untuk menerima manusia perahu Rohingya tentu saja masih dalam koridor tersebut, namun karena alasan kemanusiaan, terlebih lagi bahwa mereka adalah etnis muslim yang sedang dizalimi oleh saudara sebangsa dan setanah air yang berbeda keyakinan, isu penolakan ini tentu saja menimbulkan kecaman atau sentimen internasional. [Baca selanjutnya: Alasan Kemanusiaan]

 

Alasan Kemanusiaan
Untuk Malaysia, misalnya, kritik itu berbunyi bahwa sebagai negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim kok tega membiarkan orang-orang Rohingya itu terombang-ambing di lautan lepas. Mengapa tidak menampungnya untuk sementara terlebih dulu?

Angkatan Laut Indonesia juga sempat menolak keinginan sejumlah manusia perahu Rohingya untuk singgah, namun karena ramai diperbincangkan di media massa maupun media sosial, sejumlah elemen kemudian memberanikan diri menampung sementara orang-orang Rohingya tersebut dengan alasan kemanusiaan.

Pemerintah Indonesia sejatinya dapat mengulang kesuksesan program kemanusiaan yang dilakukan beberapa dekade silam—semasa Orde Baru berkuasaa—ketika menampung manusia perahu asal Vietnam di Pulau Galang, kawasan Kepulauan Riau.

Ketika itu ribuan warga pelarian eks-Vietnam terkatung-katung di lautan dan mereka sedang berupaya mencari negara tertentu yang bersedia menerima mereka sebagai warga negara.

Setelah ditampung dan diberi keterampilan ala kadarnya, dalam jangka waktu cukup lama, sejumlah negara bersedia menerima manusia perahu Vietnam tadi sebagai warga negara mereka.

Karena kondisi Pulau Galang saat itu cukup terisolasi, relatif lebih mudah mengendalikan para pengungsi tersebut sekaligus terminimalkan kemungkinan bagi mereka untuk melakukan infiltrasi ke wilayah lain di negeri ini sehingga kemudian hari dapat menjadi penduduk biasa.

Ketika Vietnam berubah menjadi negeri terbuka dan tidak terlalu ideologis lagi, sejumlah bekas pengungsi tersebut melakukan repatriasi atau yang sudah telanjur sukses di negeri orang justru sering pulang kampung ke Vietnam untuk sekadar bernostalgia atau menyambung kembali hubungan persaudaraan dengan keluarga besar yang masih di sana.

Di antara sekian banyak warga eks-Vietnam yang pernah ditampung di Pulau Galang tentu saja akan merasakan betapa program kemanusiaan yang ditempuh pemerintah Indonesia ketika itu sungguh sangat bermanfaat dalam melanjutkan kehidupan mereka.

Tentu saja ini menjadi program yang tidak ternilai harganya. Bertolak dari program kemanusiaan tersebut, inilah kesempatan emas bagi Indonesia untuk berbuat sesuatu demi kemanusiaan.

Kalau alasannya kemudian adalah kekhawatiran bahwa para pengungsi politik tersebut akan menjadi beban bangsa ini, pemerintah sebenarnya bisa berkoordinasi dengan organisasi Perserikaan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani urusan tersebut atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Yang penting, Indonesia mampu menunjukkan kepemimpinan dalam hal penyelesaian persoalan manusia perahu tersebut yang untuk saat ini tidak memiliki peluang hidup sebagai manusia di bumi.



Bukan hanya untuk orang-orang Rohingya saja tentu, tapi juga bagi siapa pun yang  terpaksa tercerabut dari negerinya dan sedang berusaha mencari negara tujuan baru.

Dengan potensi jumlah pulau yang sangat banyak dan dengan bantuan organisasi maupun komunitas internasional, niscaya tidak terlalu sulit bagi Indonesia untuk menciptakan pusat penampungan pengungsi internasional dengan tingkat pengawasan yang ketat.

Kalaupun pada akhirnya mereka tidak memperoleh negara tujuan akhir yang bersedia menampung sebagai warga negara baru, dalam tempo sekian belas tahun tentu saja diharapkan kondisi negeri asal mereka sudah pulih dan para pengungsi tersebut dapat direpatriasi.

Intinya jangan sampai Indonesia membiarkan kasus pengungsi antarbangsa tersebut berkembang menjadi isu liar yang justru merugikan citra bangsa karena seolah-olah tidak peduli dengan nasib anak manusia yang terombang-ambing di lautan lepas.

Sungguh, keterusiran sejumlah orang dari negeri mereka atau kampung halaman  mereka merupakan penistaan terhadap keberadaan mereka sebagai manusia. Pantaskah kita mendiamkan atau bahkan ikut mengusir mereka?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya